Bahan Pokok Naik, Waspada Inflasi di Tanah Air
Berita Baru, Jakarta – Naiknya harga komoditas belakangan mendapat sorotan banyak pihak, salah satunya dari Kepala Center of Digital Economy and SME’s Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha M Rachbini.
Menurut Eisha, jika harga komoditas terus terkerek naik, terutama untuk bahan bakar minyak (BBM), LPG, dan tarif listrik, akan meningkatkan risiko kenaikan harga-harga bahan pokok lainnya. Pemerintah perlu mewaspadai terjadinya inflasi.
“Jika semua harga bahan pokok naik keseluruhan bisa menyebabkan inflasi,” kata Eisha, dalam diskusi publik Continuum dan INDEF, bertajuk “Keluh Kesah Masyarakat, Saat Harga Pangan dan Energi Meningkat’ yang digelar secara daring, Kamis (14/4)
Lebih lanjut ia menyebut apabila inflasi meningkat di tengah Indonesia yang saat ini sedang masa pemulihan ekonomi dampak COVID-19, akan berimbas terhadap menurunnya daya beli masyarakat. Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia 67% ditopang oleh konsumsi masyarakat.
“Masyarakat baru balik berkegiatan ekonomi, kemudian level income belum sama seperti sebelum pandemi. Daya beli masyarakat yang masih belum pulih sepenuhnya, ketika dihantam inflasi bisa beresiko terhadap daya beli. Masyarakat tidak bisa pulih lagi, tapi bisa gagal membeli kebutuhan sehari-sehari,” ujarnya.
“Ketika income masyarakat tetap dan harga bahan-bahan semakin meningkat, otomatis yang bisa mereka lakukan hanya menghemat. Artinya penghematan ini bisa berdampak pada konsumsi keseluruhan. Itu dari sisi konsumen,” sambung Eisha.
Selain itu, lanjutnya, inflasi juga akan berdampak terhadap dunia usaha, industri dan bisnis, di mana bahan-bahan baku akan ikut melambung dan pada akhirnya akan berdampak kepada harga jual. Hal itu bisa mendorong pada inflasi secara keseluruhan.
“Contohnya, tarif listrik, harga BBM kemudian LPG, ini semua bahan baku dari proses produksi. Ketika cost structure perusahaan meningkat, biaya meningkat, otomatis akan berdampak kepada harga yang akan ditetapkan terhadap barang-barang yang mereka jual,” ujarnya.
Bahkan meningkatnya cost structure, kata Eisha, juga bisa membuat keinginan investor untuk berinvestasi dan menanam modal pada perusahaan akan berkurang. Karena mereka hanya memiliki modal yang terbatas.
“Ketika inflasi tinggi bisa mempengaruhi konsumsi dan investasi sebagai dua komponen dari produk domestik bruto (PDB), atau dari output nasional kita. Pada akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi kita,” pungkas Eisha. (mkr)