Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

AMUK Bahari Nilai Pengesahan RZWP3K Banten Sebagai Legalisasi Perampasan Ruang

AMUK Bahari Nilai Pengesahan RZWP3K Banten Sebagai Legalisasi Perampasan Ruang



Berita Baru, Jakarta – Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan (AMUK) Bahari Banten mengecam pengesahan Peraturan Daerah Provinsi Banten tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) pada tangal 7 Januari 2021 lalu.

Aliansi yang terdiri dari JATAM Nasional, WALHI Jakarta, KIARA, dan Pena Masyarakat Banten tesebut menilai pembahasan sampai pengesahan Perda RZWP3K Banten tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Ini adalah potret memalukan dari proses legislasi di Provinsi Banten,” kata Ki Bagus HK, anggota AMUK Bahari Banten dari JATAM Nasional dalam keterangan tertulisnya.

Tak jarang, imbuh Bagus, pembahasan perda ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Meskipun pada akhirnya bocor dan diketahui oleh publik, sehingga memicu amarah dan aksi massa.

AMUK Bahari Banten menjelaskan kalau pihaknya telah berkali-kali melayangkan kritik terhadap proses pembahasan rancancangan Perda tersebut, karena dinilai tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

“Kritik tersebut telah dilakukan dalam berbagai kesempatan sewaktu pihak Pemerintah Provinsi Banten melakukan pembahasan RZWP-3-K Banten,” jelas Mad Haer Effendi, anggota AMUK Bahari Banten dari Pena Masyarakat Banten.

Bahkan, tambah Effendi, hingga saat ini Pemprov Banten membuka membuka dokumen Perda RZWP3K yang telah disahkan untuk dilihat dan dikritisi oleh publik, khususnya masyarakat yang terdampak kebijakan tersebut.

Senada dengan keduanya, Tubagus Ahmad dari WALHI Jakarta juga menilai arah kebijakan RZWP3K Banten tidak memberikan ruang hidup bagi nelayan tradisional. Menurutnya orientasi pemerintah daerah hanya terfokus pada peruntukkan ruang untuk proyek pariwisata, pelabuhan, pertambangan, industri, energi, konservasi, pipa bawah laut, dan kawasan strategis nasional.

“Dilihat dari alokasi peruntukkan ruang, pemukinan nelayan di Provinsi Banten tak memiliki tempat. Dengan demikian, pada dasarnya ranperda tersebut tidak berpihak terhadap masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional,” ungkap Tubagus.

Padahal, lanjut Tubagus, provinsi Banten memiliki 9.235 rumah tangga nelayan tradisional, yang terdiri dari 8.676 keluarga nelayan tangkap dan 559 keluarga nelayan budidaya.

“Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan sekaligus bentuk perampasan ruang yang akan dilegalkan melalui Perda yang telah disahkan,” tegasnya.