Biden Jadi Presiden, Produsen Minyak Khawatir
Berita Baru, Internasional – Terpilihnya Joe Biden sebagai presiden terpilih Amerika Serikat ke-46 diproyeksikan akan berdampak terhadap sentimen harga minyak global.
Seperti dilaporkan oleh Reuters, salah satu anggota kunci OPEC justru mengkhawatirkan terjadinya ketegangan dengan aliansi OPEC dengan terpilihnya Biden sebagai presiden AS.
“Dan (OPEC) akan merindukan Presiden Donald Trump yang beralih dari mengkritik kelompok tersebut menjadi bekerja sama, sehingga menghasilkan rekor penurunan produksi minyak,” tulis Reuters, Minggu (8/11).
OPEC mengkhawatirkan, Biden dapat mengubah hubungan diplomatik AS bersama tiga anggota OPEC dan negara-negara yang terkena sanksi Iran dan Venezuela, serta dengan produsen utama non-OPEC Rusia. Rusia adalah pemimpin produsen minyak yang bersekutu dengan OPEC, kelompok yang dikenal sebagai OPEC+.
“Penegakan ketat sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela telah menahan jutaan barel minyak per hari dari pasar, dan jika Biden harus melonggarkan langkah-langkah di tahun-tahun mendatang, peningkatan produksi dapat mempersulit OPEC untuk menyeimbangkan pasokan dengan permintaan,” urai Reuters.
Sebelumnya, Biden memang mengatakan, dia lebih memilih diplomasi multilateral daripada sanksi sepihak yang telah dijatuhkan Trump, meskipun itu mungkin tidak berarti pelonggaran sanksi dalam waktu dekat. Dalam kampanyenya, Biden mengatakan dia akan kembali ke kesepakatan nuklir Iran 2015 jika Teheran kembali mematuhi pakta tersebut.
Kemenangan Joe Biden juga diyakini akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan energi AS. Biden dikenal dengan kebijakan yang kontra terhadap bahan bakar fosil. Hal ini terefleksi dari penurunan harga minyak pada Kamis (5/11/2020) kemarin, harga kontrak berjangka minyak drop lebih dari 2%.
Pada 09.40 WIB harga kontrak Brent turun 2,04% ke US$ 40,38/barel sedangkan untuk kontrak West Texas Intermediate (WTI) drop 2,07% ke US$ 38,34/barel.
Namun demikian, kemenangan Biden tak serta merta membuat pasar minyak goyang. Pasalnya komposisi kongres juga harus diperhatikan. Berdasarkan survei, kemungkinan besar Partai Republik masih akan menguasai Senat sementara Demokrat akan menguasai majelis rendah (House) dan lembaga eksekutif.
Komposisi yang masih terbelah ini juga akan berpengaruh terhadap kebijakan stimulus jilid II AS yang masih belum menemukan titik terang sampai sekarang. Hal inilah yang membuat dolar AS cenderung menguat dan menekan berbagai harga komoditas yang dibanderol dalam mata uang tersebut, salah satunya minyak.