Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

FESTIVAL IBU BUMI
Surya Tjandra, Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, saat menyampaikan pidato kunci pada webinar bertajuk Agenda Pasca Pencabutan Izin: Memperkuat Ruang Kelola bagi Perempuan Indonesia, Rabu (2/2).

Akses Kelola Pasca Pencabutan Izin Masih Dipertanyakan



Berita Baru, Jakarta – Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Kehutanan dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang tersebar di sejumlah provinsi di Indonesia, dari Aceh hingga Papua, oleh Presiden Joko Widodo pada awal tahun 2022 memberikan harapan baru terhadap penataan ulang tata kelola hutan dan lahan secara menyeluruh.

“Kita semua mengapresiasi. Ini adalah pintu masuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia,” kata Sandra Hamid, Country Representative, The Asia Foundation (TAF) Indonesia saat membuka Webinar sebagai rangkaian Festival Ibu Bumi yang digelar sejak Desember 2021 lalu oleh Gender Focal Point (GFP), didukung TAF, dan Beritabaru.co sebagai media patner.

Namun demikian keputusan tersebut tetap memerlukan catatan-catatan kritis dan tindak lanjut yang lebih komprehensif untuk membuka jalan terwujudnya pengelolaan sumber daya alam berkeberlanjutan dan berkeadilan.

Hadir sebagai pembicara kunci dalam acara yang bertajuk ‘Agenda Pasca-pencabutan Izin: Memperkuat Ruang Kelola bagi Perempuan Indonesia’ tersebut, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Republik Indonesia, Surya Tjandra menegaskan bahwa pencabutan tersebut tidak hanya berhenti secara administratif.

Menurutnya, pencabutan izin ini menjadi momentum konsolidasi dalam rangka memberikan masukan kepada pemerintah untuk memperkuat tata kelola hutan dan lahan oleh masyarakat tapak, khususnya perempuan.

“Tidak selalu maraknya izin atau hak itu menciptakan kesejahteraan langsung. Indikator kuat dari ukuran terjadi peningkatan kesejahteraan atau tidak, apakah perempuan menjadi sejahtera. Karena perempuan adalah ibu bumi,” ungkapnya.

Surya melihat, pelembagaan juga menjadi tantangan. “Tidak bisa, tahun ini aja dirancang tahun depan hilang. Kita perlu memikirkan strategi bagaimana bisa pengarusutamaan gender terlembagakan di dalam perencanaan dan penganggaran,” ujarnya.

Setelah momentum pencabutan izin, para pemimpin perempuan dari tingkat tapak yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut berharap pemerintah membuka lebih banyak lagi izin perhutanan sosial.

“Pasca pencabutan Izin oleh Presiden Jokowi, tentunya memberikan peluang bagi kami. Dan kami cukup antusias untuk mengupayakan kembali pengusulan terhadap hak dan pengelolaan hutan desa,” terang  Ester Bolango, Anggota LPHD, Desa Malitu, Kec.Poso Pesisir Selatan, Kab.Poso, Sulawesi Tengah.

“Harapan kami adalah adanya pengakuan dari pemerintah terhadap upaya-upaya yang dilakukan kelompok perempuan dalam menjaga lingkungan. Khususnya di kawasan hutan melalui pemanfaatan lahan,” tambah Kachyani, Anggota LPHD Desa Pangkalan Gondai. Kab. Pelalawan, Riau Sementara.

Koreksi mendalam terhadap tindak lanjut pencabutan izin juga disampaikan Haris Retno, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur dalam Webinar tersebut. Ia melihat perlu adanya tindak lanjut melalui review-review izin pertambangan yang lain.

“Kalau terjadi pencabutan izin bukan berarti tidak akan muncul izin baru. Karena di dalam dokumen pencabutan izin juga tidak secara tegas itu dilarang. Masih dimungkinkan izin yang lama dicabut, namun izin baru diterbitkan,” ungkap Haris.

Haris Retno juga menegaskan bahwa perjuangan perempuan pasca pencabutan izin untuk merebut tata kelola ruang hidupnya menghadapi tantangan besar. Khususnya dalam wilayah eksploitasi pertambangan.

Ia menyebut lahirnya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga berpotensi menyempitkan ruang partisipasi masyarakat khususnya perempuan, seiring dengan semakin lemahnya ketentuan terkait AMDAL.

“Bahkan, ruang partisipasi perempuan semakin menyempit. UU Ciptakerja menyempitkan akses partisipasi masyarakat yang sedikit, menjadi semakin lemah. Pun, jaminan hak perempuan atas ruang hidupnya belum menjadi agenda utama Negara,” terang Haris.

Dalam penyampaian catatan penutup, Director of Environmental Governance Unit – TAF Indonesia, Lili Hasanuddin menggarisbawahi bahwa proses pencabutan izin yang dilakukan pemerintah di satu sisi mendapatkan apresiasi, namun di sisi lain masih menimbulkan pertanyaan baru, terkait dengan apa yang akan dilakukan pemerintah setelahnya.

“Apakah kemudian ini akan diberikan atau dialokasikan untuk kelompok-kelompok masyarakat, ataukah ini justru akan direalokasi kepada perusahaan-perusahaan lain?,” terang Lili.