Aktivis Satwa Kecam Penjualan Ilegal Bayi Monyet Ekor Panjang di Bali
Berita Baru, Jakarta – Perdagangan bayi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Pasar Burung Satria, Kota Denpasar, Bali, mendapat kecaman dari aktivis satwa. Penjualan bayi-bayi monyet tersebut diduga dilakukan secara ilegal.
“Di Bali masih ditemukan banyak penjual bayi-bayi monyet ekor panjang di Pasar Burung Satria, Denpasar. Setidaknya ada dua lapak penjual monyet ekor panjang di pasar itu. Monyet-monyet ini rata-rata berusia sangat muda,” kata pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Femke den Haas dalam keterangannya, dikutip dari detik.com, Sabtu (25/9).
Femke menyampaikan, menurut seorang pedagang, bayi monyet ekor panjang itu didatangkan hampir setiap bulan dari Sumatera. “Tentu saja hal ini ilegal, karena memasukkan hewan penular rabies (HPR) ke dalam Pulau Bali dilarang,” tambahnya.
Femke menilai, perdagangan satwa tersebut bisa dikatakan ilegal apabila mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian (Kementan) Nomor 1696 Tahun 2008 tentang larangan memasukkan anjing, kucing, kera, dan sebangsanya ke Provinsi Bali.
Selain itu, lanjutnya, penjualan hewan primata di pasar burung berpotensi besar melanggar Pasal 302 KUHP tentang penyiksaan hewan, UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan serta PP Nomor 95 tahun 2012 tentang kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
“Kemudian cara memperoleh dan mengangkut monyet-monyet ini juga melanggar Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P-63/Menhut-II/2013 tentang tata cara pengambilan spesimen tumbuhan dan satwa liar,” jelas Femke.
Femke juga mengatakan bahwa monyet ekor panjang merupakan spesies primata yang sangat sosial, hidup berkelompok dan cerdas. Sehingga satwa tersebut tidak layak sebagai hewan peliharaan.
Masih menurut Femke, monyet yang dipelihara dapat meningkatkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia maupun sebaliknya (zoonosis), seperti TBC, rabies, dan virus lainnya. Seperti dugaan kemunculan virus COVID-19 yang kini merebak di seluruh dunia dari pasar hewan hidup di Wuhan, China, pada 2019 lalu.
Kemudian kondisi hewan yang stres dan trauma, tuturnya, dapat mengakibatkan serangan gigitan terhadap manusia. Selain itu, praktik perdagangan monyet ekor panjang ini jelas melanggar prinsip-prinsip kesejahteraan hewan.
“Monyet ekor panjang di Indonesia masih belum mendapatkan perlindungan meskipun faktanya menurut daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) status spesies Macaca di alam dinaikkan menjadi tingkat rentan,” terang Femke.
Femke menduga maraknya penjualan bayi monyet di pasar burung karena peminatnya juga banyak. Kebanyakan pembeli merupakan turis yang kasihan dan kemudian membelinya. Masalahnya, setelah besar monyet ini kemudian menjadi hal serius karena semakin galak dan liar,” imbuhnya.
“Cara ini salah, karena membeli monyet dari pedagang di pasar hanya akan melanggengkan perdagangan satwa liar, mengacu pada prinsip supply and demand. Lalu menjadikan monyet sebagai konten media sosial, karena merebaknya para influencer melakukan hal tersebut, juga memicu tingginya pembelian bayi-bayi monyet ini,” katanya.
Terlebih, untuk bisa mendapatkan anak atau bayi monyet, biasanya para pemburu akan membunuh induknya. Sebab, monyet ekor panjang hidup dalam kelompok dan keluarga yang solid. Karena itu, tentu saja hal ini sangatlah kejam dan bertentangan dengan kesejahteraan hewan bahkan peraturan pemerintah.
Menurut Femke, JAAN sudah banyak menyelamatkan monyet dari laporan warga dan sitaan pemerintah hingga tidak ada lagi tempat. Pihaknya pun mempunyai puluhan monyet di tempat rehabilitasi.
“Di fasilitas rehabilitasi satwa kami di Sumatera baru-baru ini ada sekitar 36 ekor bayi monyet yang berhasil disita oleh pihak berwenang. Semua bayi tersebut berhasil diselamatkan dalam perjalanan menuju Pulau Jawa dan Bali,” terangnya.
Femke pun menyesalkan aduan yang dibuat oleh JAAN kepada pihak terkait belum mendapat tanggapan. Padahal masyarakat Hindu Bali sangat menghormati monyet-monyet ekor panjang ini seperti di Sangeh, Monkey Forest, Uluwatu, Alas Kedaton, dan Pura Pulaki.
“Tapi mirisnya masih terjadi praktik perdagangan dan pemeliharaan monyet-monyet ini di Bali. Kami berharap pemerintah Bali melalui Dinas Peternakan, Pemerintah Kota Denpasar dan tentunya Balai Karantina Denpasar dapat menghentikan perdagangan monyet ekor panjang di pasar burung,” tukas Femke.