Aktivis Respon Pidato Jokowi di COP26: Klaim Palsu dan Abaikan Masyarakat Adat
Berita Baru, Nasional – Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2021 atau dikenal dengan COP26, diadakan di Glasgow, Skotlandia, pada Senin (1/11) lalu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut hadir dan menyampaikan pidato terkait dengan sejumlah capaian yang sudah dilakukan di Indonesia, diantaranya penurunan laju deforestasi dan penurunan kasus kebakaran hutan hingga 82% di tahun 2020.
Menanggapi hal tersebut, Project Manager Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Monica Ndoen menyampaikan, apa yang disebutkan Jokowi itu adalah klaim palsu. Ia juga mempertanyakan dari mana data yang dimiliki Jokowi hingga dapat menyebutkan klaim tersebut.
“Penurunan deforestasi, pembakaran hutan, rehabilitasi, itu berbanding terbalik dengan yang terjadi di wilayah adat, contohnya Kinipan di Kalimantan tengah. Itu hutan adat yang luas, pohonnya besar-besar, justru ditebang habis sama sawit,” ujarnya dalam Konferensi Pers “Live From Glasgow: Mendengarkan Informasi dan Pantauan dari Ruang Negosiasi” yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil dari AMAN, WALHI, FWI, dan Greenpeace Indonesia pada hari ini (2/11).
Ketua Solidaritas Perempuan Dinda Nisa Yura menambahkan, sejauh ini pemerintah hanya memberikan solusi palsu yang berpotensi mendistorsi target penurunan emisi perubahan iklim. Ia juga tergelitik dengan salah satu poin dalam pidato Jokowi yang mempertanyakan kontribusi negara maju untuk Indonesia. “Seolah melihat sumber daya alam hanya dengan mengukurnya dalam kestauan nilai, ‘berapa yang sebenarnya bisa dijual?'” lanjut Dinda.
Pasar karbon yang pincang
Kaitannya dengan poin Jokowi soal carbon trading, Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik justru menganggapnya sebagai solusi usang. Dengan target bio fuel yang ada, diperkirakan justru dibutuhkan 9 juta perkebunan sawit baru di Indonesia. Sehingga, sangat mungkin terjadi deforestasi kembali di masa depan mengingat masih akan diperlukan peralihan lahan hutan primer menjadi pertambangan maupun perkebunan.
Mekanisme carbon trading menurut Iqbal adalah tidak berkeadilan. Apalagi dengan adanya UU Cipta Kerja yang disebutnya sebagai rezim perizinan, semakin membuka ruang bagi izin perdagangan karbon. “Ketika bentuknya penguasaan konsesi dan rezim izin, maka masyarakat adat atau komunitas yang menempatkan hidupnya pada hutan akan terancam direlokasi dan digusur,” ujarnya.
COP26 dinilai eksklusif
Dinda turut mengkritik proyek kehutanan yang dilakukan oleh pemerintah. Faktanya, proyek tersebut justru menyumbang kerusakan serupa dengan krisis iklim, yakni menghilangnya sumber kehidupan masyarakat hutan, termasuk perempuan dan masyarakat adat. Artinya, pemerintah masih menjadikan sumber daya alam sebagai komoditas melalui proyek-proyek yang dicanangkan.
Penyelenggaraan COP26 sendiri menurut Project Officer Perubahan Iklim WALHI Abdul Ghoffar tak lain hanyalah negosiasi elit yang eksklusif terhadap kelompok LSM lingkungan hidup hingga masyarakat adat. Di sisi lain Monica mencatat, dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk mendukung masyarakat adat dan komunitas lokal seperti yang dilakukan Inggris, Jerman, Belanda, dan Amerika Serikat.
“Negara lain menyebutkan peran penting masyarakat adat ketika bicara soal krisis iklim. Jokowi tidak ada menyebutkan itu, fokusnya pada carbon market, carbon pricing, bahkan ekosistem mobil listrik. Lucu juga,” tandasnya.