Beritabaru.co - Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, konsep seamless learning atau pembelajaran tanpa batas menjadi salah satu pendekatan inovatif untuk menjawab tantangan pendidikan di era digital. Istilah ini mengacu pada pengalaman belajar yang terus berlangsung, baik di dalam maupun di luar kelas, dengan memanfaatkan teknologi untuk menyatukan berbagai konteks dan lingkungan pembelajaran.
Seamless learning menawarkan sebuah gagasan revolusioner yang mendobrak batasan ruang dan waktu dalam pendidikan. Menurut Prof. Mike Sharples, seorang pakar di bidang teknologi pendidikan dari The Open University, seamless learning memungkinkan individu untuk belajar kapan saja, di mana saja, dan melalui berbagai perangkat. “Dengan integrasi teknologi yang tepat, pembelajaran tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu. Ini memberi siswa fleksibilitas untuk mengakses informasi dan mendalami materi sesuai kebutuhan mereka,” ujar Sharples. Pernyataan ini menyoroti pentingnya teknologi sebagai penghubung yang memungkinkan pengalaman belajar yang berkesinambungan dan dinamis.
Konsep seamless learning tidak hanya terpaku pada penggunaan perangkat digital seperti ponsel pintar, tablet, dan laptop, tetapi juga memadukan pengalaman belajar formal dan informal. Dalam konteks formal, siswa dapat menggunakan aplikasi pendidikan untuk mengerjakan tugas atau mengikuti kelas daring. Sementara itu, dalam konteks informal, mereka dapat memanfaatkan video tutorial, forum diskusi, atau game edukasi untuk mendukung pembelajaran mandiri. Kolaborasi antara dua dimensi ini menciptakan ekosistem belajar yang holistik dan inklusif.
Pendekatan ini juga berakar pada teori situated learning yang diperkenalkan oleh Jean Lave dan Etienne Wenger. Teori ini menekankan pentingnya pembelajaran dalam konteks nyata dan kolaboratif. Seamless learning memanfaatkan prinsip ini dengan menghubungkan pembelajaran formal di kelas dengan situasi dunia nyata melalui teknologi. Sebagai contoh, siswa yang belajar tentang biologi dapat menggunakan aplikasi augmented reality (AR) untuk mengeksplorasi ekosistem lokal secara virtual sambil berada di taman kota. Dengan cara ini, siswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, implementasi seamless learning mulai mendapat perhatian, terutama sejak pandemi COVID-19 yang mendorong adopsi teknologi dalam pendidikan. Pandemi menjadi momentum transformasi besar dalam cara belajar mengajar, dengan teknologi menjadi inti dari proses ini. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah penggunaan Learning Management System (LMS) seperti Google Classroom atau Moodle yang terintegrasi dengan berbagai aplikasi pembelajaran lainnya. LMS memungkinkan siswa dan guru untuk tetap terhubung, meskipun berada di lokasi yang berbeda. Dalam skala yang lebih luas, LMS juga membuka peluang kolaborasi antara sekolah, institusi pendidikan tinggi, dan komunitas belajar lainnya.
Namun, keberhasilan seamless learning tidak terlepas dari tantangan yang harus dihadapi. Kesenjangan digital, seperti akses internet yang tidak merata dan kurangnya literasi teknologi di kalangan siswa maupun guru, menjadi hambatan utama. Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hanya sekitar 79,5% populasi Indonesia yang memiliki akses internet pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan adanya gap yang signifikan, terutama di wilayah terpencil. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan penyedia teknologi. Program seperti penyediaan perangkat gratis, pelatihan teknologi untuk guru, serta pembangunan infrastruktur jaringan di daerah-daerah terpencil menjadi langkah strategis yang dapat diambil.
Selain kesenjangan digital, tantangan lainnya adalah bagaimana menciptakan konten pendidikan yang relevan dan menarik. Dalam seamless learning, konten menjadi salah satu aspek krusial yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Konten harus dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa, relevansi dengan kurikulum, dan kemampuan teknologi yang tersedia. Penggunaan media interaktif, seperti video animasi, simulasi virtual, dan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI), dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan mempermudah mereka dalam memahami materi yang kompleks.
Ke depan, seamless learning diproyeksikan menjadi bagian integral dari sistem pendidikan global. Dengan terus berkembangnya teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big data, peluang untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih personal dan inklusif semakin terbuka lebar. Teknologi AI, misalnya, dapat digunakan untuk menganalisis pola belajar siswa dan memberikan rekomendasi materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. IoT, di sisi lain, memungkinkan integrasi antara perangkat belajar dengan lingkungan fisik, menciptakan pengalaman belajar yang lebih imersif.
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Charles Reigeluth, seorang ahli dalam desain sistem instruksional, “Teknologi bukan hanya alat, tetapi katalis untuk transformasi pendidikan.” Pernyataan ini menegaskan bahwa teknologi memiliki peran strategis dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Namun, adopsi teknologi dalam pendidikan juga memerlukan pendekatan yang terencana dan berkelanjutan. Pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk merancang kebijakan dan infrastruktur yang mendukung seamless learning.
Dengan adopsi yang tepat, seamless learning dapat menjadi solusi nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan di era digital. Pendekatan ini tidak hanya memberikan efisiensi dalam proses belajar, tetapi juga menciptakan pengalaman yang lebih relevan dan bermakna bagi siswa. Melalui seamless learning, siswa dapat belajar dengan cara yang sesuai dengan gaya belajar mereka, kapan saja dan di mana saja. Selain itu, seamless learning juga memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih kreatif dan inovatif.
Pada akhirnya, seamless learning adalah tentang menciptakan lingkungan belajar yang memberdayakan semua pihak siswa, guru, dan orang tua untuk berpartisipasi aktif dalam proses pendidikan. Dengan teknologi sebagai enabler, konsep ini membuka pintu menuju pendidikan yang lebih inklusif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Di era di mana perubahan adalah suatu keniscayaan, seamless learning menjadi tonggak penting dalam transformasi pendidikan menuju masa depan yang lebih cerah.
Penulis : Apriliyani Diah Kartikasari - Dosen IAIN Kediri - Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya
]]>Beritabaru.co - Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, konsep seamless learning atau pembelajaran tanpa batas menjadi salah satu pendekatan inovatif untuk menjawab tantangan pendidikan di era digital. Istilah ini mengacu pada pengalaman belajar yang terus berlangsung, baik di dalam maupun di luar kelas, dengan memanfaatkan teknologi untuk menyatukan berbagai konteks dan lingkungan pembelajaran.
Seamless learning menawarkan sebuah gagasan revolusioner yang mendobrak batasan ruang dan waktu dalam pendidikan. Menurut Prof. Mike Sharples, seorang pakar di bidang teknologi pendidikan dari The Open University, seamless learning memungkinkan individu untuk belajar kapan saja, di mana saja, dan melalui berbagai perangkat. “Dengan integrasi teknologi yang tepat, pembelajaran tidak lagi terbatas oleh ruang dan waktu. Ini memberi siswa fleksibilitas untuk mengakses informasi dan mendalami materi sesuai kebutuhan mereka,” ujar Sharples. Pernyataan ini menyoroti pentingnya teknologi sebagai penghubung yang memungkinkan pengalaman belajar yang berkesinambungan dan dinamis.
Konsep seamless learning tidak hanya terpaku pada penggunaan perangkat digital seperti ponsel pintar, tablet, dan laptop, tetapi juga memadukan pengalaman belajar formal dan informal. Dalam konteks formal, siswa dapat menggunakan aplikasi pendidikan untuk mengerjakan tugas atau mengikuti kelas daring. Sementara itu, dalam konteks informal, mereka dapat memanfaatkan video tutorial, forum diskusi, atau game edukasi untuk mendukung pembelajaran mandiri. Kolaborasi antara dua dimensi ini menciptakan ekosistem belajar yang holistik dan inklusif.
Pendekatan ini juga berakar pada teori situated learning yang diperkenalkan oleh Jean Lave dan Etienne Wenger. Teori ini menekankan pentingnya pembelajaran dalam konteks nyata dan kolaboratif. Seamless learning memanfaatkan prinsip ini dengan menghubungkan pembelajaran formal di kelas dengan situasi dunia nyata melalui teknologi. Sebagai contoh, siswa yang belajar tentang biologi dapat menggunakan aplikasi augmented reality (AR) untuk mengeksplorasi ekosistem lokal secara virtual sambil berada di taman kota. Dengan cara ini, siswa tidak hanya memahami teori, tetapi juga mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, implementasi seamless learning mulai mendapat perhatian, terutama sejak pandemi COVID-19 yang mendorong adopsi teknologi dalam pendidikan. Pandemi menjadi momentum transformasi besar dalam cara belajar mengajar, dengan teknologi menjadi inti dari proses ini. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah penggunaan Learning Management System (LMS) seperti Google Classroom atau Moodle yang terintegrasi dengan berbagai aplikasi pembelajaran lainnya. LMS memungkinkan siswa dan guru untuk tetap terhubung, meskipun berada di lokasi yang berbeda. Dalam skala yang lebih luas, LMS juga membuka peluang kolaborasi antara sekolah, institusi pendidikan tinggi, dan komunitas belajar lainnya.
Namun, keberhasilan seamless learning tidak terlepas dari tantangan yang harus dihadapi. Kesenjangan digital, seperti akses internet yang tidak merata dan kurangnya literasi teknologi di kalangan siswa maupun guru, menjadi hambatan utama. Dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hanya sekitar 79,5% populasi Indonesia yang memiliki akses internet pada tahun 2024. Angka ini menunjukkan adanya gap yang signifikan, terutama di wilayah terpencil. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, institusi pendidikan, dan penyedia teknologi. Program seperti penyediaan perangkat gratis, pelatihan teknologi untuk guru, serta pembangunan infrastruktur jaringan di daerah-daerah terpencil menjadi langkah strategis yang dapat diambil.
Selain kesenjangan digital, tantangan lainnya adalah bagaimana menciptakan konten pendidikan yang relevan dan menarik. Dalam seamless learning, konten menjadi salah satu aspek krusial yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Konten harus dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa, relevansi dengan kurikulum, dan kemampuan teknologi yang tersedia. Penggunaan media interaktif, seperti video animasi, simulasi virtual, dan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI), dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan mempermudah mereka dalam memahami materi yang kompleks.
Ke depan, seamless learning diproyeksikan menjadi bagian integral dari sistem pendidikan global. Dengan terus berkembangnya teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big data, peluang untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih personal dan inklusif semakin terbuka lebar. Teknologi AI, misalnya, dapat digunakan untuk menganalisis pola belajar siswa dan memberikan rekomendasi materi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. IoT, di sisi lain, memungkinkan integrasi antara perangkat belajar dengan lingkungan fisik, menciptakan pengalaman belajar yang lebih imersif.
Seperti yang disampaikan oleh Dr. Charles Reigeluth, seorang ahli dalam desain sistem instruksional, “Teknologi bukan hanya alat, tetapi katalis untuk transformasi pendidikan.” Pernyataan ini menegaskan bahwa teknologi memiliki peran strategis dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Namun, adopsi teknologi dalam pendidikan juga memerlukan pendekatan yang terencana dan berkelanjutan. Pemerintah, institusi pendidikan, dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk merancang kebijakan dan infrastruktur yang mendukung seamless learning.
Dengan adopsi yang tepat, seamless learning dapat menjadi solusi nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan di era digital. Pendekatan ini tidak hanya memberikan efisiensi dalam proses belajar, tetapi juga menciptakan pengalaman yang lebih relevan dan bermakna bagi siswa. Melalui seamless learning, siswa dapat belajar dengan cara yang sesuai dengan gaya belajar mereka, kapan saja dan di mana saja. Selain itu, seamless learning juga memberikan peluang bagi guru untuk mengembangkan metode pengajaran yang lebih kreatif dan inovatif.
Pada akhirnya, seamless learning adalah tentang menciptakan lingkungan belajar yang memberdayakan semua pihak siswa, guru, dan orang tua untuk berpartisipasi aktif dalam proses pendidikan. Dengan teknologi sebagai enabler, konsep ini membuka pintu menuju pendidikan yang lebih inklusif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Di era di mana perubahan adalah suatu keniscayaan, seamless learning menjadi tonggak penting dalam transformasi pendidikan menuju masa depan yang lebih cerah.
Penulis : Apriliyani Diah Kartikasari - Dosen IAIN Kediri - Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya
]]>Opini: Dwinda Rahman Specialist on Digital Economy and MSMEs - The Reform Initiatives
Opini: Dwinda Rahman Specialist on Digital Economy and MSMEs - The Reform Initiatives
Reporter CGTN
Beritabaru.co, Analisa - Dengan hiasan garis berwarna merah, kereta berkecepatan tinggi yang super ramping dan bertubuh perak perlahan-lahan keluar dari Stasiun Tegalluar Bandung pada hari Rabu kemarin. Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Indonesia Joko Widodo secara virtual memantau uji coba operasional kereta cepat pertama di Asia Tenggara di Bali, di mana Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20.
Kedua belah pihak sepakat untuk membangun dan mengoperasikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung pada tahun 2015, dan pembangunannya telah berjalan lancar sejak tahun 2018. Terlepas dari berbagai masalah yang kompleks, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pihak-pihak yang berpartisipasi telah melakukan upaya yang sungguh-sungguh tanpa mengorbankan standar dan kualitas yang tinggi.
Proyek tengara ini adalah proyek konstruksi luar negeri pertama yang sepenuhnya menggunakan sistem kereta api, teknologi, dan komponen industri Tiongkok, yang sedang dipamerkan di KTT G20 sebagai bagian dari upaya Tiongkok untuk menyelesaikan proyek-proyek dalam inisiatif Sabuk dan Jalan. Pada sesi pertama konferensi, Xi mengatakan bahwa dunia sedang menghadapi perubahan penting yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam satu abad, dan menyebut bahwa COVID-19, ekonomi yang rapuh, geopolitik yang tegang, tata kelola global yang tidak memadai, dan krisis pangan dan energi, adalah ‘tantangan berat’ bagi pembangunan bersama.
"Sangat penting bahwa semua negara merangkul visi komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia, mengadvokasi perdamaian, pembangunan, dan kerja sama yang saling menguntungkan," kata pemimpin Tiongkok itu. "Semua negara harus menggantikan perpecahan dengan persatuan, konfrontasi dengan kerja sama, dan eksklusivitas dengan inklusivitas."
"Mentalitas Perang Dingin telah lama ketinggalan zaman," tekan Xi, ia mengatakan tidak ada yang boleh mencari keuntungan sendiri dengan menyulitkan orang lain, membangun "halaman kecilnya sendiri dengan pagar tinggi", atau membuat kelompoknya sendiri yang tertutup dan eksklusif. Beijing telah melihat garis ideologis dan politik kelompok Washington sebagai ancaman terhadap kedaulatan, keamanan, dan hak pembangunannya di dunia yang multi-polar.
Pada hari Senin lalu, dalam pertemuan yang sangat dinanti-nantikan oleh Xi dan mitranya dari AS Joe Biden, kedua pemimpin mengadakan pertukaran yang jujur dan mendalam, yang berlangsung selama lebih dari tiga jam di sela-sela KTT G20. Tiongkok mendesak agar hubungan kedua negara dapat kembali ke jalur yang stabil. Pertemuan itu terjadi beberapa bulan setelah Beijing memutuskan sejumlah kontak rutin dengan Washington karena kunjungan Ketua DPR Nancy Pelosi ke Taiwan.
Beijing mengatakan bahwa kedua belah pihak harus mengelola perbedaan, sementara pihak AS menekankan bahwa persaingan harus dicegah agar tidak menjadi konflik.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken sekarang berencana untuk mengunjungi Tiongkok di sela-sela serangkaian dialog yang dilanjutkan.
"Perpecahan dan konfrontasi tidak akan memberikan keuntungan dan manfaat bagi siapa pun," kata Xi pada sesi tersebut. Pada KTT tersebut, Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, memperingatkan para pemimpin G20 untuk tidak membiarkan proteksionisme perdagangan "berakar" dan mengatakan bahwa fragmentasi ekonomi dunia ke dalam blok-blok geopolitik akan secara signifikan merusak pertumbuhan. "Yang perlu kita lakukan adalah bergandengan tangan dan meningkatkan kerja sama win-win kita ke tingkat yang lebih tinggi," kata Presiden Tiongkok Xi Jinping, ia mengutip pepatah Indonesia yang mengatakan "serumpun serai, selubang seliang bagai tebu" yang berarti bersolidaritas.
Sebagai negara berkembang terbesar di dunia, Tiongkok telah memainkan peran utama dalam memulai program keamanan dan pembangunan secara global, terutama di antara negara-negara berkembang lainnya. Inisiatif Pembangunan Global (GDI) yang diusulkan oleh Xi, ditujukan untuk mendorong konsensus internasional dalam mendorong pembangunan, menumbuhkan pendorong baru untuk pembangunan global, serta memfasilitasi pembangunan bersama dan kemajuan semua negara.
Tiongkok juga telah membentuk Global Development and South-South Cooperation Fund, dan akan meningkatkan pendanaannya untuk Dana Perdamaian dan Pembangunan Tiongkok-PBB. Xi mengatakan Tiongkok telah bekerja sama dengan lebih dari 100 negara dan organisasi internasional di GDI, sehingga telah memberikan dorongan baru bagi implementasi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dalam "Aksi G20 untuk Pemulihan yang Kuat dan Inklusif", Tiongkok telah mengajukan 15 proyek dan berpartisipasi dalam lima proyek lainnya dalam kerangka kerja ini. Tiongkok berikrar untuk bekerja sama dengan anggota G20 dalam proyek-proyek tersebut. Para ahli mengatakan, Tiongkok sedang mencoba mengubah fokus tren global ke jalan pembangunan yang lebih damai dan cepat, meskipun beberapa negara termasuk pihak konservatif AS berpikir sebaliknya.
Pelepasan keterkaitan antara AS dengan Tiongkok telah memberikan tekanan yang lebih luas pada negara lain. Direktur Studi Politik Internasional di National Institute for Global Strategy, Zhao Hai mengatakan, "Dalam banyak kasus, negara-negara itu harus memihak, misalnya memisahkan diri dari rantai pasokan Tiongkok, menangguhkan produk teknologi dan ekspor peralatan ke Tiongkok, atau bekerja sama dengan militer AS."
"Sanksi sepihak harus dihapus, dan pembatasan kerja sama ilmiah dan teknologi terkait juga harus dicabut," kata Xi. Satu bulan lalu, pemerintahan Biden mulai memotong pasokan microchip Beijing, mengeluarkan dua aturan baru yang membatasi perusahaan pengekspor chip dan peralatan pembuat chip ke Tiongkok sambil mendorong sekutunya melakukan hal yang sama. Banyak yang melihatnya lebih dari sekadar kebuntuan perdagangan dan kenyataan yang berkembang menjadi gempa geopolitik yang mengkhawatirkan pemain lain dan sistem tata kelola global.
‘Persaingan’ yang dipolitisasi antara dua ekonomi terbesar datang ketika globalisasi ekonomi ditempa angin kencang, dan ekonomi dunia berisiko mengalami resesi. Dalam G20, pemimpin Tiongkok menyoroti masalah kerawanan pangan dan energi, dengan mengatakan bahwa krisis itu adalah "tantangan paling mendesak dalam pembangunan global," menyebut bahwa rantai pasokan yang terputus dan kerja sama internasional sebagai "akar penyebab krisis yang sedang berlangsung."
"Kita harus dengan tegas menentang upaya politisasi, instrumentalisasi, dan persenjataan masalah pangan dan energi," kata Xi. Tahun ini, Tiongkok telah mengusulkan, Inisiatif Kerja Sama Internasional tentang Industri dan Rantai Pasokan yang Tangguh dan Stabil bersama dengan enam mitra termasuk Indonesia dan Serbia. Tiongkok juga bergabung dengan negara-negara lain mengimbau pembentukan Kemitraan Kerja Sama Energi Bersih Global, dan mengedepankan Inisiatif Kerja Sama Internasional tentang Ketahanan Pangan Global di G20.
"Kita perlu membangun kemitraan global untuk pemulihan ekonomi, selalu mengingat kesulitan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang, dan mengakomodasi kekhawatiran mereka," kata Xi kepada para pemimpin dunia di KTT itu. "Semua orang mengalami kesulitan, tetapi negara-negara berkembang yang menanggung bebannya."
Xi mengatakan, lembaga keuangan internasional dan kreditor komersial, yang menjadi kreditor utama negara-negara berkembang harus ambil bagian dalam pengurangan dan penangguhan utang untuk negara-negara berkembang, serta menyatakan dukungan mereka terhadap niat Uni Afrika untuk bergabung dalam G20.
Tiongkok sekarang menerapkan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (G20 Debt Service Suspension Initiative/ DSSI) G20, dan telah menangguhkan jumlah pembayaran layanan utang terbesar di antara semua anggota G20.
Sementara itu, Tiongkok bekerja sama dengan beberapa anggota G20 dalam penanganan utang di bawah Common Framework for Debt Treatment di luar program DSSI, untuk membantu negara-negara berkembang terkait melalui masa-masa sulit mereka.
Presiden Tiongkok juga merujuk pada Kongres Nasional yang baru-baru ini diselenggarakan oleh Partai Komunis Tiongkok. Presiden Xi, sekaligus Sekretaris Jenderal Komite Sentral PKT mengatakan bahwa pertemuan ini menegaskan kembali bahwa Tiongkok akan tetap berkomitmen pada pembangunan damai, keterbukaan, dan mendorong peremajaan kembali bangsa Tionghoa melalui modernisasi.
"Tiongkok yang bergerak menuju modernisasi akan membawa lebih banyak peluang kepada dunia, memberikan momentum yang lebih kuat bagi kerja sama internasional, dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi kemajuan manusia," kata Xi.
Kerja sama KCJB sudah jelas merupakan sebuah perwujudan. Selama pertemuannya dengan Presiden Afrika Selatan Ramaphosa dan Presiden Argentina Fernandez, Xi juga menekankan pendalaman kerja sama dalam mekanisme multilateral seperti BRICS, serta memajukan inisiatif Sabuk dan Jalan dengan memperluas kerja sama di sektor-sektor pertanian, energi dan infrastruktur, serta tentang perubahan iklim.
Referensi:
]]>Reporter CGTN
Beritabaru.co, Analisa - Dengan hiasan garis berwarna merah, kereta berkecepatan tinggi yang super ramping dan bertubuh perak perlahan-lahan keluar dari Stasiun Tegalluar Bandung pada hari Rabu kemarin. Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Indonesia Joko Widodo secara virtual memantau uji coba operasional kereta cepat pertama di Asia Tenggara di Bali, di mana Indonesia menjadi tuan rumah KTT G20.
Kedua belah pihak sepakat untuk membangun dan mengoperasikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung pada tahun 2015, dan pembangunannya telah berjalan lancar sejak tahun 2018. Terlepas dari berbagai masalah yang kompleks, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pihak-pihak yang berpartisipasi telah melakukan upaya yang sungguh-sungguh tanpa mengorbankan standar dan kualitas yang tinggi.
Proyek tengara ini adalah proyek konstruksi luar negeri pertama yang sepenuhnya menggunakan sistem kereta api, teknologi, dan komponen industri Tiongkok, yang sedang dipamerkan di KTT G20 sebagai bagian dari upaya Tiongkok untuk menyelesaikan proyek-proyek dalam inisiatif Sabuk dan Jalan. Pada sesi pertama konferensi, Xi mengatakan bahwa dunia sedang menghadapi perubahan penting yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam satu abad, dan menyebut bahwa COVID-19, ekonomi yang rapuh, geopolitik yang tegang, tata kelola global yang tidak memadai, dan krisis pangan dan energi, adalah ‘tantangan berat’ bagi pembangunan bersama.
"Sangat penting bahwa semua negara merangkul visi komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia, mengadvokasi perdamaian, pembangunan, dan kerja sama yang saling menguntungkan," kata pemimpin Tiongkok itu. "Semua negara harus menggantikan perpecahan dengan persatuan, konfrontasi dengan kerja sama, dan eksklusivitas dengan inklusivitas."
"Mentalitas Perang Dingin telah lama ketinggalan zaman," tekan Xi, ia mengatakan tidak ada yang boleh mencari keuntungan sendiri dengan menyulitkan orang lain, membangun "halaman kecilnya sendiri dengan pagar tinggi", atau membuat kelompoknya sendiri yang tertutup dan eksklusif. Beijing telah melihat garis ideologis dan politik kelompok Washington sebagai ancaman terhadap kedaulatan, keamanan, dan hak pembangunannya di dunia yang multi-polar.
Pada hari Senin lalu, dalam pertemuan yang sangat dinanti-nantikan oleh Xi dan mitranya dari AS Joe Biden, kedua pemimpin mengadakan pertukaran yang jujur dan mendalam, yang berlangsung selama lebih dari tiga jam di sela-sela KTT G20. Tiongkok mendesak agar hubungan kedua negara dapat kembali ke jalur yang stabil. Pertemuan itu terjadi beberapa bulan setelah Beijing memutuskan sejumlah kontak rutin dengan Washington karena kunjungan Ketua DPR Nancy Pelosi ke Taiwan.
Beijing mengatakan bahwa kedua belah pihak harus mengelola perbedaan, sementara pihak AS menekankan bahwa persaingan harus dicegah agar tidak menjadi konflik.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken sekarang berencana untuk mengunjungi Tiongkok di sela-sela serangkaian dialog yang dilanjutkan.
"Perpecahan dan konfrontasi tidak akan memberikan keuntungan dan manfaat bagi siapa pun," kata Xi pada sesi tersebut. Pada KTT tersebut, Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, memperingatkan para pemimpin G20 untuk tidak membiarkan proteksionisme perdagangan "berakar" dan mengatakan bahwa fragmentasi ekonomi dunia ke dalam blok-blok geopolitik akan secara signifikan merusak pertumbuhan. "Yang perlu kita lakukan adalah bergandengan tangan dan meningkatkan kerja sama win-win kita ke tingkat yang lebih tinggi," kata Presiden Tiongkok Xi Jinping, ia mengutip pepatah Indonesia yang mengatakan "serumpun serai, selubang seliang bagai tebu" yang berarti bersolidaritas.
Sebagai negara berkembang terbesar di dunia, Tiongkok telah memainkan peran utama dalam memulai program keamanan dan pembangunan secara global, terutama di antara negara-negara berkembang lainnya. Inisiatif Pembangunan Global (GDI) yang diusulkan oleh Xi, ditujukan untuk mendorong konsensus internasional dalam mendorong pembangunan, menumbuhkan pendorong baru untuk pembangunan global, serta memfasilitasi pembangunan bersama dan kemajuan semua negara.
Tiongkok juga telah membentuk Global Development and South-South Cooperation Fund, dan akan meningkatkan pendanaannya untuk Dana Perdamaian dan Pembangunan Tiongkok-PBB. Xi mengatakan Tiongkok telah bekerja sama dengan lebih dari 100 negara dan organisasi internasional di GDI, sehingga telah memberikan dorongan baru bagi implementasi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dalam "Aksi G20 untuk Pemulihan yang Kuat dan Inklusif", Tiongkok telah mengajukan 15 proyek dan berpartisipasi dalam lima proyek lainnya dalam kerangka kerja ini. Tiongkok berikrar untuk bekerja sama dengan anggota G20 dalam proyek-proyek tersebut. Para ahli mengatakan, Tiongkok sedang mencoba mengubah fokus tren global ke jalan pembangunan yang lebih damai dan cepat, meskipun beberapa negara termasuk pihak konservatif AS berpikir sebaliknya.
Pelepasan keterkaitan antara AS dengan Tiongkok telah memberikan tekanan yang lebih luas pada negara lain. Direktur Studi Politik Internasional di National Institute for Global Strategy, Zhao Hai mengatakan, "Dalam banyak kasus, negara-negara itu harus memihak, misalnya memisahkan diri dari rantai pasokan Tiongkok, menangguhkan produk teknologi dan ekspor peralatan ke Tiongkok, atau bekerja sama dengan militer AS."
"Sanksi sepihak harus dihapus, dan pembatasan kerja sama ilmiah dan teknologi terkait juga harus dicabut," kata Xi. Satu bulan lalu, pemerintahan Biden mulai memotong pasokan microchip Beijing, mengeluarkan dua aturan baru yang membatasi perusahaan pengekspor chip dan peralatan pembuat chip ke Tiongkok sambil mendorong sekutunya melakukan hal yang sama. Banyak yang melihatnya lebih dari sekadar kebuntuan perdagangan dan kenyataan yang berkembang menjadi gempa geopolitik yang mengkhawatirkan pemain lain dan sistem tata kelola global.
‘Persaingan’ yang dipolitisasi antara dua ekonomi terbesar datang ketika globalisasi ekonomi ditempa angin kencang, dan ekonomi dunia berisiko mengalami resesi. Dalam G20, pemimpin Tiongkok menyoroti masalah kerawanan pangan dan energi, dengan mengatakan bahwa krisis itu adalah "tantangan paling mendesak dalam pembangunan global," menyebut bahwa rantai pasokan yang terputus dan kerja sama internasional sebagai "akar penyebab krisis yang sedang berlangsung."
"Kita harus dengan tegas menentang upaya politisasi, instrumentalisasi, dan persenjataan masalah pangan dan energi," kata Xi. Tahun ini, Tiongkok telah mengusulkan, Inisiatif Kerja Sama Internasional tentang Industri dan Rantai Pasokan yang Tangguh dan Stabil bersama dengan enam mitra termasuk Indonesia dan Serbia. Tiongkok juga bergabung dengan negara-negara lain mengimbau pembentukan Kemitraan Kerja Sama Energi Bersih Global, dan mengedepankan Inisiatif Kerja Sama Internasional tentang Ketahanan Pangan Global di G20.
"Kita perlu membangun kemitraan global untuk pemulihan ekonomi, selalu mengingat kesulitan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang, dan mengakomodasi kekhawatiran mereka," kata Xi kepada para pemimpin dunia di KTT itu. "Semua orang mengalami kesulitan, tetapi negara-negara berkembang yang menanggung bebannya."
Xi mengatakan, lembaga keuangan internasional dan kreditor komersial, yang menjadi kreditor utama negara-negara berkembang harus ambil bagian dalam pengurangan dan penangguhan utang untuk negara-negara berkembang, serta menyatakan dukungan mereka terhadap niat Uni Afrika untuk bergabung dalam G20.
Tiongkok sekarang menerapkan Inisiatif Penangguhan Layanan Utang (G20 Debt Service Suspension Initiative/ DSSI) G20, dan telah menangguhkan jumlah pembayaran layanan utang terbesar di antara semua anggota G20.
Sementara itu, Tiongkok bekerja sama dengan beberapa anggota G20 dalam penanganan utang di bawah Common Framework for Debt Treatment di luar program DSSI, untuk membantu negara-negara berkembang terkait melalui masa-masa sulit mereka.
Presiden Tiongkok juga merujuk pada Kongres Nasional yang baru-baru ini diselenggarakan oleh Partai Komunis Tiongkok. Presiden Xi, sekaligus Sekretaris Jenderal Komite Sentral PKT mengatakan bahwa pertemuan ini menegaskan kembali bahwa Tiongkok akan tetap berkomitmen pada pembangunan damai, keterbukaan, dan mendorong peremajaan kembali bangsa Tionghoa melalui modernisasi.
"Tiongkok yang bergerak menuju modernisasi akan membawa lebih banyak peluang kepada dunia, memberikan momentum yang lebih kuat bagi kerja sama internasional, dan memberikan kontribusi yang lebih besar bagi kemajuan manusia," kata Xi.
Kerja sama KCJB sudah jelas merupakan sebuah perwujudan. Selama pertemuannya dengan Presiden Afrika Selatan Ramaphosa dan Presiden Argentina Fernandez, Xi juga menekankan pendalaman kerja sama dalam mekanisme multilateral seperti BRICS, serta memajukan inisiatif Sabuk dan Jalan dengan memperluas kerja sama di sektor-sektor pertanian, energi dan infrastruktur, serta tentang perubahan iklim.
Referensi:
]]>Oleh : Rizka Fitriyani
Analisis – Pembangunan dan lingkungan hidup adalah dua mata uang yang tidak dapat terpisahkan, keduanya saling berkaitan dan saling terdampak. Seringkali pembangunan dilakukan dengan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) secara massif yang berimplikasi pada kerusakan lingkungan hidup di kemudian hari. Pola pembangunan ekonomi yang ekstaktif sudah “ketinggalan jaman” dan harus segera ditindaklanjuti dengan mengubah pola pembangunan ekonomi yang ekstraktif menjadi pembangunan yang berkelanjutan.
Pada tingkat global upaya mendorong pembangungan yang berkelanjutan dicetuskan dalam komitmen Sustainable Development Goals (SDGs), dimana upaya pelestarian lingkungan juga termaktub di dalamnya. Pada SDGs terdapat 17 komitmen global yang kemudian coba diintegrasikan ke dalam RPJMN 2020-2024. RPJMN 2020-2024 oleh pemerintah diklaim sebagai RPJMN hijau, karena mengintegrasikan kebijakan – kebijakan terkait upaya perlindungan lingkungan hidup, kebijakan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim yang dijadikan sebagai salah satu Visi- Misi Presiden ke-4, yaitu “mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan”, dan kemudian diterjemahkan ke dalam agenda pembangunan ke-6, yaitu “Lingkungan Hidup, Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim”.
RPJMN 2020 2024 juga menetapkan beberapa indicator target capaian pembangunan pada sector lingkungan hidup, yaitu : 1).Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) mencapai 69,7 di tahun 2024; 2). Luas kawasan konservasi perairan dari 22,7 juta ha (2019) menjadi 26,9 juta ha (2024); 3).Luas area dengan nilai konservasi tinggi dari 52 juta ha (2019) menjadi 70 juta ha (2024); 4). Luas kawasan konservasi yang dikelola atau dipertahankan seluas 27 juta ha.
Anggaran lingkungan hidup tersebar dalam beberapa alokasi belanja di berbagai kementerian dan Lembaga, secara umum kita dapat melihat sekilas mengenai concern terhadap upaya perlindungan lingkungan hidup melalui belanja fungsi lingkungan hidup. Jika melihat dari anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah pusat terkait fungsi lingkungan hidup, dapat dikatakan bahwa target pembangunan di sector lingkungan hidup masih terkesan ambisius, karena target yang dituju tidak seiring dengan komitmen anggaran yang dilakukan oleh pemerintah.
Realisasi anggaran fungsi lingkungan hidup tidak mengalami perubahan yang cukup berarti setiap tahunnya. Rata – rata rasio anggaran fungsi lingkungan hidup terhadap total belanja fungsi berada dibawah 1 persen atau hanya sebesar 0,82 persen pada periode 2020 - 2022. Rasio ini dapat dikatakan sangat kecil jika dibandingkan dengan kekayaan ekologi yang harus dijaga dan kerusakan lingkungan hidup yang harus diperbaiki dan diantisipasi. Bahkan pada RAPBN 2023 pemerintah pusat hanya mengalokasikan sekitar Rp13,13 triliun untuk anggaran perlindungan lingkungan hidup, atau 0,59 persen terhadap total belanja fungsi.
Alokasi fungsi lingkungan hidup (LH) didaerah tidak jauh berbeda, dimana dari 34 provinsi hanya sekitar 23,5 persen daerah yang memiliki rasio belanja fungsi lingkungan hidup(LH) terhadap total balanja daerah diatas satu persen atau sekitar 8 daerah, yaitu Provinsi Riau (IKFD 0,89; rasio belanja LH 1,6%), Provinsi Lampung(IKFD 0,53; rasio belanja LH 19,4%), Provinsi DKI Jakarta (IKFD 11,39; rasio belanja LH 4,2%), Provinsi Yogjakarta (IKFD 0,27; rasio belanja LH 3%), Provinsi Kalimantan Selatan (IKFD 0,71; rasio belanja LH 5,2%), Provinsi Sulawesi Utara (IKFD 0,34; rasio belanja LH 1,6%), Provinsi Maluku Utara (IKFD 0,27; rasio belanja LH 1,2%), Dan Provinsi Sulawesi Barat (IKFD 0,18; rasio belanja LH1,3%).
Dari 34 provinsi terdapat 5 daerah yang memiliki Indeks Kapasitas fiscal daerah (IKFD) berkategori tinggi (Provinsi Sumatera Utara 0,893; Provinsi Riau 0,887; Provinsi Sumatera Selatan 0,958; Provinsi Kalimantan Timur 0,975; Provinsi Banten 1,133), dan 4 daerah yang berkategori sangat tinggi (Provinsi DKI Jakarta 11,39; Provinsi Jawa Barat 3,60; Provinsi Jawa Tengah 2,05; Provinsi Jawa Timur 2,54).
Dari 9 daerah tersebut hanya terdapat 2 daerah yang mengalokasikan belanja fungsi lingkungan hidup diatas 1 persen yaitu Provinsi Riau (1,6%) dan provinsi Jakarta (4,2%). Masih banyak daerah yang memiliki kemampuan kapasitas fiscal sangat tinggi atau tinggi tidak mengalokasikan belanja fungsi LH diatas 1 persen, bahkan provinsi Kalimantan timur (IKFD 0,98) yang dikawasannya banyak dilakukan ekstraksi SDA hanya mengalokasikan sekitar 0,2 persen untuk belanja LH.
Hal tersebut dapat menjadi gambaran awal bahwa memang belanja fungsi LH belum menjadi prioritas jika dibandingkan dengan belanja fungsi lainnya, hal ini sangat bertentangan dengan target perlindungan LH yang ingin dikejar oleh pemerintah.
]]>Oleh : Rizka Fitriyani
Analisis – Pembangunan dan lingkungan hidup adalah dua mata uang yang tidak dapat terpisahkan, keduanya saling berkaitan dan saling terdampak. Seringkali pembangunan dilakukan dengan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) secara massif yang berimplikasi pada kerusakan lingkungan hidup di kemudian hari. Pola pembangunan ekonomi yang ekstaktif sudah “ketinggalan jaman” dan harus segera ditindaklanjuti dengan mengubah pola pembangunan ekonomi yang ekstraktif menjadi pembangunan yang berkelanjutan.
Pada tingkat global upaya mendorong pembangungan yang berkelanjutan dicetuskan dalam komitmen Sustainable Development Goals (SDGs), dimana upaya pelestarian lingkungan juga termaktub di dalamnya. Pada SDGs terdapat 17 komitmen global yang kemudian coba diintegrasikan ke dalam RPJMN 2020-2024. RPJMN 2020-2024 oleh pemerintah diklaim sebagai RPJMN hijau, karena mengintegrasikan kebijakan – kebijakan terkait upaya perlindungan lingkungan hidup, kebijakan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim yang dijadikan sebagai salah satu Visi- Misi Presiden ke-4, yaitu “mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan”, dan kemudian diterjemahkan ke dalam agenda pembangunan ke-6, yaitu “Lingkungan Hidup, Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim”.
RPJMN 2020 2024 juga menetapkan beberapa indicator target capaian pembangunan pada sector lingkungan hidup, yaitu : 1).Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) mencapai 69,7 di tahun 2024; 2). Luas kawasan konservasi perairan dari 22,7 juta ha (2019) menjadi 26,9 juta ha (2024); 3).Luas area dengan nilai konservasi tinggi dari 52 juta ha (2019) menjadi 70 juta ha (2024); 4). Luas kawasan konservasi yang dikelola atau dipertahankan seluas 27 juta ha.
Anggaran lingkungan hidup tersebar dalam beberapa alokasi belanja di berbagai kementerian dan Lembaga, secara umum kita dapat melihat sekilas mengenai concern terhadap upaya perlindungan lingkungan hidup melalui belanja fungsi lingkungan hidup. Jika melihat dari anggaran yang digelontorkan oleh pemerintah pusat terkait fungsi lingkungan hidup, dapat dikatakan bahwa target pembangunan di sector lingkungan hidup masih terkesan ambisius, karena target yang dituju tidak seiring dengan komitmen anggaran yang dilakukan oleh pemerintah.
Realisasi anggaran fungsi lingkungan hidup tidak mengalami perubahan yang cukup berarti setiap tahunnya. Rata – rata rasio anggaran fungsi lingkungan hidup terhadap total belanja fungsi berada dibawah 1 persen atau hanya sebesar 0,82 persen pada periode 2020 - 2022. Rasio ini dapat dikatakan sangat kecil jika dibandingkan dengan kekayaan ekologi yang harus dijaga dan kerusakan lingkungan hidup yang harus diperbaiki dan diantisipasi. Bahkan pada RAPBN 2023 pemerintah pusat hanya mengalokasikan sekitar Rp13,13 triliun untuk anggaran perlindungan lingkungan hidup, atau 0,59 persen terhadap total belanja fungsi.
Alokasi fungsi lingkungan hidup (LH) didaerah tidak jauh berbeda, dimana dari 34 provinsi hanya sekitar 23,5 persen daerah yang memiliki rasio belanja fungsi lingkungan hidup(LH) terhadap total balanja daerah diatas satu persen atau sekitar 8 daerah, yaitu Provinsi Riau (IKFD 0,89; rasio belanja LH 1,6%), Provinsi Lampung(IKFD 0,53; rasio belanja LH 19,4%), Provinsi DKI Jakarta (IKFD 11,39; rasio belanja LH 4,2%), Provinsi Yogjakarta (IKFD 0,27; rasio belanja LH 3%), Provinsi Kalimantan Selatan (IKFD 0,71; rasio belanja LH 5,2%), Provinsi Sulawesi Utara (IKFD 0,34; rasio belanja LH 1,6%), Provinsi Maluku Utara (IKFD 0,27; rasio belanja LH 1,2%), Dan Provinsi Sulawesi Barat (IKFD 0,18; rasio belanja LH1,3%).
Dari 34 provinsi terdapat 5 daerah yang memiliki Indeks Kapasitas fiscal daerah (IKFD) berkategori tinggi (Provinsi Sumatera Utara 0,893; Provinsi Riau 0,887; Provinsi Sumatera Selatan 0,958; Provinsi Kalimantan Timur 0,975; Provinsi Banten 1,133), dan 4 daerah yang berkategori sangat tinggi (Provinsi DKI Jakarta 11,39; Provinsi Jawa Barat 3,60; Provinsi Jawa Tengah 2,05; Provinsi Jawa Timur 2,54).
Dari 9 daerah tersebut hanya terdapat 2 daerah yang mengalokasikan belanja fungsi lingkungan hidup diatas 1 persen yaitu Provinsi Riau (1,6%) dan provinsi Jakarta (4,2%). Masih banyak daerah yang memiliki kemampuan kapasitas fiscal sangat tinggi atau tinggi tidak mengalokasikan belanja fungsi LH diatas 1 persen, bahkan provinsi Kalimantan timur (IKFD 0,98) yang dikawasannya banyak dilakukan ekstraksi SDA hanya mengalokasikan sekitar 0,2 persen untuk belanja LH.
Hal tersebut dapat menjadi gambaran awal bahwa memang belanja fungsi LH belum menjadi prioritas jika dibandingkan dengan belanja fungsi lainnya, hal ini sangat bertentangan dengan target perlindungan LH yang ingin dikejar oleh pemerintah.
]]>Oleh: Rizka Fitriyani
Analisa – Kasus kekerasan dalam bentuk apa pun kepada perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es. Setiap tahun laporan atas kasus kekerasan yang terjadi semakin bertambah. Kekerasan Fisik, kekerasan psikis, bullying, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual, pelecehan seksual non-fisik maupun pelecehan seksual fisik di tempat kerja, di sekolah, di lingkungan keluarga, maupun di tempat umum semakin sering terjadi.
Berdasarkan data kekerasan—berdasarkan waktu pelaporan—yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) melalui aplikasi simfoni memperlihatkan bahwa angka kekerasan kepada perempuan dan anak semakin bertambah setiap tahunnya. Pada 2020, angka kekerasan pada perempuan melonjak 8,2 persen menjadi 18,2 ribu dari tahun 2019 sebesar 17,03 ribu. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah kasus kekerasan pada anak yang semakin meningkat di tahun 2020 hingga 2021.
"Kekerasan tidak memandang gender, usia, pakaian, siapa pelaku kekerasan, kondisi saat kejadian, lingkungan saat kejadian. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam segala bentuk bukanlah hal yang harus dimaklumi dengan pemahaman kultur, tetapi harus dihentikan."
Kultur di Indonesia yang belum sepenuhnya mendukung keberpihakan kepada korban, kondisi lingkungan yang tidak mendukung perlindungan dan pemulihan pada korban, keadilan, ketimpangan kuasa, membuat korban sering kali mengalami reviktimisasi, sehingga banyak yang enggan melaporkan. Kebiasaan di Indonesia yang masih berputar-putar sebatas menyalahkan korban dengan permasalahan pakaian, mengaitkan dengan kebiasaan umum di masyarakat, dan lainnya membuat permasalahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi fenomena gunung es.
Mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam segala bentuk merupakan salah satu target capaian dalam SDGs khususnya pada tujuan 5-kesetaraan gender, tujuan 10-berkurangnya kesenjangan, dan tujuan 16-perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Target capaian tersebut juga diintegrasikan dalam RPJMN pemerintah yang diaktualisasikan dalam berbagai bentuk program dan kegiatan. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan anggaran pada KPPA dan Komisi.
Melihat lebih jauh mengenai alokasi anggaran pada KPPA dan KPAI terlihat bahwa alokasi anggarannya justru mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun, dengan rata-rata pertumbuhan anggarannya hanya sebesar -19 persen pada realisasi 2018-2021. Rata-rata rasio belanja anggaran belanja KPPA dan KPAI terhadap belanja pemerintah pusat bahkan hanya sebesar 0,022 persen per tahunnya.
Angka ini sangatlah kecil sekali jika dibandingkan dengan alokasi belanja kementerian/lembaga lainnya. Pada outlook 2022 alokasi anggaran KPPA hanya sebesar Rp0,2 triliun atau 0,019 persen dari total Belanja K/L sebesar Rp1.032,50 triliun, dan pada RAPBN 2023 belanja KPPA dialokasikan sebesar Rp0,3 triliun atau 0,030 persen dari total Belanja K/L sebesar Rp993,2 triliun. Ini memperlihatkan bahwa belum terjadi peningkatan pada alokasi belanja KPPA.
Di sisi lain untuk merespons fenomena gunung es kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah, pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran Dana Pelayanan PPA kepada pemerintah daerah yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Alokasi anggaran ini dimulai sejak tahun 2021 dan dilanjutkan hingga saat ini. Pada RAPBN tahun anggaran 2023 dana Pelayanan PPA direncanakan sebesar Rp132,0 miliar atau hanya sebesar 0,101 persen terhadap total DAK non-fisik sebesar Rp130,30 triliun yang diperuntukkan bagi pendanaan layanan perlindungan perempuan dan anak di 275 daerah.
Jika kita bagi ratakan terhadap 275 daerah maka diperkirakan setiap daerah mendapatkan hanya sekitar Rp480 juta per daerah. Melihat semakin meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak maka sudah seharusnya alokasi untuk PPA juga ditingkatkan.
Tahun 2022 merupakan titik cerah bagi penanganan kasus-kasus terkait pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak, yang ditandai dengan disahkan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Disahkannya UU ini, menjadi salah satu capaian untuk memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari berbagai kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak. UU TPKS ini terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal, di mana terdapat 8 poin utama dalam UU TPKS ini, yaitu:
Meskipun masih jauh dari sempurna, UU TPKS merupakan titik cerah dan diharapkan dapat menjadi payung hukum atau legal standing untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual di Indonesia. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan tetap bersinergi dalam melakukan penyelarasan dan menyiapkan peraturan pelaksana UU TPKS, mengingat penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak harus segera ditindaklanjuti karena kasus kekerasan yang terjadi sebenarnya lebih tinggi daripada yang dilaporkan.
]]>Oleh: Rizka Fitriyani
Analisa – Kasus kekerasan dalam bentuk apa pun kepada perempuan dan anak merupakan fenomena gunung es. Setiap tahun laporan atas kasus kekerasan yang terjadi semakin bertambah. Kekerasan Fisik, kekerasan psikis, bullying, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual; dan perbudakan seksual, pelecehan seksual non-fisik maupun pelecehan seksual fisik di tempat kerja, di sekolah, di lingkungan keluarga, maupun di tempat umum semakin sering terjadi.
Berdasarkan data kekerasan—berdasarkan waktu pelaporan—yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) melalui aplikasi simfoni memperlihatkan bahwa angka kekerasan kepada perempuan dan anak semakin bertambah setiap tahunnya. Pada 2020, angka kekerasan pada perempuan melonjak 8,2 persen menjadi 18,2 ribu dari tahun 2019 sebesar 17,03 ribu. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah kasus kekerasan pada anak yang semakin meningkat di tahun 2020 hingga 2021.
"Kekerasan tidak memandang gender, usia, pakaian, siapa pelaku kekerasan, kondisi saat kejadian, lingkungan saat kejadian. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam segala bentuk bukanlah hal yang harus dimaklumi dengan pemahaman kultur, tetapi harus dihentikan."
Kultur di Indonesia yang belum sepenuhnya mendukung keberpihakan kepada korban, kondisi lingkungan yang tidak mendukung perlindungan dan pemulihan pada korban, keadilan, ketimpangan kuasa, membuat korban sering kali mengalami reviktimisasi, sehingga banyak yang enggan melaporkan. Kebiasaan di Indonesia yang masih berputar-putar sebatas menyalahkan korban dengan permasalahan pakaian, mengaitkan dengan kebiasaan umum di masyarakat, dan lainnya membuat permasalahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi fenomena gunung es.
Mengatasi kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam segala bentuk merupakan salah satu target capaian dalam SDGs khususnya pada tujuan 5-kesetaraan gender, tujuan 10-berkurangnya kesenjangan, dan tujuan 16-perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. Target capaian tersebut juga diintegrasikan dalam RPJMN pemerintah yang diaktualisasikan dalam berbagai bentuk program dan kegiatan. Salah satunya adalah dengan mengalokasikan anggaran pada KPPA dan Komisi.
Melihat lebih jauh mengenai alokasi anggaran pada KPPA dan KPAI terlihat bahwa alokasi anggarannya justru mengalami tren penurunan dari tahun ke tahun, dengan rata-rata pertumbuhan anggarannya hanya sebesar -19 persen pada realisasi 2018-2021. Rata-rata rasio belanja anggaran belanja KPPA dan KPAI terhadap belanja pemerintah pusat bahkan hanya sebesar 0,022 persen per tahunnya.
Angka ini sangatlah kecil sekali jika dibandingkan dengan alokasi belanja kementerian/lembaga lainnya. Pada outlook 2022 alokasi anggaran KPPA hanya sebesar Rp0,2 triliun atau 0,019 persen dari total Belanja K/L sebesar Rp1.032,50 triliun, dan pada RAPBN 2023 belanja KPPA dialokasikan sebesar Rp0,3 triliun atau 0,030 persen dari total Belanja K/L sebesar Rp993,2 triliun. Ini memperlihatkan bahwa belum terjadi peningkatan pada alokasi belanja KPPA.
Di sisi lain untuk merespons fenomena gunung es kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah, pemerintah pusat juga mengalokasikan anggaran Dana Pelayanan PPA kepada pemerintah daerah yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Alokasi anggaran ini dimulai sejak tahun 2021 dan dilanjutkan hingga saat ini. Pada RAPBN tahun anggaran 2023 dana Pelayanan PPA direncanakan sebesar Rp132,0 miliar atau hanya sebesar 0,101 persen terhadap total DAK non-fisik sebesar Rp130,30 triliun yang diperuntukkan bagi pendanaan layanan perlindungan perempuan dan anak di 275 daerah.
Jika kita bagi ratakan terhadap 275 daerah maka diperkirakan setiap daerah mendapatkan hanya sekitar Rp480 juta per daerah. Melihat semakin meningkatnya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak maka sudah seharusnya alokasi untuk PPA juga ditingkatkan.
Tahun 2022 merupakan titik cerah bagi penanganan kasus-kasus terkait pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak, yang ditandai dengan disahkan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Disahkannya UU ini, menjadi salah satu capaian untuk memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari berbagai kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak. UU TPKS ini terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal, di mana terdapat 8 poin utama dalam UU TPKS ini, yaitu:
Meskipun masih jauh dari sempurna, UU TPKS merupakan titik cerah dan diharapkan dapat menjadi payung hukum atau legal standing untuk menangani setiap jenis kasus kekerasan seksual di Indonesia. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah pemerintah dan seluruh pemangku kebijakan tetap bersinergi dalam melakukan penyelarasan dan menyiapkan peraturan pelaksana UU TPKS, mengingat penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak harus segera ditindaklanjuti karena kasus kekerasan yang terjadi sebenarnya lebih tinggi daripada yang dilaporkan.
]]>Oleh : Rizka Fitriyani
Anak merupakan generasi penerus yang memiliki hak yang sama untuk tumbuh, berkembang sesuai dengan potensinya. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan perlindungan bagi anak dan memastikan bahwa anak Indonesia dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, sebagaimana tercantum di dalam Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 B ayat 2.
Stunting, masih menjadi masalah di Indonesia yang harus diatasi secara serius, mengingat stunting berisiko menurunkan kualitas sumber daya manusia suatu negara, dimana sekitar 2 hingga 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB dapat “hilang” per tahunnya akibat stunting[1].
Prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan ketentuan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu sebesar 20%. Tak hanya itu, bahkan,prevalensi stunting indonesia masih jauh diatas rata-rata prevalensi stunting secara global, dimana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Joint Child Malnutrition Estimates (UNICEF, WHO, World Bank Group, Joint Child Malnutrition Estimates,2021) persentase prevalensi stunting secara global pada tahun 2020 mencapai 22 persen, sedangkan persentase prevalensi stunting Indonesia di tahun 2020 berada pada angka 26,92 persen[2], yang artinya upaya penurunan prevalensi stunting masih memerlukan jalan Panjang. Untuk di tahun 2022 sendiri, pemerintah menargetkan untuk menurunkan prevalensi stunting menjadi 21 persen atau turun 3 persen dari tahun 2021 sebesar 24,4 persen[3].
Mengatasi prevalensi stunting yang masih tinggi terus dikejar oleh pemerintah, dari sisi anggaran, pemerintah mencoba untuk mengimplementasikan upaya melalui penyaluran dana transfer untuk mengatasi permasalahan stunting, dan juga melakukan fokus anggaran belanja terkait anggaran stunting pada kementerian dan Lembaga.
Gambar : Alokasi Anggaran Pada Output K/L TA 2019-2022 Yang Mendukung Penurunan Stunting (dalam Triliun Rupiah)
Pada periode 2019 – 2022 rerata anggaran pada output k/l yang mendukung penurunan stunting mencapai sebesar 36,8 triliun. Namun jika dilihat secara rerata rasio Alokasi Anggaran Pada Output K/L TA 2019-2022 Yang Mendukung Penurunan Stunting terhadap total anggaran belanja K/L pada periode yang sama hanya sebesar 4 persen. Rasio Alokasi Anggaran Pada Output K/L TA 2019-2022 Yang Mendukung Penurunan Stunting dengan total belanja K/L pada periode yang sama masih bisa dikatakan cukup kecil yaitu pada rasio realisasi tahun 2019 sebesar 3,3 persen, rasio ditahun 2020 realisasinya sebesar 4,6%, ditahun 2021 rasionya sebesar 3,4 persen, dan pada tahun 2022 hanya sebesar 3,6%, yang artinya besaran rasio anggaran yang mendukung penurunan stunting setiap tahunnya tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Pemerintah pusat telah menyalurkan dana transfer kepada pemerintah daerah berupa DAK Fisik dan DAK non Fisik, maupun dana desa untuk mendukung penurunan stunting di daerah, dengan jumlah alokasi anggaran yang ditransfer bertambah setiap tahunnya. Akan tetapi, pemberian anggaran ini malah cenderung membuat daerah menjadi bergantung.
Berdasarkan hasil sementara tagging dan tracking anggaran APBD yang dilakukan Kemenkeu dan Bank Dunia kepada 508 kab/kota (dan 34 provinsi), diketahui bahwa total alokasi APBD kab/kota untuk intervensi penurunan stunting diperkirakan Rp59,8 T pada 2021 dan Rp60,8 T pada 2022, dan Rata-rata porsi alokasi terkait stunting per kab/kota baru mencapai 8% pada Tahun 2021 (8,4%) dan Tahun 2022 (7,8%). Tak hanya itu, berdasarkan tagging dan tracking anggaran pada APBD juga diketahui bahwa dari alokasi anggaran sebesar Rp60 triliun dana terkait stunting dalam APBD, sekitar 69% (Rp 42 trilyun) berasal dari dana transfer ke daerah termasuk DAK, dan 31% (Rp 18 trilyun) Alokasi non dana transfer[4]. Hal ini menggambarkan bahwa komitmen ditingkat daerah dalam mengatasi stunting masih belum sinergi dengan pemerintah pusat, hal ini menjadi salah satu permasalahan didalam implementasi pengentasan stunting di Indonesia.
[1] Laporan Perkembangan Ekonomi Dan Fiskal Daerah Sinergi Pendanaan Mei 2022, Hal.10
[2] https://stunting.go.id/angka-prevalensi-stunting-tahun-2020-diprediksi-turun/
[3] https://nasional.kompas.com/read/2022/05/11/17322001/pemerintah-targetkan-angka-prevalensi-stunting-turun-3-persen-pada-2022
[4] Bahan Paparan Dr. Suprayoga Hadi, Pentingnya Komitmen Kepemimpinan Di Daerah Dalam Percepatan Penurunan Stunting, kemensetneg, 2022. Hal 5-6.
Rizka Fitriyani
]]>Oleh : Rizka Fitriyani
Anak merupakan generasi penerus yang memiliki hak yang sama untuk tumbuh, berkembang sesuai dengan potensinya. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan perlindungan bagi anak dan memastikan bahwa anak Indonesia dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, sebagaimana tercantum di dalam Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 B ayat 2.
Stunting, masih menjadi masalah di Indonesia yang harus diatasi secara serius, mengingat stunting berisiko menurunkan kualitas sumber daya manusia suatu negara, dimana sekitar 2 hingga 3 persen dari Pendapatan Domestik Bruto atau PDB dapat “hilang” per tahunnya akibat stunting[1].
Prevalensi stunting di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan ketentuan ambang batas yang ditetapkan WHO yaitu sebesar 20%. Tak hanya itu, bahkan,prevalensi stunting indonesia masih jauh diatas rata-rata prevalensi stunting secara global, dimana berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Joint Child Malnutrition Estimates (UNICEF, WHO, World Bank Group, Joint Child Malnutrition Estimates,2021) persentase prevalensi stunting secara global pada tahun 2020 mencapai 22 persen, sedangkan persentase prevalensi stunting Indonesia di tahun 2020 berada pada angka 26,92 persen[2], yang artinya upaya penurunan prevalensi stunting masih memerlukan jalan Panjang. Untuk di tahun 2022 sendiri, pemerintah menargetkan untuk menurunkan prevalensi stunting menjadi 21 persen atau turun 3 persen dari tahun 2021 sebesar 24,4 persen[3].
Mengatasi prevalensi stunting yang masih tinggi terus dikejar oleh pemerintah, dari sisi anggaran, pemerintah mencoba untuk mengimplementasikan upaya melalui penyaluran dana transfer untuk mengatasi permasalahan stunting, dan juga melakukan fokus anggaran belanja terkait anggaran stunting pada kementerian dan Lembaga.
Gambar : Alokasi Anggaran Pada Output K/L TA 2019-2022 Yang Mendukung Penurunan Stunting (dalam Triliun Rupiah)
Pada periode 2019 – 2022 rerata anggaran pada output k/l yang mendukung penurunan stunting mencapai sebesar 36,8 triliun. Namun jika dilihat secara rerata rasio Alokasi Anggaran Pada Output K/L TA 2019-2022 Yang Mendukung Penurunan Stunting terhadap total anggaran belanja K/L pada periode yang sama hanya sebesar 4 persen. Rasio Alokasi Anggaran Pada Output K/L TA 2019-2022 Yang Mendukung Penurunan Stunting dengan total belanja K/L pada periode yang sama masih bisa dikatakan cukup kecil yaitu pada rasio realisasi tahun 2019 sebesar 3,3 persen, rasio ditahun 2020 realisasinya sebesar 4,6%, ditahun 2021 rasionya sebesar 3,4 persen, dan pada tahun 2022 hanya sebesar 3,6%, yang artinya besaran rasio anggaran yang mendukung penurunan stunting setiap tahunnya tidak mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Pemerintah pusat telah menyalurkan dana transfer kepada pemerintah daerah berupa DAK Fisik dan DAK non Fisik, maupun dana desa untuk mendukung penurunan stunting di daerah, dengan jumlah alokasi anggaran yang ditransfer bertambah setiap tahunnya. Akan tetapi, pemberian anggaran ini malah cenderung membuat daerah menjadi bergantung.
Berdasarkan hasil sementara tagging dan tracking anggaran APBD yang dilakukan Kemenkeu dan Bank Dunia kepada 508 kab/kota (dan 34 provinsi), diketahui bahwa total alokasi APBD kab/kota untuk intervensi penurunan stunting diperkirakan Rp59,8 T pada 2021 dan Rp60,8 T pada 2022, dan Rata-rata porsi alokasi terkait stunting per kab/kota baru mencapai 8% pada Tahun 2021 (8,4%) dan Tahun 2022 (7,8%). Tak hanya itu, berdasarkan tagging dan tracking anggaran pada APBD juga diketahui bahwa dari alokasi anggaran sebesar Rp60 triliun dana terkait stunting dalam APBD, sekitar 69% (Rp 42 trilyun) berasal dari dana transfer ke daerah termasuk DAK, dan 31% (Rp 18 trilyun) Alokasi non dana transfer[4]. Hal ini menggambarkan bahwa komitmen ditingkat daerah dalam mengatasi stunting masih belum sinergi dengan pemerintah pusat, hal ini menjadi salah satu permasalahan didalam implementasi pengentasan stunting di Indonesia.
[1] Laporan Perkembangan Ekonomi Dan Fiskal Daerah Sinergi Pendanaan Mei 2022, Hal.10
[2] https://stunting.go.id/angka-prevalensi-stunting-tahun-2020-diprediksi-turun/
[3] https://nasional.kompas.com/read/2022/05/11/17322001/pemerintah-targetkan-angka-prevalensi-stunting-turun-3-persen-pada-2022
[4] Bahan Paparan Dr. Suprayoga Hadi, Pentingnya Komitmen Kepemimpinan Di Daerah Dalam Percepatan Penurunan Stunting, kemensetneg, 2022. Hal 5-6.
Rizka Fitriyani
]]>Veronika S. Saraswati
China Study Unit, CSIS Indonesia
Peran media pemberitaan jika hanya dibaca secara teknis dan normatif, tentu saja hanya menjadi instrumen biasa sebagai penyebaran informasi. Namun jika dilihat dalam perspektif yang luas, peran media sangatlah vital bukan hanya untuk instrumen menyampaikan kabar pemberitaan, namun juga efektif untuk mempengaruhi nalar opini publik melalui pemilihan framing dan strategi isi wacana yang dibentuknya. Media bisa menjadi senjata ampuh untuk menggiring kesan persepsi dan isi pikiran masyarakat.
Dalam sejarah panjang politik di abad modern ini, tidak ada satupun praktik kekuasaan yang tidak melibatkan peran media. Jauh lebih mendasarnya, media tak hanya sebagai instrumen kekuasaan, namun menjadi ‘kekuasaan’ itu sendiri. Siapa yang bisa menguasai media, ia yang mampu menguasai politik dunia. Apa yang diproduksi media tak shanya kumpulan narasi kalimat, namun sebuah rpresentasi dari sebagain realitas. Dalam praktikm kuasanya, media juga mampu mengkonstruksi realitas, bahkan realitas yang sudah jauh dari fakta kebenaran. Dengan manipulasi media, kebohongan bisa akan Nampak sebagai narasi-narasi kebenaran.
Pasca peristiwa 11 September 2011 dengan momen serangan bunuh diri pesawat ke menara kembar Gedung World Trade Center Amerika Serikat, telah mendorong sebuah derklarasi perlawanan terhadap Terorisme Global. Nagara AS selanjutnya dengan sangat massif mengkampanyekan kutukan sekaligus perlawanan terhadap praktik terorisme global. Doktrin Anti-Terorisme menjadi platform sekaligus materi utama dalam setiap wacana-wacana politik Amerika Serikat. Berbareng dengan berbagai theadline topik yang terus menerus direproduksi mengenai kengerian serangan 11 september, telunjuk politik AS juga secara stigmatic mengarahkan kepada beberapa negara yang dianggap sebagai pendukung kelompok teroiris, terutama negara-negara yang selama ini berseberangan dengan politik AS di Timur Tengah.
Inilah tonggak awal dari startegi kampanye dan politik propaganda AS upaya mengkonstruksikan negara-negara seperti Irak, Suriah, Afghanistan, Libya dan beberapa kroni politik lain sebagai musuh AS. Tidak hanya selesai di situ, praktis AS rezim selanjutnya melakukan serangan-serangan kongkrit di beberapa negara tersebut. Serangan agresi AS berhasil meruntuhkan kekuasaan Sadam Husein di Irak dan juga kekuasaan Muammar Qadhafi di Linya. Dalih adanya pembangunan reaktor senjata pemusnah massal di Irak, menjadi salah satu dalih yang dipakai untuk meruntuhkan kekuatan Sadam Husein. Dalam perkembangan belakangan, fakta justru membuktikan hal yang bertolak belakang, bahwa tuduhan AS tidak memiliki verifikasi bukti sama sekali. Setelah kehancuran total kawasan Irak, toh tuduhan yang tidak berdasar itu tetap tidak diklarifikas untuk dipertanggungjawabkan.
Bombardir politik AS dan sekutunya ke Irak hanyalah Sebagian potret bagaimana propaganda media sungguh sangat efektif untuk dimainkan dalam politik dalih pembenaran dari langkah kepentingan politik Barat terutama kebijakan politik intervensi di kawasan Timur Tengah selama ini. Propaganda selalu disemai berbarengan dengan langkah intervensi fisik lainnya. Pelabelan ‘terorisme’ menjadi salah satu diksi wacana yang terus direproduksi terhadap setiap negara yang bersikap bersebrangan dengan AS. Kasus krisis dan konflik politik di Suriah juga menjadi salah satu contoh episode lainnya . Drama kekejaman, kediktatoran, politik teror dan anti demokrasi juga sering dimobilisasikan untuk membangun pelabelan buruk terhadap setiap pimpinan negara yang melawan dominasi kepentingan AS.
Manipulasi framing isi pemberitaan dan juga praktik rekayasa isi media bahkan juga selalu dimainkan. Dunia tidak pernah lupa dan pasti masih sangat ingat dengan fenomena rekayasa dan manipulasi pemberitaan Barat mengenai krisis perang di Suria. Mnipulasi kekejaman Suriah dikreasikan sedemikian rupa dalam cerita bocah Omran, bocah demngan wajah kusut dan luka parah sedang duduk di kursi mobil ambulance yang digambarkan sebagai korban kebiadaban rezim Suriah. Belakangan telah terbiongkar bahwa profil gambar bocah Omran hanyalah setingan rekayasa untuk membangun empati dan simpati dunia. Dengan pelabelan rezim Assad sebagai kejam dan monster terror, maka seolah AS dan para sekutunya memiliki legitimasi moral untuk melakukan serangan ke Suriah atas nama dalih kemanusiaan.
Praktik propaganda untuk legitimasi atas politik kepentingan Barat telah banyak dilakukan di berbagai negara bahkan tidak luput juga Indonesia. Keterlibatan negara-negara Barat untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno juga menggunakan copy paste pola yang sama. Bagaimana praktik propaganda media barat menyebutkan Soekarno sebagai pemimpin diktator dan sekaligus mengancam prinsip demokrasi seperti yang diandaikan oleh kepentingan Barat. Kejatuhan Soekarno tidak lepas juga dari praktik intervensi Barat. Jatihnua Soekarno dan juga peristiwa tragedy kekeraan politik sesudahnya adalah cermin dari wajah kontestasi politik global dengan melalui strategi ideologis maupun koersinya. Kedekatan Soekarno terhadap blok sosialis tentu saja mengkhawatirkan posisi politik imperialisme Barat di Indonesia.u
Analisis potret propaganda medias dan politik intervensi Barat ini juga bisa digunakan untuk mendalami persoalan konflik Rusia-Ukrania. Tidak jauh berbeda, kepentingan negara Barat dan terutama AS sangat kental dalam memposisikan framaing dan politik wacana yang dikembangkan. Respon dan mobilisasi pemberitaan media mainstream Barat telah memberi diksi dan koonotasi buruk pada kebijakan Rusia sebagai bentuk agresi dan invansi yang merusak kedaulatan Ukraina. Label aagresor bagi Rusia diucapkan langsung oleh presiden Joe Biden dan terus direproduksi menjadi diksi politik yang memberi citra buruk bagi langkah Rusia. Bahkan label buruk ini kemudian disandingkan dengan framing dan diksi pemberitaa atas negara Ukrania sebagai negara berdaulat dan beradab.
Konstruksi label aggressor tentu berkehendak untuk menyalahkan kebijakan Rusia di Ukraina. Pemberian citra positif bagi Ukraina juga bersamaan ingin memberi konotasi positif bahwa perlawanan Ukraina sangat dibenarkan dan mampu mendapat mobilisasi dukungan negara-negara Barat. Konstruksi konten pemberitaan ini tentu saja di sisi lain tidak pernah menunjukkan verifikasi data pemberitaan yang berimabng. Di ujung dimensi yang lain juga menyembunyikan fakta besar yang lain, semisal tentang bagaimana AS \bersama kekuatan blok NATO punya kepentingan ekonomi politik melalui kondisi politik Ukraina.
Dalam konteks dan wajah media mainstream Indonesia, atmosfir pemberitaan juga cenderung memiliki tendensi untuk melatakkan Rusia sebagai aktor yang lebih disalahkan. Secara politik, oligarki kepemilikan media Indonesia memang masih terkosentrasi pada para actor yang memiliki pandangan yang pro Barat. Pasca perubahan politik 1965 hingga sekarang, platform ekonomi politik masih erat berdekatan dengan banyak kepentingan politik Barat, tidak terkecuali posisi politik media. Sejak Orde Baru hingga sekarang, memang lanskap dominan kebijakan media memang lebih dekat dengan perspektif Barat daripada kepentingan Rusia.
Jejak perspektif kontestasi Perang Dingin, dalam beberapa artikulasi terlihat direproduksi dan terkesan dihidupkan kembali. Memori sejarah tersebut membantu untuk memperkuat pandangan publik atas posisi politik Rusia. Tidak sedikit mendudukan konflik Ukraina sebagai persoalan kontestasi antara negara-negara demokratis dengan negara-negara yang tidak dermokratis seperti yang dituduhkan kepada Rusia. Atau tidak sedikit yang juga memberi pandangan bahwa persoalan Rusia dan Ukraina sebagai konflik antara negara berdaulat (Ukraina) dan negara intervensionis (Rusia). Sudut pandang semacam ini sekali lagi telah menyembunyikan banyak fakta historis dan politis mengenai lanskap problem ketegangan Ukraina dan Rusia.
Framing dan strategi wacana pemberitaan memiliki kemampuan sekaligus, yakni untuk menonjolkan dan sejakugus menyembunyikan persoalan fakta sesungguhnya. Apa yang telah diproduksi oleh wacana media barat hanya menjadi bukti nyata bahwa media mainstreram barat tidak pernah netral dan objektif falam memberitakan persoalan konflik global yang menyangkut kepentingan Barat, termasuk dalam hal ini konflik Rusia dan Ukraina. Bahkan dalam ranah praktik media, sebuah perang sudah dimulai, sebelum perang sesungguhnya terjadi. Dalam dunia yang sudah termediasi oleh hadirnya banyak platform mrdia, maka tidak akan pernah ada sebu8ah kepentingan ekonomi politik yang tidak menggunakan media sebagai instrument senjata dan amunisi paling efektif untuk membantu kemenagan ekonomi politik.
]]>Veronika S. Saraswati
China Study Unit, CSIS Indonesia
Peran media pemberitaan jika hanya dibaca secara teknis dan normatif, tentu saja hanya menjadi instrumen biasa sebagai penyebaran informasi. Namun jika dilihat dalam perspektif yang luas, peran media sangatlah vital bukan hanya untuk instrumen menyampaikan kabar pemberitaan, namun juga efektif untuk mempengaruhi nalar opini publik melalui pemilihan framing dan strategi isi wacana yang dibentuknya. Media bisa menjadi senjata ampuh untuk menggiring kesan persepsi dan isi pikiran masyarakat.
Dalam sejarah panjang politik di abad modern ini, tidak ada satupun praktik kekuasaan yang tidak melibatkan peran media. Jauh lebih mendasarnya, media tak hanya sebagai instrumen kekuasaan, namun menjadi ‘kekuasaan’ itu sendiri. Siapa yang bisa menguasai media, ia yang mampu menguasai politik dunia. Apa yang diproduksi media tak shanya kumpulan narasi kalimat, namun sebuah rpresentasi dari sebagain realitas. Dalam praktikm kuasanya, media juga mampu mengkonstruksi realitas, bahkan realitas yang sudah jauh dari fakta kebenaran. Dengan manipulasi media, kebohongan bisa akan Nampak sebagai narasi-narasi kebenaran.
Pasca peristiwa 11 September 2011 dengan momen serangan bunuh diri pesawat ke menara kembar Gedung World Trade Center Amerika Serikat, telah mendorong sebuah derklarasi perlawanan terhadap Terorisme Global. Nagara AS selanjutnya dengan sangat massif mengkampanyekan kutukan sekaligus perlawanan terhadap praktik terorisme global. Doktrin Anti-Terorisme menjadi platform sekaligus materi utama dalam setiap wacana-wacana politik Amerika Serikat. Berbareng dengan berbagai theadline topik yang terus menerus direproduksi mengenai kengerian serangan 11 september, telunjuk politik AS juga secara stigmatic mengarahkan kepada beberapa negara yang dianggap sebagai pendukung kelompok teroiris, terutama negara-negara yang selama ini berseberangan dengan politik AS di Timur Tengah.
Inilah tonggak awal dari startegi kampanye dan politik propaganda AS upaya mengkonstruksikan negara-negara seperti Irak, Suriah, Afghanistan, Libya dan beberapa kroni politik lain sebagai musuh AS. Tidak hanya selesai di situ, praktis AS rezim selanjutnya melakukan serangan-serangan kongkrit di beberapa negara tersebut. Serangan agresi AS berhasil meruntuhkan kekuasaan Sadam Husein di Irak dan juga kekuasaan Muammar Qadhafi di Linya. Dalih adanya pembangunan reaktor senjata pemusnah massal di Irak, menjadi salah satu dalih yang dipakai untuk meruntuhkan kekuatan Sadam Husein. Dalam perkembangan belakangan, fakta justru membuktikan hal yang bertolak belakang, bahwa tuduhan AS tidak memiliki verifikasi bukti sama sekali. Setelah kehancuran total kawasan Irak, toh tuduhan yang tidak berdasar itu tetap tidak diklarifikas untuk dipertanggungjawabkan.
Bombardir politik AS dan sekutunya ke Irak hanyalah Sebagian potret bagaimana propaganda media sungguh sangat efektif untuk dimainkan dalam politik dalih pembenaran dari langkah kepentingan politik Barat terutama kebijakan politik intervensi di kawasan Timur Tengah selama ini. Propaganda selalu disemai berbarengan dengan langkah intervensi fisik lainnya. Pelabelan ‘terorisme’ menjadi salah satu diksi wacana yang terus direproduksi terhadap setiap negara yang bersikap bersebrangan dengan AS. Kasus krisis dan konflik politik di Suriah juga menjadi salah satu contoh episode lainnya . Drama kekejaman, kediktatoran, politik teror dan anti demokrasi juga sering dimobilisasikan untuk membangun pelabelan buruk terhadap setiap pimpinan negara yang melawan dominasi kepentingan AS.
Manipulasi framing isi pemberitaan dan juga praktik rekayasa isi media bahkan juga selalu dimainkan. Dunia tidak pernah lupa dan pasti masih sangat ingat dengan fenomena rekayasa dan manipulasi pemberitaan Barat mengenai krisis perang di Suria. Mnipulasi kekejaman Suriah dikreasikan sedemikian rupa dalam cerita bocah Omran, bocah demngan wajah kusut dan luka parah sedang duduk di kursi mobil ambulance yang digambarkan sebagai korban kebiadaban rezim Suriah. Belakangan telah terbiongkar bahwa profil gambar bocah Omran hanyalah setingan rekayasa untuk membangun empati dan simpati dunia. Dengan pelabelan rezim Assad sebagai kejam dan monster terror, maka seolah AS dan para sekutunya memiliki legitimasi moral untuk melakukan serangan ke Suriah atas nama dalih kemanusiaan.
Praktik propaganda untuk legitimasi atas politik kepentingan Barat telah banyak dilakukan di berbagai negara bahkan tidak luput juga Indonesia. Keterlibatan negara-negara Barat untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno juga menggunakan copy paste pola yang sama. Bagaimana praktik propaganda media barat menyebutkan Soekarno sebagai pemimpin diktator dan sekaligus mengancam prinsip demokrasi seperti yang diandaikan oleh kepentingan Barat. Kejatuhan Soekarno tidak lepas juga dari praktik intervensi Barat. Jatihnua Soekarno dan juga peristiwa tragedy kekeraan politik sesudahnya adalah cermin dari wajah kontestasi politik global dengan melalui strategi ideologis maupun koersinya. Kedekatan Soekarno terhadap blok sosialis tentu saja mengkhawatirkan posisi politik imperialisme Barat di Indonesia.u
Analisis potret propaganda medias dan politik intervensi Barat ini juga bisa digunakan untuk mendalami persoalan konflik Rusia-Ukrania. Tidak jauh berbeda, kepentingan negara Barat dan terutama AS sangat kental dalam memposisikan framaing dan politik wacana yang dikembangkan. Respon dan mobilisasi pemberitaan media mainstream Barat telah memberi diksi dan koonotasi buruk pada kebijakan Rusia sebagai bentuk agresi dan invansi yang merusak kedaulatan Ukraina. Label aagresor bagi Rusia diucapkan langsung oleh presiden Joe Biden dan terus direproduksi menjadi diksi politik yang memberi citra buruk bagi langkah Rusia. Bahkan label buruk ini kemudian disandingkan dengan framing dan diksi pemberitaa atas negara Ukrania sebagai negara berdaulat dan beradab.
Konstruksi label aggressor tentu berkehendak untuk menyalahkan kebijakan Rusia di Ukraina. Pemberian citra positif bagi Ukraina juga bersamaan ingin memberi konotasi positif bahwa perlawanan Ukraina sangat dibenarkan dan mampu mendapat mobilisasi dukungan negara-negara Barat. Konstruksi konten pemberitaan ini tentu saja di sisi lain tidak pernah menunjukkan verifikasi data pemberitaan yang berimabng. Di ujung dimensi yang lain juga menyembunyikan fakta besar yang lain, semisal tentang bagaimana AS \bersama kekuatan blok NATO punya kepentingan ekonomi politik melalui kondisi politik Ukraina.
Dalam konteks dan wajah media mainstream Indonesia, atmosfir pemberitaan juga cenderung memiliki tendensi untuk melatakkan Rusia sebagai aktor yang lebih disalahkan. Secara politik, oligarki kepemilikan media Indonesia memang masih terkosentrasi pada para actor yang memiliki pandangan yang pro Barat. Pasca perubahan politik 1965 hingga sekarang, platform ekonomi politik masih erat berdekatan dengan banyak kepentingan politik Barat, tidak terkecuali posisi politik media. Sejak Orde Baru hingga sekarang, memang lanskap dominan kebijakan media memang lebih dekat dengan perspektif Barat daripada kepentingan Rusia.
Jejak perspektif kontestasi Perang Dingin, dalam beberapa artikulasi terlihat direproduksi dan terkesan dihidupkan kembali. Memori sejarah tersebut membantu untuk memperkuat pandangan publik atas posisi politik Rusia. Tidak sedikit mendudukan konflik Ukraina sebagai persoalan kontestasi antara negara-negara demokratis dengan negara-negara yang tidak dermokratis seperti yang dituduhkan kepada Rusia. Atau tidak sedikit yang juga memberi pandangan bahwa persoalan Rusia dan Ukraina sebagai konflik antara negara berdaulat (Ukraina) dan negara intervensionis (Rusia). Sudut pandang semacam ini sekali lagi telah menyembunyikan banyak fakta historis dan politis mengenai lanskap problem ketegangan Ukraina dan Rusia.
Framing dan strategi wacana pemberitaan memiliki kemampuan sekaligus, yakni untuk menonjolkan dan sejakugus menyembunyikan persoalan fakta sesungguhnya. Apa yang telah diproduksi oleh wacana media barat hanya menjadi bukti nyata bahwa media mainstreram barat tidak pernah netral dan objektif falam memberitakan persoalan konflik global yang menyangkut kepentingan Barat, termasuk dalam hal ini konflik Rusia dan Ukraina. Bahkan dalam ranah praktik media, sebuah perang sudah dimulai, sebelum perang sesungguhnya terjadi. Dalam dunia yang sudah termediasi oleh hadirnya banyak platform mrdia, maka tidak akan pernah ada sebu8ah kepentingan ekonomi politik yang tidak menggunakan media sebagai instrument senjata dan amunisi paling efektif untuk membantu kemenagan ekonomi politik.
]]>Dosen FEB UNAS Jakarta,
Executive Secretary The Reform Initiatives (TRI)
Dunia sedang bergejolak karena konflik Rusia-Ukraina yang semakin memanas. Banyak negara-negara yang mengecam hingga memberikan sanksi-sanki ekonomi ke Rusia. Harga minya brent melambung tinggi, sempat menembus angka USD104,6 diiringi oleh gas yang mencapai USD4,7 MMBtu, pada hari pertama serangan militer Rusia ke Ukraina. Di waktu yang sama, bursa saham global melorot tajam akibat sentimen negatif masyarakat pada dunia. Harga komoditas-komoditas global turut serta melambung tinggi, seperti CPO, kedelai, gandum, hingga emas.
Mengutip dari data IMF pada periode 2021, PDB Rusia menempati peringkat ke 11 dengan kontribusi sebear 1,7% pada PDB dunia. Sedangkan Ukraina berada diperingkat ke 40 dengan kontribusi tidak lebih dari 0,4% terhadap PDB dunia. Jika dibandingkan Indonesia, PDB Rusia berada di atas Indonesia, sedangkan Ukraina jauh dibawah Indonesia. Indonesia menempati peringkat ke-15 dengan kontribusi sebesar 1,2% pada PDB Dunia. Rusia dan Indonesia berada pada kelompok negara G-20 yang merupakan TOP 20 PDB di dunia.
Rusia merupakan salah satu negara yang memproduksi dan eksportir minyak terbesar di dunia. Pada TW III 2021, ekspor minyak Rusia mencapai USD32,3 miliar. Sepuluh (10) komoditas ekspor terbesar Rusia periode 2021 meliputi: minyak mentah, minyak bumi, gas alam, mesin dan peralatan, logam besi, bahan bakar diesel (solar), bahan bakar cair, batu bara, gandum dan alumunium. Sedangkan Ukraina selama ini ekspor produk-produk antara lain: sereal, besi dan baja, lemak dan minyak hewani, nabati, produk pembelahan lainnya, bijih arang besi dan abu, elektronik dan peralatan elektronik, mesin, reaktor nuklir dan boilers, minyak biji-bijian, buah-buahan oleagic, biji-bijian dan buah-buhaan; residu, limbah industri makanan, pakan ternak; kayu dan barang dari kayu, arang kayu; barang dari besi atau baja.
Pasar ekspor utama energi baik berupa minyak, gas alam maupun bahan bakar Rusia adalah negara-negara Eropa, China, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sedangkan pasar ekspor bahan makanan dari Ukraina adalah negara-negara Eropa, China, Turki, India, Amerika, termasuk Indonesia. Mengacu pada data tersebut, sumber energi dan pangan dunia bergantung pada kedua negara tersebut, terutama Rusia. Oleh karena itu, harga minyak dan komoditas-komoditas global mengalami kenaikan tajam ketika kedua negara tersebut mengalami konflik. Jika konflik ini berkepanjangan, maka harga-harga energi dan bahan makan global akan terus mengalami peningkatan yang menyebabkan inflasi.
IMF memproyeksikan inflasi global akan mengalami penurunan seiring dengan pemulihan ekonomi pasca krisis pandemi COVID-19. Target inflasi global pada 2022 sebesar 3,8% terus menurun hingga mencapai 3,2% pada 2025. Akan tetapi, terjadinya konflik Rusia-Ukraina, inflasi global akan meningkat lebih dari 4,3% (inflasi 2021) dengan asumsi harga minyak dunia akan terus mengalami kenaikan, komoditas pangan dunia seperti gandum, kedelai dan sereal lainnya mengalami peningkatan, serta peningkatan harga pada bahan baku industri lainnya.
Ketergantungan Indonesia pada bahan baku makanan impor juga kan berpengaruh pada inflasi domestik. Harga kedelai dan gandum global yang terus meningkat akan berdampak pada harga bahan baku makanan dalam negeri. Indonesia mengimpor kedelai sebagai bahan baku tahu tempe dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata mencapai 2,2 juta ton per tahun. Sedangkan impor gandum sebagai bahan baku roti, tepung terigu, mie dan lain-lain, dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata mencapai 8,3 juta ton per tahun. Besarnya angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia pasti akan mengalami kenaikan harga dan inlfasi bahan pangan dalam waktu dekat.
Permasalahan kenaikan harga minyak goreng yang disebabkan oleh supply shock yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini akan disusul dengan kenaikan harga bahan pangan lainnya. Pemerintah harus waspada menyikapi fenomena kenaikan harga komoditas dan inflasi global yang membayangi aktivitas perekonomian nasional. Proses pemulihan ekonomi pasca pandemi masih menjadi tantangan bagi Indonesia, ditambah dengan inflasi global yang semakin mendekat membutuhkan kebijakan yang dapat menjaga stabilisasi harga. Operasi pasar untuk menjaga stok yang dibutuhkan masyarakat dan harga yang ada di pasar masih tetap dibutuhkan. Selain itu, pengaturan distribusi bahan-bahan pokok penting seperti beras, minyak goreng, gula, telur, daging perlu diperhatikan agar tidak terjadi penimbunan oleh oknum-oknum tertentu yang menyebabkan kelangkaan di lapangan. Pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi importir-importir bahan baku pangan yang terkena imbas kenaikan harga beras atau menurunkan biaya impor agar dapat menekan biaya produksi. Langkah-langkah kongkrit tersebut tidak akan menghindarkan Indonesia dari inflasi global, namun akan membantu menjaga stabilitas harga pangan domestik, sehingga daya beli masyarakat akan terjaga, terutama masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah.
]]>Dosen FEB UNAS Jakarta,
Executive Secretary The Reform Initiatives (TRI)
Dunia sedang bergejolak karena konflik Rusia-Ukraina yang semakin memanas. Banyak negara-negara yang mengecam hingga memberikan sanksi-sanki ekonomi ke Rusia. Harga minya brent melambung tinggi, sempat menembus angka USD104,6 diiringi oleh gas yang mencapai USD4,7 MMBtu, pada hari pertama serangan militer Rusia ke Ukraina. Di waktu yang sama, bursa saham global melorot tajam akibat sentimen negatif masyarakat pada dunia. Harga komoditas-komoditas global turut serta melambung tinggi, seperti CPO, kedelai, gandum, hingga emas.
Mengutip dari data IMF pada periode 2021, PDB Rusia menempati peringkat ke 11 dengan kontribusi sebear 1,7% pada PDB dunia. Sedangkan Ukraina berada diperingkat ke 40 dengan kontribusi tidak lebih dari 0,4% terhadap PDB dunia. Jika dibandingkan Indonesia, PDB Rusia berada di atas Indonesia, sedangkan Ukraina jauh dibawah Indonesia. Indonesia menempati peringkat ke-15 dengan kontribusi sebesar 1,2% pada PDB Dunia. Rusia dan Indonesia berada pada kelompok negara G-20 yang merupakan TOP 20 PDB di dunia.
Rusia merupakan salah satu negara yang memproduksi dan eksportir minyak terbesar di dunia. Pada TW III 2021, ekspor minyak Rusia mencapai USD32,3 miliar. Sepuluh (10) komoditas ekspor terbesar Rusia periode 2021 meliputi: minyak mentah, minyak bumi, gas alam, mesin dan peralatan, logam besi, bahan bakar diesel (solar), bahan bakar cair, batu bara, gandum dan alumunium. Sedangkan Ukraina selama ini ekspor produk-produk antara lain: sereal, besi dan baja, lemak dan minyak hewani, nabati, produk pembelahan lainnya, bijih arang besi dan abu, elektronik dan peralatan elektronik, mesin, reaktor nuklir dan boilers, minyak biji-bijian, buah-buahan oleagic, biji-bijian dan buah-buhaan; residu, limbah industri makanan, pakan ternak; kayu dan barang dari kayu, arang kayu; barang dari besi atau baja.
Pasar ekspor utama energi baik berupa minyak, gas alam maupun bahan bakar Rusia adalah negara-negara Eropa, China, Jepang, Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sedangkan pasar ekspor bahan makanan dari Ukraina adalah negara-negara Eropa, China, Turki, India, Amerika, termasuk Indonesia. Mengacu pada data tersebut, sumber energi dan pangan dunia bergantung pada kedua negara tersebut, terutama Rusia. Oleh karena itu, harga minyak dan komoditas-komoditas global mengalami kenaikan tajam ketika kedua negara tersebut mengalami konflik. Jika konflik ini berkepanjangan, maka harga-harga energi dan bahan makan global akan terus mengalami peningkatan yang menyebabkan inflasi.
IMF memproyeksikan inflasi global akan mengalami penurunan seiring dengan pemulihan ekonomi pasca krisis pandemi COVID-19. Target inflasi global pada 2022 sebesar 3,8% terus menurun hingga mencapai 3,2% pada 2025. Akan tetapi, terjadinya konflik Rusia-Ukraina, inflasi global akan meningkat lebih dari 4,3% (inflasi 2021) dengan asumsi harga minyak dunia akan terus mengalami kenaikan, komoditas pangan dunia seperti gandum, kedelai dan sereal lainnya mengalami peningkatan, serta peningkatan harga pada bahan baku industri lainnya.
Ketergantungan Indonesia pada bahan baku makanan impor juga kan berpengaruh pada inflasi domestik. Harga kedelai dan gandum global yang terus meningkat akan berdampak pada harga bahan baku makanan dalam negeri. Indonesia mengimpor kedelai sebagai bahan baku tahu tempe dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata mencapai 2,2 juta ton per tahun. Sedangkan impor gandum sebagai bahan baku roti, tepung terigu, mie dan lain-lain, dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata mencapai 8,3 juta ton per tahun. Besarnya angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia pasti akan mengalami kenaikan harga dan inlfasi bahan pangan dalam waktu dekat.
Permasalahan kenaikan harga minyak goreng yang disebabkan oleh supply shock yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini akan disusul dengan kenaikan harga bahan pangan lainnya. Pemerintah harus waspada menyikapi fenomena kenaikan harga komoditas dan inflasi global yang membayangi aktivitas perekonomian nasional. Proses pemulihan ekonomi pasca pandemi masih menjadi tantangan bagi Indonesia, ditambah dengan inflasi global yang semakin mendekat membutuhkan kebijakan yang dapat menjaga stabilisasi harga. Operasi pasar untuk menjaga stok yang dibutuhkan masyarakat dan harga yang ada di pasar masih tetap dibutuhkan. Selain itu, pengaturan distribusi bahan-bahan pokok penting seperti beras, minyak goreng, gula, telur, daging perlu diperhatikan agar tidak terjadi penimbunan oleh oknum-oknum tertentu yang menyebabkan kelangkaan di lapangan. Pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi importir-importir bahan baku pangan yang terkena imbas kenaikan harga beras atau menurunkan biaya impor agar dapat menekan biaya produksi. Langkah-langkah kongkrit tersebut tidak akan menghindarkan Indonesia dari inflasi global, namun akan membantu menjaga stabilitas harga pangan domestik, sehingga daya beli masyarakat akan terjaga, terutama masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah.
]]>Moh. Thobie Prathama
Permintaan leisure economy merupakan pendorong penting industri pariwisata. Ekosistem leisure economy yang berkembang dengan dibarengi inovasi digitalisasi seperti munculnya platform Airbnb, Traveloka, Tiket.com, OYO, dan sebagainya membuat preferensi konsumen untuk mengonsumsi pengalaman makin tinggi. Walaupun industri ini menjadi salah satu yang paling tertekan akibat berbagai kebijakan melawan COVID-19, masyarakat khususnya kelas menengah dan atas akan tetap bersedia menyediakan anggaran untuk cuci mata.
Kebutuhan life style dan experience juga akan tumbuh seiring bertumbuhnya masyarakat kelas menengah. Sebagai pemasar pariwisata, momentum pandemi bisa menjadi peluang untuk membangkitkan kembali aspek emosional dari suatu pengalaman wisata. Seperti yang coba paparkan di sini, salah satu peluang ceruk yang bisa dikembangkan adalah melayani wisatawan nostalgia.
Bicara kerinduan masa lalu ialah topik yang begitu menggemakan emosi. Seperti penggalan lirik lagu “Photograph” dari Ed Sheraan “We keep this love in a photograph. We made these memories for ourselves”. Manusia hanya bisa mengenang peristiwa dan ikatan masa lalu. Harvard Business Review menjelaskan bahwa nostalgia ialah sumber psikologis penting yang membantu seseorang menemukan dan mempertahankan makna hidup. Dengan memahami cara kerja nostalgia, mengapa nostalgia mendorong tren bisnis pariwisata pada saat tertentu?
Melihat serba cepatnya segala sesuatu yang terjadi di dunia saat ini sering kali menimbulkan perasaan kewalahan pada diri seseorang. Wisatawan ingin kembali merasakan petualangan masa muda, kesejukan, atau pun kesederhanaan. Seperti pendapat Prof. Susan Krauss di Psychology Today, banyak orang mendambakan waktu yang tampak lebih sederhana, meskipun zaman itu bukanlah zaman kepolosan. Banyak orang pula menemukan kejemuan ketika semua harus dikaitkan dengan teknologi atau robot entah apapun itu. Futuristik memang luar biasa, tetapi klasik sungguh memesona.
Bernostalgia tidak berarti harus mundur dalam perkembangan diri. Justru dengan sesekali menyelam ke masa lalu akan mengingatkan tentang bagaimana seseorang pernah mengatasi tekanan hidup sebelumnya, yang dapat membantu diri ini memperkuat rasa percaya dalam menghadapi masa kini. Manusia menyimpan kenangan berharga dalam hatinya. Meskipun orang dan masanya sudah pergi, tetapi kenangannya tidak pernah pupus dari hati. Mengingat tren fesyen, makanan, musik, film, gaya arsitektur yang pernah dilalui dengan orang-orang dan memori terkasih memang menenangkan jiwa atau malah menimbulkan perasaan campur aduk yang menggemaskan. jbkj
Konsep pariwasata nostalgia mencoba mengingatkan dan mengulang perasaan masa lalu yang diidealkan di masa sekarang. Riset Mariana dan Luis (2018) menemukan bahwa nostalgia muncul sebagai motivasi penting dalam keputusan perjalanan. Studi lain oleh Jannine di Journal of Consumer Research mencatat bahwa orang yang mengalami nostalgia meningkatkan perasaan keterhubungan yang lebih besar dengan orang lain. Studi ini juga menunjukkan bahwa perasaan nostalgia menurunkan keinginan orang akan uang. Dengan kata lain, mereka lebih bersedia menghabiskan uangnya untuk membayar objek yang diinginkan. Selain itu, ada temuan menarik dari studi ini bahwa selama masa resesi, konsumen memang lebih enggan mengeluarkan uang mereka. Namun, nostalgia dapat digunakan untuk merangsang ekonomi, karena perasaan ingin bernostalgia ini melemahkan kemampuan mereka memprioritaskan uang.
Dikutip dari majalah WDW, saat seseorang melihat ke masa depan, semakin banyak hal akan datang dari taman hiburan yang akan membuatnya merasa nostalgia. Begitulah konsep Walt Disney World didesain untuk menciptakan kenangan luar biasa ketika mengunjunginya. Di seluruh taman ini, film masa kecil favorit dari Disney menjadi hidup. Bisa dalam bentuk atraksi seperti Peter Pan’s Flight atau pondok-pondok seperti Pinocchio’s Village Haus atau Cinderella Castle. Oleh mengapa, Walt Disney World ini cocok dikatakan contoh klasik dari pariwisata nostalgia. Pengunjung yang datang ke taman ini sebagai anak-anak di tahun 1970-an dapat kembali bersama anak-anak mereka sendiri, menemukan atraksi-atraksi yang hampir sama seperti yang mereka ingat dahulu. Bukan hanya itu, untuk menurunkan cinta Disney ke generasi berikutnya, WDW telah menciptakan Star Wars: Galaxy's Edge di Disney's Hollywood Studios yang akan menciptakan nostalgia luar biasa bagi para penggemar Star Wars.
Pariwisata nostalgia di sini dapat pula diartikan secara luas yang mencakup industri kreatif yang melekat, termasuk mengapa gaya vintage dan retro kembali populer? Bagi generasi yang pernah merasakan langsung, tren ini mengingatkan petualangan masa muda mereka dalam waktu yang seakan lebih lambat. Meskipun milenial dan Gen Z tidak benar-benar ada di sana untuk menyaksikan gelombang pertama tren ini, mereka terlihat ingin menebusnya untuk inspirasi gaya hidup yang “adorable” dengan menyelam ke masa lalu. Semakin jelas, industri kreatif seperti film dan musik kembali menyentuh gelombang nostalgia era lawas. Ambil saja contoh, lagu Blinding Lights dari The Weeknd dan album Future Nostalgia dari Dua Lipa yang meledak di pasar masa kini tetapi hidup dengan nuansa disko-pop era 80-an.
Di setiap sudut kota, konsep kafe pun semakin banyak ditemui nuansa-nuansa klasik atau jadul seperti bergaya rumah dan perabotan vintage, konsep retro yang ngejreng, atau konsep-konsep klasik Asia Timur (Jepang, Korea, Hong Kong). Bernostalgia membuat kita berpikir betapa romantisnya masa-masa itu dan membuat kita ingin merasakan bagian dari masa itu kembali.
Moh. Thobie Prathama ialah peneliti di The Reform Initiatives, Jakarta.
]]>Moh. Thobie Prathama
Permintaan leisure economy merupakan pendorong penting industri pariwisata. Ekosistem leisure economy yang berkembang dengan dibarengi inovasi digitalisasi seperti munculnya platform Airbnb, Traveloka, Tiket.com, OYO, dan sebagainya membuat preferensi konsumen untuk mengonsumsi pengalaman makin tinggi. Walaupun industri ini menjadi salah satu yang paling tertekan akibat berbagai kebijakan melawan COVID-19, masyarakat khususnya kelas menengah dan atas akan tetap bersedia menyediakan anggaran untuk cuci mata.
Kebutuhan life style dan experience juga akan tumbuh seiring bertumbuhnya masyarakat kelas menengah. Sebagai pemasar pariwisata, momentum pandemi bisa menjadi peluang untuk membangkitkan kembali aspek emosional dari suatu pengalaman wisata. Seperti yang coba paparkan di sini, salah satu peluang ceruk yang bisa dikembangkan adalah melayani wisatawan nostalgia.
Bicara kerinduan masa lalu ialah topik yang begitu menggemakan emosi. Seperti penggalan lirik lagu “Photograph” dari Ed Sheraan “We keep this love in a photograph. We made these memories for ourselves”. Manusia hanya bisa mengenang peristiwa dan ikatan masa lalu. Harvard Business Review menjelaskan bahwa nostalgia ialah sumber psikologis penting yang membantu seseorang menemukan dan mempertahankan makna hidup. Dengan memahami cara kerja nostalgia, mengapa nostalgia mendorong tren bisnis pariwisata pada saat tertentu?
Melihat serba cepatnya segala sesuatu yang terjadi di dunia saat ini sering kali menimbulkan perasaan kewalahan pada diri seseorang. Wisatawan ingin kembali merasakan petualangan masa muda, kesejukan, atau pun kesederhanaan. Seperti pendapat Prof. Susan Krauss di Psychology Today, banyak orang mendambakan waktu yang tampak lebih sederhana, meskipun zaman itu bukanlah zaman kepolosan. Banyak orang pula menemukan kejemuan ketika semua harus dikaitkan dengan teknologi atau robot entah apapun itu. Futuristik memang luar biasa, tetapi klasik sungguh memesona.
Bernostalgia tidak berarti harus mundur dalam perkembangan diri. Justru dengan sesekali menyelam ke masa lalu akan mengingatkan tentang bagaimana seseorang pernah mengatasi tekanan hidup sebelumnya, yang dapat membantu diri ini memperkuat rasa percaya dalam menghadapi masa kini. Manusia menyimpan kenangan berharga dalam hatinya. Meskipun orang dan masanya sudah pergi, tetapi kenangannya tidak pernah pupus dari hati. Mengingat tren fesyen, makanan, musik, film, gaya arsitektur yang pernah dilalui dengan orang-orang dan memori terkasih memang menenangkan jiwa atau malah menimbulkan perasaan campur aduk yang menggemaskan. jbkj
Konsep pariwasata nostalgia mencoba mengingatkan dan mengulang perasaan masa lalu yang diidealkan di masa sekarang. Riset Mariana dan Luis (2018) menemukan bahwa nostalgia muncul sebagai motivasi penting dalam keputusan perjalanan. Studi lain oleh Jannine di Journal of Consumer Research mencatat bahwa orang yang mengalami nostalgia meningkatkan perasaan keterhubungan yang lebih besar dengan orang lain. Studi ini juga menunjukkan bahwa perasaan nostalgia menurunkan keinginan orang akan uang. Dengan kata lain, mereka lebih bersedia menghabiskan uangnya untuk membayar objek yang diinginkan. Selain itu, ada temuan menarik dari studi ini bahwa selama masa resesi, konsumen memang lebih enggan mengeluarkan uang mereka. Namun, nostalgia dapat digunakan untuk merangsang ekonomi, karena perasaan ingin bernostalgia ini melemahkan kemampuan mereka memprioritaskan uang.
Dikutip dari majalah WDW, saat seseorang melihat ke masa depan, semakin banyak hal akan datang dari taman hiburan yang akan membuatnya merasa nostalgia. Begitulah konsep Walt Disney World didesain untuk menciptakan kenangan luar biasa ketika mengunjunginya. Di seluruh taman ini, film masa kecil favorit dari Disney menjadi hidup. Bisa dalam bentuk atraksi seperti Peter Pan’s Flight atau pondok-pondok seperti Pinocchio’s Village Haus atau Cinderella Castle. Oleh mengapa, Walt Disney World ini cocok dikatakan contoh klasik dari pariwisata nostalgia. Pengunjung yang datang ke taman ini sebagai anak-anak di tahun 1970-an dapat kembali bersama anak-anak mereka sendiri, menemukan atraksi-atraksi yang hampir sama seperti yang mereka ingat dahulu. Bukan hanya itu, untuk menurunkan cinta Disney ke generasi berikutnya, WDW telah menciptakan Star Wars: Galaxy's Edge di Disney's Hollywood Studios yang akan menciptakan nostalgia luar biasa bagi para penggemar Star Wars.
Pariwisata nostalgia di sini dapat pula diartikan secara luas yang mencakup industri kreatif yang melekat, termasuk mengapa gaya vintage dan retro kembali populer? Bagi generasi yang pernah merasakan langsung, tren ini mengingatkan petualangan masa muda mereka dalam waktu yang seakan lebih lambat. Meskipun milenial dan Gen Z tidak benar-benar ada di sana untuk menyaksikan gelombang pertama tren ini, mereka terlihat ingin menebusnya untuk inspirasi gaya hidup yang “adorable” dengan menyelam ke masa lalu. Semakin jelas, industri kreatif seperti film dan musik kembali menyentuh gelombang nostalgia era lawas. Ambil saja contoh, lagu Blinding Lights dari The Weeknd dan album Future Nostalgia dari Dua Lipa yang meledak di pasar masa kini tetapi hidup dengan nuansa disko-pop era 80-an.
Di setiap sudut kota, konsep kafe pun semakin banyak ditemui nuansa-nuansa klasik atau jadul seperti bergaya rumah dan perabotan vintage, konsep retro yang ngejreng, atau konsep-konsep klasik Asia Timur (Jepang, Korea, Hong Kong). Bernostalgia membuat kita berpikir betapa romantisnya masa-masa itu dan membuat kita ingin merasakan bagian dari masa itu kembali.
Moh. Thobie Prathama ialah peneliti di The Reform Initiatives, Jakarta.
]]>Oleh Ahmad Taufiq*
Revolusi industri yang dipantik dari penemuan mesin uap yang terus dikembangkan sejak abad XVII, membawa perubahan yang signifikan bagi umat manusia. Perubahan itu terus berlanjut hingga sekarang, di mana perkembangan sains dan teknologi membawa umat manusia pada fase revolusi industri mutakhir yang dikenal dengan revolusi industri tahap keempat (IR 4.0).
Namun, revolusi industri yang dicanangkan demi mengejar kesejahteraan manusia itu membawa dua persoalan yang menjadi pekerjaan rumah. Yakni adanya kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dan kerusakan lingkungan, yang dikenal dengan ekosida.
Mengenai kesenjangan ekonomi, sebagai gambaran, data mutakhir mengungkapkan bahwa jumlah kekayaan 8 orang terkaya di dunia lebih besar dri jumlah kekayaan separoh penduduk bumi. Selain itu, negara-negara belahan dunia utara seperti Amerika utara, atau Eropa, tetap merupakan negara maju, sementara negara-negara selatan masih tergolong tertinggal. Padahal, dari sisi kekayaan sumber daya alam (SDA), negara-negara yang tergolong maju tersebut tergolong miskin. Sementara negara-negara selatan seperti Indonesia tergolong kaya SDA.
Kenyataan tersebut seperti membuktikan suatu teori mengenai “kutukan SDA”, yang mana semakin kaya suatu negara, akan terjebak dalam ketertinggalan. Secara kasar, kemajuan negara-negara utara adalah berkat dari kemajuan industrialisasi, sementara negara-negara yang kaya SDA terjebak pada infant industry belaka, yang sekedar menjual bahan mentah, sementara untuk memenuhi kebutuhan konsumsi barang jadi tinggal impor dari luar.
Adapun mengenai kerusakan lingkungan, sejauh ini masifnya industrialisasi masih berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Negara-negara yang tergolong maju dalam industrialisasi, contohnya Amerika Serikat dan China, adalah penyumbang emisi karbon terbanyak, yang berimplikasi pada pemanasan global (global warming). Adapun negara seperti Indonesia masih berkubang dalam jebakan industri ekstraktif, yang secara langsung merusak lingkungan.
Selain itu, industrialisasi memunculkan persoalan sampah atau limbah, yang semakin lama semakin besar. China adalah penyumbang sampah terbanyak yang terbuat di lautan. Sementara Indonesia menduduki ranking ke-3, suatu “prestasi” yang memprihatinkan.
Kerusakan lingkungan tersebut dampaknya mulai terasa saat ini, di mana berbagai macam fenomena bencana alam begitu mengancam. Seperti banjir, kemarau yang lebih panjang yang memicu kebakaran hutan, juga berbagai penyakit akibat persoalan sampah yang semakin menggunung tak teratasi.
Dalama berbagai penelitian, berbagai bencana alam tersebut muncul dari kenaikan suhu global. Dalam laporan Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) yang berjudul “Special Report on Global Warming of 1.5C” tercatat bahwa bumi akan mengalami kenaikan suhu global melewati ambang batas minimum yang ditetapkan pada 2030, yakni 1,5 derajat celcius.
Angka 1,5 nampak kecil, tetapi dalam skala bumi efeknya sangat besar dan merusak. Apalagi negara Indonesia tergolong negara tropis, sehingga ancaman berbagai macam bencana semakin besar, seperti hujan dengan intensitas tinggi, banjir, siklon tropis, kepunahan terumbu karang, kemarau yang semakin panjang yang menyebabkan kebakaran hutan dalam skala besar. Mengenai kebakaran, fenomena kebakaran hutan di Siberia yang merupakan bentangan daerah yang dikenal sangat dingin, untuk pertama kalinya mengalami kebakaran hutan yang parah, yang asapnya sampai kutub utara. Suatu fenomena yang menunjukkan bahwa bumi tempat tinggal umat manusia sedang tidak baik-baik saja.
Pemanasan global tersebut adalah akibat langsung emisi karbon dari industrialisasi yang masih dominan saat ini. Emisi karbon terbanyak masih negara-negara industrial, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, sementara Indonesia adalah negara yang bukan negara maju yang masuk 10 besar penghasil emisi karbon.
Kedua pekerjaan rumah tersebut memantik berbagai macam kalangan secara global untuk mengatasinya. Persoalan kesenjangan secara global memunculkan gagasan-gagasan yang sempat mewarnai jagad dunia pada abad XX, antara liberalisme dengan sosialisme, yang dinamikanya saat ini memunculkan model negara kesejahteraan (seperti negara-negara di Jazirah Skandinavia), jalan ketiga (Inggris), sosialisme pasar (Tiongkok), dan sebagainya.
Sementara itu, persoalan kerusakan lingkungan membuat berbagai negara mengkampanyekan pengurangan emisi karbon, pengembangan teknologi hijau, pengembangan industri ramah lingkungan, dan sebagainya, yang semua tercakup dalam konsep green economy. Bahwa pengejaran pertumbuhan ekonomi harus juga memperhatikan aspek keberlangsungan lingkungan hidup yang lebih sehat.
Dalam konteks Indonesia, masalah kesenjangan berkait-kelindan dengan persoalan lingkungan hidup. Kesenjangan ekonomi penduduk Indonesia masih tergolong tinggi dengan rasio gini 3,7 dan kerusakan lingkungan masih terus berlangsung seperti deforestasi besar-besaran akibat industri ekstraktif dan perkebunan monokultur, sementara negara masih terus mengejar pertumbuhan ekonomi, sebagaimana nampak dalam pengeahan UU Cipta Kerja Omnibus Law, sebuah regulasi “ramah bisnis” tapi kurang ramah terhadap pekerja dan kelestarian lingkungan.
Oleh sebab itu, dibutuhkan agar pengejaran pertumbuhan ekonomi sebagai suatu jalan yang realistis untuk ditempuh agar tetap sejalan dengan pengurangan tingkat kesenjangan dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam berbagai kajian, yang pertama dikenal dengan pertumbuhan ekonomi inklusif sementara yang kedua dikenal dengan ekonomi hijau. Jika keduanya dipakai secara terpadu, akan tercipta suatu pendekatan holistik.
Namun, mengenai keadilan ekonomi secara garis besar sudah termaktub dalam berbagai perundang-undangan, bahkan UUD 1945 seperti pasal 33 ayat 3. Adapun mengenai eksekusinya sudah terjalankan dalam berbagai kebijakan negara, seperti regulasi pasar, subsidi atas berbagai kebutuhan strategis, keberadaan berbagai jaminan social dan sebagainya. Sementara itu, mengenai persoalan kerusakan lingkungan masih tergolong baru bagi Indonesia. Sehingga memerlukan suatu tekanan secara lebih khusus agar negara kita turut andil bertanggung jawab dalam pelestarian lingkungan sebagai bagian dari keberlangsungan umat manusia itu sendiri dari generasai ke generasi.
Tanggung jawab pelestarian lingkungan tentu saja harus dilaksanakan bersama-sama, baik dari kalangan pemerintah maupun warga. Untuk itu, dukungan anggaran khususnya dari pemerintah menjadi penting dalam mendorong berbagai macam aspek yang bertujuan melestarikan lingkungan, misalnya dalam hal konservasi hutan, pengolahan sampah atau limbah, penghijauan kota, pengembangan teknologi hijau, dan sebagainya.
Secara global, saat ini mulai marak ecological fiscal transfer (EFT), insentif fiscal berbasis ekologi, yang memasukkan ekologi sebagai sapek penting dalam insentif fiscal, demi mendorong pelestarian lingkungan. Pada mulanya, EFT dilaksanakan Brazil khususnya dalam menjaga kelestarian hutan yang dimilikinya, yang kemudian disusul berbagai negara seperti Portugal, Tiongkok, India, Prancis, menyusul kemudian Indonesia, Uganda, dan seterusnya.
Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah hutan terluas ketiga di dunia. Namun, karena pemerintah pusat mendorong adanya pertumbuhan ekonomi, hal tersebut membuat daerah-daerah yang memiliki hutan yang luas menghadapi dilema. Satu sisi pertumbuhan ekonomi harus dikejar, sementara sisi lain hutan yang ada harus dijaga karena merupakan sumber daya yang memberikan banyak manfaat seperti penyerapan karbon dan pengaturan iklim. Padahal, penjagaan hutan memerlukaan biaya yang tidak sedikit.
Oleh sebab itu, sejauh ini yang berlangsung adalah agenda konservasi hutan masih tergolong lambat, sehingga hutan yang ada terus mengalami penyusutan. Sementara itu, penyusutan tutupan hutan diperkirakan akan memicu terjadinya berbagai persoalan seperti adanya banjir bandang ketika hujan deras, kelangkaan air pada musim kemarau, sebagaimana yang terjadi dalam berbagai daerah di pulau-pulau yang memiliki tutupan hutan sangat rendah seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Jika hal tersebut terus berlangsung, diperkirakan luas wilayah kritis air akan meningkat dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi 9.6 persen pada tahun 2045. Selain itu, secara global tutupan hutan tersebut sangat bermanfaat bagi penyerapan emisi karbon sehingga menghambat peningkatan efek rumah kaca.
Di samping menuntut biaya sekaligus sumber daya yang tidak sedikit, daerah-daerah yang fokus pada penjagaan hutan juga kehilangan kesempatan dalam memanfaatkan sumber daya hutan, misalnya untuk aktivitas pertambangan atau perkebunan monokultur sawit yang berperan penting dalam peningkatan pendapatan daerah. Padahal beban biaya penjagaan hutan tersebut ditanggung oleh daerah itu sendiri, sementara manfaat yang dihasilkannya jauh melebihi daerah tersebut, bahwa bisa sampai ke seluruh dunia, sebab keberadaan hutan secara langsung menyerap emisi karbon yang secara besar disumbangkan oleh aktivitas industri dalam skala global.
Hal tersebut menyebabkan ketimpangan tingkat kesejahteraan antar daerah di Indonesia, antara yang lebih banyak aktivitas industri dengan yang lebih banyak tutupan hutan. Misalnya di Jawa Barat, daerah-daerah bagian utara yang lebih banyak industri ditinjau dari pendapatan daerah lebih sejahtera daripada daerah-daerah bagian selatan yang lebih banyak tutupan hutannya. Apalagi hal tersebut berkaitan erat dengan adanya peraturan di tingkat provinsi harus menyediakan adanya alokasi konservasi hutan 70% sehingga jika suatu daerah dibangun industri, daerah yang lain dipaksa megalah menjadi penjaga hutan. Kalau pun daerah yang banyak tutupan hutannya tersebut hendak membangun industri, dalam prosesnya harus mengalami peraturan yang lebih rigid daripada daerah yang minim tutupan hutannya. Hal tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan antar daerah yang perlu diatasi dalam skala nasional, atau minimal skala proivinsi.
Oleh sebab itu, transfer anggaran berbasis ekologi bisa menjadi alternatif jalan keluar bagi pemerintah daerah yang tutupan hutannya luas untuk mendapatkan anggaran yang sepadan dengan kerja-kerja penjagaan hutan dan hilangnya kesempatan untuk melakukan pengambilan manfaat dengan jalan industrialisasi ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan monokultur demi pendapatan daerah. Tingkat luasan tutupan hutan dan kinerja daerah dalam menjaga kelestariannya, bisa dijadikan sebagai salah satu indikator dalam pemberian insentif tersebut.
Pemberian tersebut perlu dilakukan demi mengatasi adanya penyusutan tutupan hutan yang terus menerus berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Data IPBES 2018 menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar, yang mana merupakan terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sementara data yang dirilis Bappenas menunjukkan bahwa Indonesia diperkirakan akan terus mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup yang semakin dalam di masa depan. Indikasinya antara lain adalah tutupan hutan primer yang semakin hari semakin menyusut dan diproyeksikan pada tahun 2045 hanya akan tersisa sekitar 18,4% dari luas lahan total nasional (189,6 juta ha). Padahal, urgensi hutan sangat dibutuhkan dalam hal penurunan emisi karbon sebesar 29% yang menjadi target nasional pada tahun 2030.
Sementara itu, di berbagai negara negara, skema insentif bagi konservasi hutan khususnya, yang kemudian diperluas menjadi skema insentif berbasis ekologi yang meliputi persoalan pemeliharaan kualitas air sungai, pengolahan limbah, pengembangan teknologi hijau, dan sebagainya, telah dikembangkan lewat transfer fiskal dari pemerintah pusat pada pemerintah di bawahnya, seperti provinsi atau negara bagian. Hal tersebut merupakan penghargaan atas kinerja dalam pengelolaan atau pelestarian lingkungan hidup yang di dalamnya mencakup konservasi hutan.
Contoh yang paling spektakuler adalah yang di negara bagian Parana, Brasil yang sudah menerapkan skema insentif EFT. Dalam waktu hanya 8 tahun, Parana sukses meningkatkan total kawasan hutannya dari 637 ribu ha pada 1991 menjadi 1,69 juta ha pada 2000, yakni mengalami peningkatan sekitar 165%. Keberhasilan itu menginspirasi negara-negara bagian lainnya di Brazil untuk menerapkan EFT tersebut, lalu berbagai negara lain seperti Portugal (2007), India, Tiongkok, Jerman, Swiss, menyusul. Dalam banyak kajian para peneliti menyimpulkan mengenai efek yang dihasilkan. Di Brasil dan Portugal, pemerintah daerah telah menetapkan lebih banyak kawasan lindung. Di Cina, EFT telah berkontribusi pada penurunan polusi, tetapi bukan peningkatan lahan yang dilestarikan. EFT India belum menghasilkan peningkatan tutupan hutan, tetapi telah menjadi bagian resmi dari pembiayaan komitmen iklim nasional. Adapun mengenai pertumbuhan EFT secara global menunjukkan betapa cepat pertumbuhannya, di mana pada tahun 2007 EFT hanya sebesar US$300 juta per tahun; pada tahun 2020 ini telah tumbuh menjadi US$23 miliar per tahun.
Adapun dalam skema EFT tersebut, yang menarik adalah bagaimana variasi antar negara mengenai indicator penerapannya. Beberapa EFT dibayar berdasarkan indikator “hijau” seperti kawasan hutan; sementara sebagian lainnya dibayar berdasarkan indikator “coklat” seperti pengolahan air atau pengurangan tingkat pencemaran. Selain itu, beberapa EFT dibayarkan berdasarkan dana abadi (misalnya, tutupan hutan di negara bagian Minas Gerais, Brasil), sementara yang lain dibayarkan berdasarkan perubahan status dana abadi (misalnya, pencegahan deforestasi di Pará) atau tindakan untuk melestarikan dana abadi tersebut (misalnya, pemadam kebakaran di Tocantins).
Skema EFT biasanya berlangsung secara vertical dalam arti pemerintah pusat member i insentif pada pemerintah di bawahnya, baik itu provinsi atau negara bagian, hingga pada tingkatan daerah bahkan pedesaan. Yang unik adalah Tiongkok, yang mencoba skema EFT yang selain vertical juga horizontal, antar provinsi atau antar daerah. Contohnya sebagaimana dipelopori oleh provinsi Anhui dan Zhejiang. Zhejiang yang merupakan provinsi hilir sungai membayar Anhui yang merupakah hulu sungai atas peningkatan kualitas air Sungai Xin'an yang berada di atas patokan. Namun, jika kualitas air memburuk di bawah patokan yang ditentukan, maka sebaliknya Anhui harus membayar Zhejiang. Adapun pemerintah pusat memposisikan diri sebagai pemantau yang menegakkan aturan tersebut, selain itu juga memberikan kontribusi 300 juta yuan (sekitar US$43 juta) per tahun dari EFT horizontal yang jumlahnya 700 juta yuan (sekitar US$100 juta). Hal tersebut diperlukan keterlibatan pemerintah pusat demi meringankan biaya transaksi yang mahal yang harus ditanggung.
Adapun dalam konteks negara Indonesia, skema EFT begitu gencar digaungkan oleh berbagai kalangan tahun-tahun terakhir. Beberapa sudah mulai diterapkan, dalam skala provinsi misalnya sudah diterapkan di Kalimantan Utara, sementara dalam skala daerah tingkat dua, sudah diterapkan pada berberapa daerah. Wacana EFT tersebut mulanya digalakkan oleh Research Center for Climate Change University of Indonesia/RCCCUI yang menginisiasi penambahan variabel luas kawasan hutan dalam formula pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah. Kemudian The Biodiversity Finance Initiative (BIOFIN) yang digagas oleh UNDP mendorong ada skema Dana Insentif Daerah (DID) untuk keanekaragaman hayati. Hingga kemudian The Asia Foundation (TAF) dengan koalisi masyarakat sipil mempromosikan EFT dalam bentuk tiga skema, yakni Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE),Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), dan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE).
TAPE mengedepankan skema insentif yang diberikan pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota yang menjaga kelestarian lingkungannya, dengan sumber dana berasal dari bantuan keuangan pemerintah provinsi. Seperti yang berlangsung di Provinsi Kalimantan Utara, kebijakan skema transfer bantuan keuangan berbasis ekologi tersebut telah dikeluarkan sebagai bagian dari Peraturan Gubernur (Pergub) No. 6/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur No. 49/2018 tentang Tata Cara Pemberian, Penyaluran dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara.
Adapun TAKE diadopsi oleh Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, dengan memberikan skema insentif kepada desa yang menjaga kelestarian lingkungan melalui formula penghitungan Anggaran Dana Desa (ADD). Kebijakan Kabupaten Jayapura itu termaktub dalam Peraturan Bupati No.11/2019 tentang Alokasi Dana Kampung Tahun 2019. Dalam pengembangannya, TAKE yang mereformulasi Alokasi Dana Desa/Kampung (ADD/ADK) untuk memberikan insentif kepada desa-desa yang menjaga kelestarian lingkungannya. Selain di Jayapura (Papua), skema TAKE ini telah diadopsi juga oleh Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) melalui, masing-masing Peraturan Bupati No. 11/2019 tentang Alokasi Dana Kampung Tahun 2019 dan Peraturan Bupati No. 59/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bupati No. 15/2015 tentang Alokasi Dana Desa. TAKE ini juga sedang dikembangkan di daerah-daerah lain, termasuk Kabupaten Bener Meriah (Aceh), Keerom dan Supiori (Papua), Kubu Raya (Kalimantan Barat), dan Manokwari Selatan (Papua Barat).
Adapun untuk TANE, sejauh ini masih menjadi wacana yang diusulkan untuk diadopsi pemerintah pusat. Kalau TANE nantinya diadopsi, maka Indonesia akan menjadi bagian dari negara yang punya visi ekologis dengan tanggungjawab pelestarian atas cakupan hutan yang luas dan menjadi negara raksasa dalam bidang kehutanan. Penerapan TANE akan banyak mengatasi persoalan kesenjangan antar daerah akibat ketidakmerataan industri yang ada.
Skema-skema seperti TAKE, TAPE dan TANE tersebut nampaknya sangat diminati oleh daerah-daerah dengan kawasan dengan tutupan hutan yang luas. Sehingga yang menjadi pelopor adalah Kalimantan Utara, Jayapura, dan sebagainya. Tidak di daerah padat seperti Jawa atau Bali. Oleh sebab itu, perlu adanya kajian khusus mengenai skema yang cocok dengan melihat konteks Jawa dan Bali.
Di desa-desa Jawa, misalnya, mayoritas adalah petani gurem dengan lahan sepetak. Inentif fiscal berbasis ekologis itu butuh melirik apa yang menjadi problematika petani-petani gurem tersebut, yang ada kaitan langsung dengan persoalan ekologis. Misalnya, pertanian para petani gurem tersebut sejauh ini mayoritas adalah petani tradisional dalam arti menggunakan bibit hasil membeli dari pabrik, lalu penggunaan pupuk kimia sintetik berikut pestisidanya, dan seterusnya, yang menunjukkan ketergantungan petani atas sesuatu diluar dirinya alias petani tidak berdaulat. Untuk itu, perlu adanya penggalakan pertanian organic atau bahkan pertanian alami di tingkatan desa-desa, selain demi mengakhiri ketergantungannya, juga turut andil dalam kelestarian lingkungan.
Adapun dalam konteks masyarakat urban yang mayoritas berprofesi sebagai pekerja dan pegiat UMKM, perlu adanya insentif anggaran untuk pengelolaan sampah atau limbah di kampung-kampung padat penduduk untuk menciptakan lingkungan perkampungan urban yang terkenal kumuh menjadi perkampungan yang layak huni.
Bahwa pengejaran terhadap pertumbuhan ekonomi dalam konteks Indonesia dimana perekonomian negara masih bersandar pada industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan monokultur akan berakibat pada penyusutan kawasan hutan dan secara umum pada perusakan lingkungan, sehingga perlu adanya pendekatan baru yang lebih mendukung adanya kelestarian lingkungan.
Kebijakan “ramah bisnis” yang diterapkan pemerintah pusat melihat kondisi berbagai daerah yang sangat bervariasi, menciptakan kesenjangan kesejahteraan antar daerah. Daerah dengan tutupan hutan lebih luas akan lebih banyak beban dalam penjagaan hutan dengan anggaran ditanggung sendiri, sementara manfaat dari hutan bisa dinikmati banyak daerah lainnya bahkan sampai skala global.
Mengingat Indonesia punya kawasan hutan yang tergolong terluas ketiga di dunia, menjadi tantangan tersendiri untuk menjaganya. Selain itu, merupakan peluang tersendiri sebab kekayaan biodiversitas yang ada di dalam hutan belum banyak tereksplorasi, misalnya tanaman-obat-obatan, yang terkadang terburu punah sebelum diteliti. Ini peluang dalam pengembangan industri farmasi yang lebih ramah lingkungan daripada industri ekstraktif.
Skema EFT yang sudah berlangsung dan berhasil di berbagai negara seperti Brazil, India atau Tiongkok, dan kemudian dicobakan di Indonesia dalam tiga bentuk TAPE dan TAKE, dan diusulkan dalam TANE, harus mengikuti konteks yang ada. Selain itu, belajar dari kasus Tiongkok tentang penerapan EFT Horizontal perlu dicobakan. Misalnya dalam konteks Bengwan Solo yang membentang dari Jawa Tengah sebagai hulu ke Jawa Timur sebagai hilir. Jika sampai perbatasan Jateng/Jatim kualitas sungai bagus, Jatim patut memberi insentif, sebaliknya jika kualitas airnya buruk, Jateng patut member insentif pada Jatim.
Untuk pulau Jawa yang padat penduduk dengan mayoritas adalah petani gurem di desa-desa, yang paling dibutuhkan adalah penumbuhan kesadaran untuk menjadi petani dan berdaulat dengan mengatasi ketergantungannya atas pupuk kimia sintetik dan pestisida, dengan mengembangkan jenis pertanian organic atau bahkan pertanian alami, yang selain menekan biaya produksi besar-besaran, juga turut andil besar dalam mengurangi emisi karbon. Pemerintah daerah wajib memberikan insentif fiskal bagi para petani yang beralih menjadi petani organik dan petani alami.
Sementara itu, untuk kawasan industrial, perlu adanya pengurangan pemakaian teknologi yang memakai sumber daya fosil. Selain itu, perlu adanya insentif bagi pengolah sampah yang semakin hari semakin menggunung seperti tak tertangani secara baik.
* Penulis aktif di Gerakan Alternatif 21
]]>Oleh Ahmad Taufiq*
Revolusi industri yang dipantik dari penemuan mesin uap yang terus dikembangkan sejak abad XVII, membawa perubahan yang signifikan bagi umat manusia. Perubahan itu terus berlanjut hingga sekarang, di mana perkembangan sains dan teknologi membawa umat manusia pada fase revolusi industri mutakhir yang dikenal dengan revolusi industri tahap keempat (IR 4.0).
Namun, revolusi industri yang dicanangkan demi mengejar kesejahteraan manusia itu membawa dua persoalan yang menjadi pekerjaan rumah. Yakni adanya kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dan kerusakan lingkungan, yang dikenal dengan ekosida.
Mengenai kesenjangan ekonomi, sebagai gambaran, data mutakhir mengungkapkan bahwa jumlah kekayaan 8 orang terkaya di dunia lebih besar dri jumlah kekayaan separoh penduduk bumi. Selain itu, negara-negara belahan dunia utara seperti Amerika utara, atau Eropa, tetap merupakan negara maju, sementara negara-negara selatan masih tergolong tertinggal. Padahal, dari sisi kekayaan sumber daya alam (SDA), negara-negara yang tergolong maju tersebut tergolong miskin. Sementara negara-negara selatan seperti Indonesia tergolong kaya SDA.
Kenyataan tersebut seperti membuktikan suatu teori mengenai “kutukan SDA”, yang mana semakin kaya suatu negara, akan terjebak dalam ketertinggalan. Secara kasar, kemajuan negara-negara utara adalah berkat dari kemajuan industrialisasi, sementara negara-negara yang kaya SDA terjebak pada infant industry belaka, yang sekedar menjual bahan mentah, sementara untuk memenuhi kebutuhan konsumsi barang jadi tinggal impor dari luar.
Adapun mengenai kerusakan lingkungan, sejauh ini masifnya industrialisasi masih berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Negara-negara yang tergolong maju dalam industrialisasi, contohnya Amerika Serikat dan China, adalah penyumbang emisi karbon terbanyak, yang berimplikasi pada pemanasan global (global warming). Adapun negara seperti Indonesia masih berkubang dalam jebakan industri ekstraktif, yang secara langsung merusak lingkungan.
Selain itu, industrialisasi memunculkan persoalan sampah atau limbah, yang semakin lama semakin besar. China adalah penyumbang sampah terbanyak yang terbuat di lautan. Sementara Indonesia menduduki ranking ke-3, suatu “prestasi” yang memprihatinkan.
Kerusakan lingkungan tersebut dampaknya mulai terasa saat ini, di mana berbagai macam fenomena bencana alam begitu mengancam. Seperti banjir, kemarau yang lebih panjang yang memicu kebakaran hutan, juga berbagai penyakit akibat persoalan sampah yang semakin menggunung tak teratasi.
Dalama berbagai penelitian, berbagai bencana alam tersebut muncul dari kenaikan suhu global. Dalam laporan Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC) yang berjudul “Special Report on Global Warming of 1.5C” tercatat bahwa bumi akan mengalami kenaikan suhu global melewati ambang batas minimum yang ditetapkan pada 2030, yakni 1,5 derajat celcius.
Angka 1,5 nampak kecil, tetapi dalam skala bumi efeknya sangat besar dan merusak. Apalagi negara Indonesia tergolong negara tropis, sehingga ancaman berbagai macam bencana semakin besar, seperti hujan dengan intensitas tinggi, banjir, siklon tropis, kepunahan terumbu karang, kemarau yang semakin panjang yang menyebabkan kebakaran hutan dalam skala besar. Mengenai kebakaran, fenomena kebakaran hutan di Siberia yang merupakan bentangan daerah yang dikenal sangat dingin, untuk pertama kalinya mengalami kebakaran hutan yang parah, yang asapnya sampai kutub utara. Suatu fenomena yang menunjukkan bahwa bumi tempat tinggal umat manusia sedang tidak baik-baik saja.
Pemanasan global tersebut adalah akibat langsung emisi karbon dari industrialisasi yang masih dominan saat ini. Emisi karbon terbanyak masih negara-negara industrial, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, sementara Indonesia adalah negara yang bukan negara maju yang masuk 10 besar penghasil emisi karbon.
Kedua pekerjaan rumah tersebut memantik berbagai macam kalangan secara global untuk mengatasinya. Persoalan kesenjangan secara global memunculkan gagasan-gagasan yang sempat mewarnai jagad dunia pada abad XX, antara liberalisme dengan sosialisme, yang dinamikanya saat ini memunculkan model negara kesejahteraan (seperti negara-negara di Jazirah Skandinavia), jalan ketiga (Inggris), sosialisme pasar (Tiongkok), dan sebagainya.
Sementara itu, persoalan kerusakan lingkungan membuat berbagai negara mengkampanyekan pengurangan emisi karbon, pengembangan teknologi hijau, pengembangan industri ramah lingkungan, dan sebagainya, yang semua tercakup dalam konsep green economy. Bahwa pengejaran pertumbuhan ekonomi harus juga memperhatikan aspek keberlangsungan lingkungan hidup yang lebih sehat.
Dalam konteks Indonesia, masalah kesenjangan berkait-kelindan dengan persoalan lingkungan hidup. Kesenjangan ekonomi penduduk Indonesia masih tergolong tinggi dengan rasio gini 3,7 dan kerusakan lingkungan masih terus berlangsung seperti deforestasi besar-besaran akibat industri ekstraktif dan perkebunan monokultur, sementara negara masih terus mengejar pertumbuhan ekonomi, sebagaimana nampak dalam pengeahan UU Cipta Kerja Omnibus Law, sebuah regulasi “ramah bisnis” tapi kurang ramah terhadap pekerja dan kelestarian lingkungan.
Oleh sebab itu, dibutuhkan agar pengejaran pertumbuhan ekonomi sebagai suatu jalan yang realistis untuk ditempuh agar tetap sejalan dengan pengurangan tingkat kesenjangan dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam berbagai kajian, yang pertama dikenal dengan pertumbuhan ekonomi inklusif sementara yang kedua dikenal dengan ekonomi hijau. Jika keduanya dipakai secara terpadu, akan tercipta suatu pendekatan holistik.
Namun, mengenai keadilan ekonomi secara garis besar sudah termaktub dalam berbagai perundang-undangan, bahkan UUD 1945 seperti pasal 33 ayat 3. Adapun mengenai eksekusinya sudah terjalankan dalam berbagai kebijakan negara, seperti regulasi pasar, subsidi atas berbagai kebutuhan strategis, keberadaan berbagai jaminan social dan sebagainya. Sementara itu, mengenai persoalan kerusakan lingkungan masih tergolong baru bagi Indonesia. Sehingga memerlukan suatu tekanan secara lebih khusus agar negara kita turut andil bertanggung jawab dalam pelestarian lingkungan sebagai bagian dari keberlangsungan umat manusia itu sendiri dari generasai ke generasi.
Tanggung jawab pelestarian lingkungan tentu saja harus dilaksanakan bersama-sama, baik dari kalangan pemerintah maupun warga. Untuk itu, dukungan anggaran khususnya dari pemerintah menjadi penting dalam mendorong berbagai macam aspek yang bertujuan melestarikan lingkungan, misalnya dalam hal konservasi hutan, pengolahan sampah atau limbah, penghijauan kota, pengembangan teknologi hijau, dan sebagainya.
Secara global, saat ini mulai marak ecological fiscal transfer (EFT), insentif fiscal berbasis ekologi, yang memasukkan ekologi sebagai sapek penting dalam insentif fiscal, demi mendorong pelestarian lingkungan. Pada mulanya, EFT dilaksanakan Brazil khususnya dalam menjaga kelestarian hutan yang dimilikinya, yang kemudian disusul berbagai negara seperti Portugal, Tiongkok, India, Prancis, menyusul kemudian Indonesia, Uganda, dan seterusnya.
Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah hutan terluas ketiga di dunia. Namun, karena pemerintah pusat mendorong adanya pertumbuhan ekonomi, hal tersebut membuat daerah-daerah yang memiliki hutan yang luas menghadapi dilema. Satu sisi pertumbuhan ekonomi harus dikejar, sementara sisi lain hutan yang ada harus dijaga karena merupakan sumber daya yang memberikan banyak manfaat seperti penyerapan karbon dan pengaturan iklim. Padahal, penjagaan hutan memerlukaan biaya yang tidak sedikit.
Oleh sebab itu, sejauh ini yang berlangsung adalah agenda konservasi hutan masih tergolong lambat, sehingga hutan yang ada terus mengalami penyusutan. Sementara itu, penyusutan tutupan hutan diperkirakan akan memicu terjadinya berbagai persoalan seperti adanya banjir bandang ketika hujan deras, kelangkaan air pada musim kemarau, sebagaimana yang terjadi dalam berbagai daerah di pulau-pulau yang memiliki tutupan hutan sangat rendah seperti Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Jika hal tersebut terus berlangsung, diperkirakan luas wilayah kritis air akan meningkat dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi 9.6 persen pada tahun 2045. Selain itu, secara global tutupan hutan tersebut sangat bermanfaat bagi penyerapan emisi karbon sehingga menghambat peningkatan efek rumah kaca.
Di samping menuntut biaya sekaligus sumber daya yang tidak sedikit, daerah-daerah yang fokus pada penjagaan hutan juga kehilangan kesempatan dalam memanfaatkan sumber daya hutan, misalnya untuk aktivitas pertambangan atau perkebunan monokultur sawit yang berperan penting dalam peningkatan pendapatan daerah. Padahal beban biaya penjagaan hutan tersebut ditanggung oleh daerah itu sendiri, sementara manfaat yang dihasilkannya jauh melebihi daerah tersebut, bahwa bisa sampai ke seluruh dunia, sebab keberadaan hutan secara langsung menyerap emisi karbon yang secara besar disumbangkan oleh aktivitas industri dalam skala global.
Hal tersebut menyebabkan ketimpangan tingkat kesejahteraan antar daerah di Indonesia, antara yang lebih banyak aktivitas industri dengan yang lebih banyak tutupan hutan. Misalnya di Jawa Barat, daerah-daerah bagian utara yang lebih banyak industri ditinjau dari pendapatan daerah lebih sejahtera daripada daerah-daerah bagian selatan yang lebih banyak tutupan hutannya. Apalagi hal tersebut berkaitan erat dengan adanya peraturan di tingkat provinsi harus menyediakan adanya alokasi konservasi hutan 70% sehingga jika suatu daerah dibangun industri, daerah yang lain dipaksa megalah menjadi penjaga hutan. Kalau pun daerah yang banyak tutupan hutannya tersebut hendak membangun industri, dalam prosesnya harus mengalami peraturan yang lebih rigid daripada daerah yang minim tutupan hutannya. Hal tersebut menimbulkan rasa ketidakadilan antar daerah yang perlu diatasi dalam skala nasional, atau minimal skala proivinsi.
Oleh sebab itu, transfer anggaran berbasis ekologi bisa menjadi alternatif jalan keluar bagi pemerintah daerah yang tutupan hutannya luas untuk mendapatkan anggaran yang sepadan dengan kerja-kerja penjagaan hutan dan hilangnya kesempatan untuk melakukan pengambilan manfaat dengan jalan industrialisasi ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan monokultur demi pendapatan daerah. Tingkat luasan tutupan hutan dan kinerja daerah dalam menjaga kelestariannya, bisa dijadikan sebagai salah satu indikator dalam pemberian insentif tersebut.
Pemberian tersebut perlu dilakukan demi mengatasi adanya penyusutan tutupan hutan yang terus menerus berlangsung di berbagai daerah di Indonesia. Data IPBES 2018 menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu hektar, yang mana merupakan terbesar di kawasan Asia Tenggara. Sementara data yang dirilis Bappenas menunjukkan bahwa Indonesia diperkirakan akan terus mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup yang semakin dalam di masa depan. Indikasinya antara lain adalah tutupan hutan primer yang semakin hari semakin menyusut dan diproyeksikan pada tahun 2045 hanya akan tersisa sekitar 18,4% dari luas lahan total nasional (189,6 juta ha). Padahal, urgensi hutan sangat dibutuhkan dalam hal penurunan emisi karbon sebesar 29% yang menjadi target nasional pada tahun 2030.
Sementara itu, di berbagai negara negara, skema insentif bagi konservasi hutan khususnya, yang kemudian diperluas menjadi skema insentif berbasis ekologi yang meliputi persoalan pemeliharaan kualitas air sungai, pengolahan limbah, pengembangan teknologi hijau, dan sebagainya, telah dikembangkan lewat transfer fiskal dari pemerintah pusat pada pemerintah di bawahnya, seperti provinsi atau negara bagian. Hal tersebut merupakan penghargaan atas kinerja dalam pengelolaan atau pelestarian lingkungan hidup yang di dalamnya mencakup konservasi hutan.
Contoh yang paling spektakuler adalah yang di negara bagian Parana, Brasil yang sudah menerapkan skema insentif EFT. Dalam waktu hanya 8 tahun, Parana sukses meningkatkan total kawasan hutannya dari 637 ribu ha pada 1991 menjadi 1,69 juta ha pada 2000, yakni mengalami peningkatan sekitar 165%. Keberhasilan itu menginspirasi negara-negara bagian lainnya di Brazil untuk menerapkan EFT tersebut, lalu berbagai negara lain seperti Portugal (2007), India, Tiongkok, Jerman, Swiss, menyusul. Dalam banyak kajian para peneliti menyimpulkan mengenai efek yang dihasilkan. Di Brasil dan Portugal, pemerintah daerah telah menetapkan lebih banyak kawasan lindung. Di Cina, EFT telah berkontribusi pada penurunan polusi, tetapi bukan peningkatan lahan yang dilestarikan. EFT India belum menghasilkan peningkatan tutupan hutan, tetapi telah menjadi bagian resmi dari pembiayaan komitmen iklim nasional. Adapun mengenai pertumbuhan EFT secara global menunjukkan betapa cepat pertumbuhannya, di mana pada tahun 2007 EFT hanya sebesar US$300 juta per tahun; pada tahun 2020 ini telah tumbuh menjadi US$23 miliar per tahun.
Adapun dalam skema EFT tersebut, yang menarik adalah bagaimana variasi antar negara mengenai indicator penerapannya. Beberapa EFT dibayar berdasarkan indikator “hijau” seperti kawasan hutan; sementara sebagian lainnya dibayar berdasarkan indikator “coklat” seperti pengolahan air atau pengurangan tingkat pencemaran. Selain itu, beberapa EFT dibayarkan berdasarkan dana abadi (misalnya, tutupan hutan di negara bagian Minas Gerais, Brasil), sementara yang lain dibayarkan berdasarkan perubahan status dana abadi (misalnya, pencegahan deforestasi di Pará) atau tindakan untuk melestarikan dana abadi tersebut (misalnya, pemadam kebakaran di Tocantins).
Skema EFT biasanya berlangsung secara vertical dalam arti pemerintah pusat member i insentif pada pemerintah di bawahnya, baik itu provinsi atau negara bagian, hingga pada tingkatan daerah bahkan pedesaan. Yang unik adalah Tiongkok, yang mencoba skema EFT yang selain vertical juga horizontal, antar provinsi atau antar daerah. Contohnya sebagaimana dipelopori oleh provinsi Anhui dan Zhejiang. Zhejiang yang merupakan provinsi hilir sungai membayar Anhui yang merupakah hulu sungai atas peningkatan kualitas air Sungai Xin'an yang berada di atas patokan. Namun, jika kualitas air memburuk di bawah patokan yang ditentukan, maka sebaliknya Anhui harus membayar Zhejiang. Adapun pemerintah pusat memposisikan diri sebagai pemantau yang menegakkan aturan tersebut, selain itu juga memberikan kontribusi 300 juta yuan (sekitar US$43 juta) per tahun dari EFT horizontal yang jumlahnya 700 juta yuan (sekitar US$100 juta). Hal tersebut diperlukan keterlibatan pemerintah pusat demi meringankan biaya transaksi yang mahal yang harus ditanggung.
Adapun dalam konteks negara Indonesia, skema EFT begitu gencar digaungkan oleh berbagai kalangan tahun-tahun terakhir. Beberapa sudah mulai diterapkan, dalam skala provinsi misalnya sudah diterapkan di Kalimantan Utara, sementara dalam skala daerah tingkat dua, sudah diterapkan pada berberapa daerah. Wacana EFT tersebut mulanya digalakkan oleh Research Center for Climate Change University of Indonesia/RCCCUI yang menginisiasi penambahan variabel luas kawasan hutan dalam formula pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah. Kemudian The Biodiversity Finance Initiative (BIOFIN) yang digagas oleh UNDP mendorong ada skema Dana Insentif Daerah (DID) untuk keanekaragaman hayati. Hingga kemudian The Asia Foundation (TAF) dengan koalisi masyarakat sipil mempromosikan EFT dalam bentuk tiga skema, yakni Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE),Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), dan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE).
TAPE mengedepankan skema insentif yang diberikan pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota yang menjaga kelestarian lingkungannya, dengan sumber dana berasal dari bantuan keuangan pemerintah provinsi. Seperti yang berlangsung di Provinsi Kalimantan Utara, kebijakan skema transfer bantuan keuangan berbasis ekologi tersebut telah dikeluarkan sebagai bagian dari Peraturan Gubernur (Pergub) No. 6/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur No. 49/2018 tentang Tata Cara Pemberian, Penyaluran dan Pertanggungjawaban Belanja Bantuan Keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara.
Adapun TAKE diadopsi oleh Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, dengan memberikan skema insentif kepada desa yang menjaga kelestarian lingkungan melalui formula penghitungan Anggaran Dana Desa (ADD). Kebijakan Kabupaten Jayapura itu termaktub dalam Peraturan Bupati No.11/2019 tentang Alokasi Dana Kampung Tahun 2019. Dalam pengembangannya, TAKE yang mereformulasi Alokasi Dana Desa/Kampung (ADD/ADK) untuk memberikan insentif kepada desa-desa yang menjaga kelestarian lingkungannya. Selain di Jayapura (Papua), skema TAKE ini telah diadopsi juga oleh Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) melalui, masing-masing Peraturan Bupati No. 11/2019 tentang Alokasi Dana Kampung Tahun 2019 dan Peraturan Bupati No. 59/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bupati No. 15/2015 tentang Alokasi Dana Desa. TAKE ini juga sedang dikembangkan di daerah-daerah lain, termasuk Kabupaten Bener Meriah (Aceh), Keerom dan Supiori (Papua), Kubu Raya (Kalimantan Barat), dan Manokwari Selatan (Papua Barat).
Adapun untuk TANE, sejauh ini masih menjadi wacana yang diusulkan untuk diadopsi pemerintah pusat. Kalau TANE nantinya diadopsi, maka Indonesia akan menjadi bagian dari negara yang punya visi ekologis dengan tanggungjawab pelestarian atas cakupan hutan yang luas dan menjadi negara raksasa dalam bidang kehutanan. Penerapan TANE akan banyak mengatasi persoalan kesenjangan antar daerah akibat ketidakmerataan industri yang ada.
Skema-skema seperti TAKE, TAPE dan TANE tersebut nampaknya sangat diminati oleh daerah-daerah dengan kawasan dengan tutupan hutan yang luas. Sehingga yang menjadi pelopor adalah Kalimantan Utara, Jayapura, dan sebagainya. Tidak di daerah padat seperti Jawa atau Bali. Oleh sebab itu, perlu adanya kajian khusus mengenai skema yang cocok dengan melihat konteks Jawa dan Bali.
Di desa-desa Jawa, misalnya, mayoritas adalah petani gurem dengan lahan sepetak. Inentif fiscal berbasis ekologis itu butuh melirik apa yang menjadi problematika petani-petani gurem tersebut, yang ada kaitan langsung dengan persoalan ekologis. Misalnya, pertanian para petani gurem tersebut sejauh ini mayoritas adalah petani tradisional dalam arti menggunakan bibit hasil membeli dari pabrik, lalu penggunaan pupuk kimia sintetik berikut pestisidanya, dan seterusnya, yang menunjukkan ketergantungan petani atas sesuatu diluar dirinya alias petani tidak berdaulat. Untuk itu, perlu adanya penggalakan pertanian organic atau bahkan pertanian alami di tingkatan desa-desa, selain demi mengakhiri ketergantungannya, juga turut andil dalam kelestarian lingkungan.
Adapun dalam konteks masyarakat urban yang mayoritas berprofesi sebagai pekerja dan pegiat UMKM, perlu adanya insentif anggaran untuk pengelolaan sampah atau limbah di kampung-kampung padat penduduk untuk menciptakan lingkungan perkampungan urban yang terkenal kumuh menjadi perkampungan yang layak huni.
Bahwa pengejaran terhadap pertumbuhan ekonomi dalam konteks Indonesia dimana perekonomian negara masih bersandar pada industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan monokultur akan berakibat pada penyusutan kawasan hutan dan secara umum pada perusakan lingkungan, sehingga perlu adanya pendekatan baru yang lebih mendukung adanya kelestarian lingkungan.
Kebijakan “ramah bisnis” yang diterapkan pemerintah pusat melihat kondisi berbagai daerah yang sangat bervariasi, menciptakan kesenjangan kesejahteraan antar daerah. Daerah dengan tutupan hutan lebih luas akan lebih banyak beban dalam penjagaan hutan dengan anggaran ditanggung sendiri, sementara manfaat dari hutan bisa dinikmati banyak daerah lainnya bahkan sampai skala global.
Mengingat Indonesia punya kawasan hutan yang tergolong terluas ketiga di dunia, menjadi tantangan tersendiri untuk menjaganya. Selain itu, merupakan peluang tersendiri sebab kekayaan biodiversitas yang ada di dalam hutan belum banyak tereksplorasi, misalnya tanaman-obat-obatan, yang terkadang terburu punah sebelum diteliti. Ini peluang dalam pengembangan industri farmasi yang lebih ramah lingkungan daripada industri ekstraktif.
Skema EFT yang sudah berlangsung dan berhasil di berbagai negara seperti Brazil, India atau Tiongkok, dan kemudian dicobakan di Indonesia dalam tiga bentuk TAPE dan TAKE, dan diusulkan dalam TANE, harus mengikuti konteks yang ada. Selain itu, belajar dari kasus Tiongkok tentang penerapan EFT Horizontal perlu dicobakan. Misalnya dalam konteks Bengwan Solo yang membentang dari Jawa Tengah sebagai hulu ke Jawa Timur sebagai hilir. Jika sampai perbatasan Jateng/Jatim kualitas sungai bagus, Jatim patut memberi insentif, sebaliknya jika kualitas airnya buruk, Jateng patut member insentif pada Jatim.
Untuk pulau Jawa yang padat penduduk dengan mayoritas adalah petani gurem di desa-desa, yang paling dibutuhkan adalah penumbuhan kesadaran untuk menjadi petani dan berdaulat dengan mengatasi ketergantungannya atas pupuk kimia sintetik dan pestisida, dengan mengembangkan jenis pertanian organic atau bahkan pertanian alami, yang selain menekan biaya produksi besar-besaran, juga turut andil besar dalam mengurangi emisi karbon. Pemerintah daerah wajib memberikan insentif fiskal bagi para petani yang beralih menjadi petani organik dan petani alami.
Sementara itu, untuk kawasan industrial, perlu adanya pengurangan pemakaian teknologi yang memakai sumber daya fosil. Selain itu, perlu adanya insentif bagi pengolah sampah yang semakin hari semakin menggunung seperti tak tertangani secara baik.
* Penulis aktif di Gerakan Alternatif 21
]]>