Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari. (Foto: Istimewa)
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari. (Foto: Istimewa)

AJI Imbau Media Patuhi Kode Etik Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual Ketua KPU



Berita Baru, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengingatkan media massa untuk mematuhi kode etik jurnalistik Dewan Pers dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dalam meliput kasus kekerasan seksual yang melibatkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari yang terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap pengadu berinisial CAT dan memutuskan untuk memecatnya dari jabatan Ketua KPU.

AJI mencatat sejumlah media massa mengabaikan beberapa pasal dalam Kode Etik Wartawan Indonesia dengan menyebutkan identitas korban kekerasan seksual. AJI mendesak Dewan Pers untuk memberikan sanksi tegas terhadap media yang mengabaikan kode etik ini.

“Pemberitaan kasus kekerasan seksual penting untuk meningkatkan kesadaran publik melawan kekerasan seksual. Namun, menyebutkan identitas korban dan mendeskripsikan peristiwa kekerasan seksual secara vulgar mengandung kerentanan dan risiko bagi korban. Media massa hendaknya memperhatikan secara serius perlindungan dan pemulihan korban untuk meminimalisasi dampak trauma,” ujar Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida dalam siaran persnya, Jumat (5/7/2024).

Pasal 5 Kode Etik Wartawan Indonesia menyatakan bahwa wartawan tidak boleh menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila. Penafsiran pasal ini mencakup semua data dan informasi yang memudahkan orang lain untuk melacak korban.

Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Shinta Maharani, menambahkan bahwa media massa seharusnya menghindari pemberitaan yang bias gender dan mengobjektifikasi korban. “Objektifikasi dan stereotipe terhadap perempuan contohnya menyematkan kata cantik dan seksi. Menyalahkan korban dan penghakiman misalnya penyematan tindakan asusila, penggoda, dan pelakor,” jelas Shinta.

Pasal 8 Kode Etik Wartawan Indonesia juga menyebutkan bahwa wartawan tidak boleh menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau jasmani.

Sebagian pemberitaan media massa dinilai AJI mengumbar sensasi dan mengobjektifikasi perempuan sebagai korban kekerasan seksual. Contohnya adalah penulisan profil korban yang berpotensi memperpanjang kekerasan berbasis gender dan pelacakan data tanpa persetujuan korban.

Pasal 2 Kode Etik Wartawan Indonesia menjelaskan bahwa wartawan harus menghormati hak privasi dan pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian berita. Temuan lainnya menunjukkan bahwa media massa sering mencampurkan fakta dan opini dalam pemberitaan kasus ini, yang bertentangan dengan Pasal 3 Kode Etik Wartawan Indonesia.

“Pemberitaan yang mengabaikan kode etik jurnalistik dan tidak berperspektif adil gender seharusnya menjadi perhatian serius Dewan Pers. Dewan Pers seharusnya segera menyusun pedoman itu supaya media massa punya panduan teknis. Perlu upaya lebih maju guna mengurangi pemberitaan yang tidak berperspektif adil gender,” kata Nany Afrida.