Akses Perempuan terhadap Informasi SDA, Dinilai Kurang
Berita Baru, Jakarta – Yessi pegiat di Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) dan Andriani Salman Wally dari Komisi Informasi Provinsi (KIP) Papua menyebut, masyarakat khususnya perempuan masih kesulitan untuk mendapatkan akses informasi Sumber Daya Alam (SDA).
Dalam kasus Yessi, seperti dikisahkannya dalam Podcast Perspektif yang diadakan Beritabaru.co bekerja sama dengan The Asia Foundation, UKaid, dan The David Lucile and Packard Foundation, hanya untuk mendapatkan salinan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) milik PT Medco E&P Malaka, ia dan timnya harus mengajukan gugatan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Aceh Timur.
Pasalnya, mereka mulanya tidak mau untuk memberikan salinan tersebut karena alasan tertentu, sehingga membuat Yessi dan tim tidak memiliki jalan lain kecuali melalui gugatan.
“Jika dipetakan, ada empat (4) langkah yang kami tempuh untuk ini, yaitu pemetaan persoalan, pemetaan dokumen, permohonan informasi, dan penyelesaian sengketa di persidangan. Jadi, untuk suatu informasi saja, kami harus sampai di persidangan,” ujar Yessi pada Rabu (24/3).
Dokumen Amdal sebagai bagian dari informasi SDA adalah barang yang mahal bagi Yessi sebab dengannya Yessi beserta tim dan masyarakat di kawasannya secara umum bisa melihat apa saja dampak dari adanya perusahaan tambang di desanya.
Selain itu, lanjut Yessi, dokumen Amdal juga dibutuhkan oleh beberapa warga yang merasa terpapar limbah perusahaan dan berkeinginan untuk mengajukan gugatan.
“Kalau ada dokumen amdal, yang bersangkutan kan bisa menggugat. Soalnya sudah ada bukti dokumen,” kata perempuan yang aktif pula di Champion Aceh ini.
Apa yang dilakukan Yessi entah sebagai pegiat di MaTA ataupun perempuan setempat adalah aktivisme berisiko tinggi. Menurut pengakuannya sendiri, ia harus melampaui tiga (3) hal mengerikan dalam melakukan advokasinya tersebut, yaitu kepercayaan diri, persepsi miring masyarakat karena dia perempuan, dan intimidasi baik dari pihak dinas maupun perusahaan.
“Ada 2 teman saya itu sampai diancam mau dikeluarkan dari perusahaan jika masih bergabung dengan tim advokasi. Tidak saja itu, ancaman-ancaman seperti ‘akan dipenjara’ dan semacamnya juga kerap sekali menghantam telinga kami,” ungkap Yessi.
Meski demikian, perjuangan Yessi dan timnya tidak sia-sia. Dokumen Amdal berhasil mereka dapatkan dengan jalur mediasi. DLH Aceh Timur mengaku, kenapa dokumen tidak diberikan di awal sebab saat itu pihak dinas belum memegang dokumennya, padahal perusahaan sudah cukup lama beroperasi.
“Memang pada dasarnya mereka itu tidak ingin kami tahu. Sebab jika kami tahu, dampaknya pada mereka bisa besar. Jadi, dalam kondisi seperti ini, ada dua (2) hal yang penting untuk kita tingkatkan, yaitu pemahaman terkait dampak pertambangan dan pendekatan apa yang efektif dan efisien, tidak demo saja seperti para bapak-bapak itu, dalam mengawal pertambangan,” jelas Yessi.
“Ini penting agar kesadaran masyarakat tentang pertambangan dan pelestarian ekologi terbangun,” lanjut perempuan yang pada akhirnya para bapak di desanya, yang sebelumnya mencibir, turut mengapresiasi pendekatan yang ia pakai untuk menghadapi perusahaan pertambangan.
Dukungan dari Papua
Sementara itu, dalam acara yang sama Andriani Salman Wally mengakui, urusan keterbukaan informasi di Indonesia memang masih susah atau sengaja disusahkan.
“Jangankan sipil, kami yang berada di Komisi Informasi saja, harus menunggu berjam-jam ketika meminta informasi tertentu dari Badan Publik, padahal kan kami sama-sama lembaga pemerintah,” tutur Wally.
Dengan ungkapan lain, menurut Wally, untuk menghadapi kondisi semacam ini, di satu level, seseorang memang diandaikan untuk berani. Selain karena keberanian adalah pintu masuk, hal ini pun sudah mendapatkan payung hukum, yaitu UU nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
“Apa yang disampaikan Bu Yessi tadi benar adanya. Kita semua memang harus percaya diri, berani, dan cerewet, apalagi ini menyangkut hak sipil kita untuk mendapatkan informasi secara adil,” tegasnya.
Di sisi lain, Wally menjelaskan, dalam pembentukan KIP Papua saja dibutuhkan perjuangan yang tidak sederhana dan baru pada 2014 KIP Papua bisa berdiri.
Itu pun, karena masih bayi, Wally dan teman-temannya harus berjuang keras agar bisa memberikan akses informasi yang baik kepada masyarakat Papua, termasuk informasi SDA.
“Selain itu, kami juga harus mendorong para mama-mama itu supaya ada apa pun agar tanya. Kuncinya adalah membuat masyarakat lebih giat bertanya. Sebab informasi itu penting, apalagi menyangkut pembangunan apa pun itu yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya,” ungkap Wally.