Bob dan Maria | Cerpen: Indah Fai
Suaminya, Bobi, adalah lelaki kelima yang datang melamarnya. Dia berkulit coklat dan ototnya menonjol membentuk lekukan mirip roti sobek di bawah kaos ketat yang sering dikenakannya. Dia menjanjikan keamanan dengan tubuh tegap itu; kesempurnaan dengan wajahnya yang dihinggapi hidung peranakan Timur Tengah; dan kenyamanan dengan tutur katanya yang lembut. Kemudian, Maria, dengan keyakinan setinggi langit, menitipkan kebahagiaannya pada lelaki itu—yang dia sesali bertahun-tahun kemudian.
Tiga tahun pernikahan, panu tumbuh di pelipis antara kedua alis lelaki itu. Panu itu menyerupai gambar abstrak yang tampak seperti seekor ayam yang sedang buang hajat.
“Aku menyukai pria itu, Park Bo Gum,” kata istrinya menyebut nama salah satu aktor dari negeri ginseng. Saat itu usai makan malam, mereka sedang berdampingan di muka TV; si perempuan merebahkan tubuhnya di kasur lantai dan si lelaki duduk melipat kaki di sampingnya, memusatkan diri pada layar ponsel. “Senyumnya menawan dan giginya putih bersih.”
“Wajar saja,” sahut Bob tanpa menoleh. “Lelaki di sana gemar bersolek.”
Maria menekan tombol volume. TV itu berteriak dan suara Park Bo Gum memenuhi ruangan.
“Kau sudah menyikat gigimu, Bob?” tanya Maria.
“Nanti,” katanya.
“Nanti—kau bahkan tidak menggosok gigimu saat mandi tadi pagi, bukan?”
“Airnya dingin sekali,” sahut Bob. “Gigiku sensitif.”
“Kau bisa memintaku untuk mengambilkan air hangat,” kata istrinya, dia masih menatap TV, namun kepalanya tak bisa menangkap apa pun dari layar itu. Begitu pula Bob, dia tampak gusar dan dengan tenaga banteng memenceti layar sentuh di dalam genggamannya.
“Kecilkan suaranya, Maria,” pinta Bob. “Kau akan membuat kita tuli.”
“Kurasa kau tahu kenapa aku selalu menghindari ciumanmu itu,” kata istrinya, dia tak berniat mengecilkan suara TV sama sekali.
“Kau bisa berhenti mengomel, bukan?”
“Kau tidak pernah menyikat gigimu, Bob,” sahut istrinya.
Bob menggeliat sambil menguap seperti harimau malas, dia tak mengatakan sepatah pun lalu beranjak ke kamar—meninggalkan istrinya yang mulai menangis.
Dia pernah mendapat ciuman memabukkan dari lelaki itu, di taman kota, pada suatu malam semasa pacaran; mereka duduk berhimpitan di bawah pohon palem dan menjauhi lampu taman—lelaki itu mengupas permen rasa leci dan memasukkannya ke mulut dengan tangan gemetar seakan-akan ia mengidap tremor.
“Boleh aku menciummu?” kata Bob.
Tubuh perempuan itu menegang dan wajahnya memerah. Dia berceloteh dan berpura-pura tuli.
“Boleh aku menciummu?” ulang lelaki itu, kali ini tanpa menunggu persetujuan Maria. Bob mengunci kepalanya dan mencium bibirnya dengan penuh kelembutan yang dirasakan perempuan itu sebagai sengatan-sengatan halus.
Aroma napas Bob sangat wangi malam itu dan masih wangi pada ciuman kedua, ketiga, keempat, dan—kemudian mereka menikah: aroma itu lenyap dari mulut Bob digantikan dengan aroma karang gigi dan asap rokok.
Lelaki itu masih suka menciumi Maria tanpa persetujuannya, namun perempuan itu merengut dan membuat gerakan menghindar.
“Kau bercinta seperti batang pisang,” kata Bob suatu hari. Maria berbaring memunggunginya dan menutupi wajahnya dengan bantal abu-abu, bahkan bantal itu ketempelan asam keringat Bob dan asap rokoknya. Lelaki itu mengibaskan kaosnya dengan kencang lalu memakainya. Dia lalu pindah ke teras dan merokok sampai berbatang-batang sampai larut malam. Sementara Maria mencoba memejamkan mata, menidurkan pikirannya yang semrawut. Dia juga tidak ingin menjadi sebatang pisang; selangkangannya perih dan pahanya kebas.
Suatu saat Bob mengatakan kepadanya: seseorang yang sungguh-sungguh mencintai kekasihnya juga menyukai aroma tubuhnya; seperti dia menyukai aroma tubuh Maria di pagi hari sebelum perempuan itu melakukan ritual mandi.
“Bahkan aku menyukai aroma sambal yang menempel di bajumu, di ubun-ubunmu, dan di tanganmu,” jelas Bob.
“Kau jorok, Bob,” timpal Maria. “Itu menjijikkan.”
“Itulah cinta, Maria.”
“Kalau kau mencintaiku, sungguh-sungguh mencintaiku, kau akan mencuci kakimu yang bau sepatu sepulang dari kantor, kau juga akan mencuci rambutmu setiap hari, dan yang paling penting, kau akan menggosok gigimu dan membersihkan karang gigimu.”
“Kau tidak mencintaiku, Maria.”
“Kau yang tidak mencintaiku, Bob,” sahut Maria
Maria melipat tangan, sementara Bob menikmati rokoknya. Saat itu sore menjelang malam, namun gelap turun lebih cepat oleh mendung, mereka duduk di teras, menyaksikan bocah-bocah berlarian mengejar bola di sebuah lahan kosong. Teriakan mereka bersahut-sahutan dengan pengeras suara dari Pura yang melantunkan ayat-ayat suci. Maria menekuk wajahnya serupa remukan kertas. “Mari bercerai,” katanya menyambung obrolan yang agak lama tersendat. “Aku letih sekali, Bob.”
“Kau sinting!” balas Bob. Dia bangun dari duduknya, dengan raut muka menghitam Bob berjalan membuka pintu pagar lalu bergabung dengan gerombolan warga yang hanyut oleh permainan bola bocah-bocah itu.
Ya, Maria sinting karena tergila-gila padanya. Niat untuk meninggalkan Bobi tumbuh seperti jamur yang juga tumbuh di punggung lelaki itu. Tetapi, ketika Bobi pulang kerja dan menyodorkan sebungkus tahu bulat kegemarannya, Maria melunak dan sekali lagi menekan perasaan jengkelnya. Dia kemudian mundur ke beberapa tahun yang lalu, mengenang kebersamaan manis dengannya.
Bob dan dirinya pernah kesasar ketika mendaki air terjun sekumpul, di ujung timur Buleleng, sekitar 1 jam perjalanan dari rumah mereka di Banjarasem. Mereka berputar-putar seperti turis lokal bodoh sambil terengah-engah naik turun jalanan, lalu hujan lebat turun sebelum mereka berhasil mencapai air terjun. Mereka menumpang teduh di rumah salah seorang warga yang halamannya ditumbuhi tiga batang rambutan macan, dan sebatang durian ketan. Cuaca pegunungan ditambah hujan lebat tak dapat menekan suhu tubuh Maria ke titik rendah; ia kegerahan dan jantungnya melompat-lompat sebab Bob merapat padanya seolah jarak tak pernah ada.
Namun dia tak bisa melakukannya lagi, hatinya telah mengeras dua kali lipat dan tak bisa melunak. Dia tak akan menghabiskan tiket hidupnya yang mungkin sisa separuh dengan aroma-aroma itu: bacin mulut Bob yang membekas pada bibir dan lehernya; asap rokok yang menempel pada bantalan kursi dan gorden; aroma yang akhir-akhir ini memuakkan bukan hanya hidung tetapi juga perasaannya.
Pada suatu kesempatan, saat bertengkar sebab Bob lupa membelikan tahu bulat pesanannya, Maria mengutarakan niatnya sekali lagi. Matanya masih basah, suaranya sengau, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya mengibakan.
“Mari bercerai, Bob,” katanya. “Kau tidak mencintaiku. Kita tidak saling mencintai lagi, sepertinya.”
“Kau sadar apa yang kaubicarakan itu?” Bob meraih Maria ke dalam pelukannya, namun Maria mendorongnya, lelaki itu jatuh terduduk di atas dipan.
“Kapan aku minta kau belikan tahu bulat itu, kau ingat?” tanya Maria.
Bob tampak berpikir keras, “Kemarin?”
“Dari dua hari yang lalu. Kau bahkan tidak ingat,” sahut Maria.
“Astaga, Maria!” Bob coba memasang raut muka menyesal. Namun ia tak dapat menahan senyumnya.
“Sumpah, kau pikir ini lelucon? Kau mengabaikanku dan kau pikir aku sedang bercanda?” sambar Maria. Ia meraung-raung.
“Maaf, Maria. Aku sungguh tak bermaksud mengabaikanmu,” Bob mencoba meraih pundaknya yang terguncang, namun perempuan itu mengelak. “Aku benar-benar lupa.”
“Tenanglah, Maria,” sahut Bob dengan suara rendah. “Kemarilah.” Dia memaksanya mendekat, melesakkan wajah perempuan itu ke dalam pelukannya lalu mengelus ubun-ubunnya. Maria meraung makin keras seakan-akan dada Bob adalah mulut gua yang akan menelan amarahnya. Beberapa saat kemudian, Bob mengangkat kepala perempuan itu, menguncinya, kemudian menciumnya. “Aku sudah membersihkan karang gigiku,” kata Bob di dalam mulut Maria.
Hidungnya menghidu aroma leci dan lidahnya mencecap manis sakarin bercampur pedas mint, dan lelaki itu menciumnya dengan kelembutan persis saat beberapa tahun lalu di bawah pohon palem, di taman kota. Lambat laun bahunya mengendur dan seluruh tubuhnya amblas dalam pelukan Bob. Dia melunak—sekali lagi, dan sengatan-sengatan halus itu merambati tubuhnya.
Indah Fai kelahiran Banyuwangi, Juli 1994. Cerpennya tayang di media cetak dan daring. Ia tinggal bersama keluarga kecilnya di Buleleng, Bali Utara.