Aksi Protes di Thailand Tuntut Reformasi Monarki
Berita Baru, Internasional – Ribuan pengunjuk rasa memenuhi ibu kota Thailand, Bangkok, pada Sabtu (19/8), untuk menuntut revolusi dan sistem demokrasi dengan mendesak pemerintahan yang berkuasa saat ini untuk segera mengundurkan diri.
“Ganyang feodalisme, panjang umur rakyat,” seruan yang menggema diantara para demonstran.
Aksi protes ini telah terjadi sejak pertengahan Juli 2020, menyerukan pengunduran diri pemerintah, konstitusi baru, dan pemilihan umum. Mereka juga mengkritik monarki Maha Raja Vajiralongkorn.
Seperti dilansir dari Reuters, polisi mengatakan sedikitnya 5.000 pedemo telah berkumpul di kampus Universitas Thammasat, merupakan sarang oposisi militer dan pembentukan kerajaan, juga tempat pembantaian pengunjuk rasa pada tahun 1976.
Meski hujan, para pengunjuk rasa tumpah ruah ke Sanam Luang, ruang publik di seberang Grand Palace tempat pelaksanaan upacara tradisional kenegaraan.
“Hari ini rakyat akan menuntut kembali kekuasaan mereka,” kata Arnon Nampa, seorang pengacara hak asasi manusia dan tokoh utama dalam gerakan protes, di Twitter.
Pemberontakan terhadap kerajaan dan militer oleh politisi telah terjadi selama bertahun-tahun. Barisan oposisi ini terdiri dari pemilih perkotaan dan pedesaan yang miskin, dan baru-baru ini oleh para mahasiswa.
Militer, yang menyatakan dirinya sebagai pembela institusi inti negara, khususnya monarki, telah berkali-kali turun tangan untuk menggulingkan pemerintah sipil, terakhir pada tahun 2014, dengan alasan kebutuhan untuk menjaga stabilitas.
Prayuth mengatakan pemerintah mengizinkan protes sebagai bentuk kebebasan berbicara tetapi tidak untuk menuntut reformasi monarki.
“Kami berjuang untuk menempatkan monarki di tempat yang tepat, bukan menghapusnya,” kata seorang pemimpin protes, Panupong Mike Jadnok, kepada masa aksi.
Salah seorang mahasiswa (20) yang menyamarkan namanya menjadi Waan mengatakan, “sudah waktunya untuk mereformasi monarki. Ini masalah yang sudah lama disembunyikan. Ini harus berakhir di sini.”
Para pengunjuk rasa menuntut penghapusan undang-undang lèse-majesté yang menentang kritik terhadap monarki. Mereka juga berusaha untuk mengurangi kekuatan konstitusional raja dan kendali atas kekayaan istana dan unit tentara.
Pada hari Kamis, Prayuth memperingatkan para pengunjuk rasa agar tidak meningkatkan risiko penyebaran virus corona dan mendesak mereka untuk mendahulukan krisis kesehatan sebelum politik.
Saat petugas kepolisian memeberitahu bahwa mereka hanya dapat melakukan aksi selama satu jam karena risiko penularan virus, para pedemo marah dan mencemooh. Polisi mengatakan mereka mengerahkan 10.000 petugas pada hari Sabtu.