Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Amnesty International Kritik Penambahan Jenis Operasi Militer dalam RUU TNI
(Foto: Kompas)

Amnesty International Kritik Penambahan Jenis Operasi Militer dalam RUU TNI



Berita Baru, Jakarta – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, mengkritik penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Revisi Undang-undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurutnya, kebijakan tersebut menunjukkan paradigma dan keinginan politik yang keliru untuk memperluas peran militer di luar sektor pertahanan negara.

Dalam sebuah konferensi pers di Jakarta Selatan pada hari Minggu (21/5), Usman menyatakan keberatan terhadap penambahan jumlah OMSP dari 14 menjadi 19 dalam RUU TNI. Ia berpendapat bahwa revisi tersebut akan membuat TNI berada di luar kendali hukum dan melanggar prinsip kesetaraan di mata hukum.

Usman juga menyoroti usulan perubahan pada Pasal 65 ayat 2 yang dinilai akan memperkuat impunitas bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana umum.

Beliau menilai bahwa perubahan tersebut bertentangan dengan semangat dan agenda reformasi TNI pada tahun 1998. Reformasi sistem peradilan militer merupakan salah satu agenda reformasi TNI yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (4) TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Revisi ini menunjukkan bahwa TNI tidak lagi tunduk pada kekuasaan peradilan hukum sebagaimana yang telah ditegaskan dalam TAP MPR sebelumnya Nomor 7 Tahun 2000 dan Undang-undang TNI itu sendiri,” tambah Usman.

Pendapat kritis terhadap rencana revisi UU TNI juga disampaikan oleh Direktur IMPARSIAL, Gufron Mabruri. Gufron mencatat dua hal penting terkait rencana pengubahan UU TNI.

Pertama, ia mengkritik lambannya pelaksanaan sejumlah agenda reformasi TNI, termasuk reformasi sistem peradilan militer. Ia juga menyoroti meningkatnya peran internal militer dan dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam aktivitas politik praktis.

“Kita melihat adanya reformasi sistem di militer yang masih terbengkalai, serta meningkatnya peran internal militer dan dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam politik praktis. Selain itu, masih terjadi kekerasan yang melibatkan aparat TNI di berbagai daerah,” ungkap Gufron.

Catatan kritis kedua adalah ketidakmampuan menjaga konsistensi pencapaian positif reformasi TNI sejak tahun 1998. Gufron mengakui adanya pencapaian positif yang harus diakui, tetapi juga menyoroti keberlanjutan reformasi tersebut.

“Sebaliknya, dalam beberapa tahun terakhir ini, kita melihat berbagai kemunduran dalam proses reformasi yang seharusnya diteruskan dan diselesaikan,” kata Gufron.