Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Foto: Tangkap layar film dokumenter Gelombang Tambang Satar Sunda
Foto: Tangkap layar film dokumenter Gelombang Tambang Satar Sunda

Belajar dari Gelombang Tambang di Satar Punda



Berita Baru, Jakarta – Alam Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, mulanya teramat subur dan memberikan kehidupan terhadap warga setempat. Namun hal itu seketika berubah akibat dampak pertambangan yang beroperasi sejak tahun 1999.

Puluhan tahun Satar Punda dibongkar, kesejahteraan yang dijanjikan perusahaan dan pemerintah tak juga menghampiri. Perusahaan datang mengeruk dan pergi membawa keuntungan, meninggalkan kerusakan sosial-ekologis yang tak terpulihkan.

Melalui film dokumenter berjudul ‘Gelombang Tambang Satar Punda’ JATAM Nasional berkolaborasi dengan Watchdog, JPIC-OFM Indonesia dan Jurnalis Lokal menampilkan sebuah dokumentasi kerusakan bentang alam yang dilakukan oleh pihak tambang.

Dalam dokumenter tersebut, warga mengaku mulanya beranggapan kehadiran perusahan tambang akan memberikan kesempatan lapangan pekerjaan sehingga mampu mengubah kehidupan lebih sejahtera.

Namun semuanya tak lebih sekedar harapan, warga Satar Punda justru di jebak ke dalam jurang kemiskinan baru.

Isfridaus Sota, warga Satar Punda mengungkapkan, lahannya yang dulu ditambang perusahaan saat ini sudah tidak lagi produktif. Beberapa Kali dirinya mencoba menanam berbagai macam tanaman, namun tidak dapat tumbuh dengan maksimal.

“Inilah salah satu contoh yang dilakukan oleh pihak tambang. Dulu mereka berjanji lubang-lubang yang ada ini akan ditutup kembali, ditanami dengan pohon-pohon. Ternyata sekarang, buktinya masih seperti ini, gersang dan tidak ditanami apapun,” kata Isfridaus Sota, sambil memperlihatkan lokasi bekas tambang dalam film.

JATAM juga menyuguhkan dampak tambang di Satar Punda yang beroperasi kurang lebih 20 tahun itu juga terhadap ketersediaan air dan lahan pertanian di wilayah tersebut. Warga tidak lagi menghasilkan panen maksimal karena lahannya tertimbun longsoran limbah tambang.

“Beginilah kondisi padi akibat lahannya sudah tertimbun longsor dari limbah tambang. Dulu tidak seperti ini. Tidak pernah pakai pupuk. Sekarang, setelah kondisinya seperti ini maka harus pakai pupuk. Dulu sawah kami dalam setahun tiga kali panen hasilnya tiga ton tiap kali panen sekarang tidak sampai satu ton,” ungka Agnes Sogia.

Dalam film, Alsis Goa OF dari JPIC OFM menyebutkan, kerusakan yang terjadi di Satar Punda karena alamnya dibongkar melalui peledakan untuk diambil mangannya yang menyebabkan struktur topsoil rusak. Beberapa kebun masyarakat hancur karena ditindih material batuan hasil pertambangan.

“Demikian juga sola ruang hidup mereka yang lain, misalnya mata air mereka yang beberapa mengalami debit air mengalami pengurangan sejak adanya operasi pertambangan,” jelasnya.

Setelah 5 tahun hidup tenang, alamnya belum pulih sempurna, warga kembali terusik dengan rencana tambang baru; pabrik semen dan PLTU batubara. Tak tanggung-tanggung, ada dua perkampungan warga hendak dipindah-paksakan.

Film ‘Gelombang Tambang Satar Punda’ yang dilaunching pada 15 Februari 2022 ini juga merekam prakarsa cerdas warga dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, tidak begitu saja kembali “mengamini” janji-janji palsu perusahaan tambang dan pemerintah. Mereka tidak ingin alamnya dirusak lebih luas.

Bagi warga Satar Punda, masa depan mereka dan anak cucu ada di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.

Memaksakan penambangan dan pabrik semen yang terintegrasi dengan PLTU batubara itu, berikut memindahkan warga dari kampung-ruang hidupnya, sama halnya dengan ‘membunuh’ warga.

Warga menepis pernyataan Gubernur NTT yang menyebut alam Satar Punda hanya menghasilkan kayu.

Lagi-lagi Isfridaus Sota menjelaskan, setelah alam berangsur pulih dari bekas tambang, penghasilan masyarakat dari alam Satar Pundak sudah lebih dari cukup. Mereka tidak ingin lagi diganggu dengan kedatangan perusahan.

“Dari awal kami memang tegas untuk menolak kehadiran tambang. Meski perusahaan sekarang sudah menginginkan agar kami direlokasi atau pindah dari kampung. Tanah Kampung kami memiliki kaitan erat, mulai dari rumah adat, lahan garapan sumber air hingga halaman tempat bermain, yang tidak boleh dipisahkan oleh siapapun”

“Saya minta tolong. Tolong hentikan pabrik ini, banyak kegiatan yang lain. Kami biasa hidup dari bertani. Kerja kebun kerja sawah , kerja kebun mente. Saya bisa sekolahkan anak saya 4 orang. Saya bisa mampu sekolahkan anak saya dari hasil pertanian. Bukan dari penghasilan pabrik. Bukan,” tegas warga lain.

Film dokumenter ‘Gelombang Tambang Satar Punda’ cukup kompleks menggambarkan kerusakan alam akibat dampak dari bekas pertambangan. Film ini juga mengakomodir pendapat penolakan warga terhadap datangnya perusahan baru di wilayah mereka.