Agustinus Edy Sebut Program Kartu Prakerja “Bisnis Elit”
Berita Baru, Jakarta — Sejak diluncurkan pada tanggal 21 April 2020, Program Kartu Prakerja langsung menuai banyak kritik. Mulai dari kalangan masyarakat kelas bawah, bahkan politisi dan para pemerhati ekonomi.
Hal itu dilakukan karena Program Kartu Prakerja yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai hanya sebuah “permainan atas” dengan menggunakan rakyat kecil (peserta) sebagai bantalan.
Mantan Direktur Yayasan LBH Indonesia sekaligus Wartawan Senior, Agustinus Edy Kristianto mengecam tersebut. Melalui tulisan di akun Facebook pribadinya, Kamis (21/4), Edy menilai Program Kartu Prakerja adalah ‘bisnis’ yang memanfaatkan derita rakyat miskin di tengah pandemi Covid-19.
Setelah mendapat persetujuan penulis, berikut ini Beritabaru.co sajikan kritik Edy secara lengkap:
Pagi ini, hidung saya gatal betul.
Presiden Jokowi menyatakan Rp1 juta untuk dana pelatihan tak perlu dipersoalkan. Alasannya, karena dana tunai yang diterima peserta jauh lebih besar.
Kita diajari matematika dasar:
Rp1 juta < Rp2,4 juta (Rp600 ribu x 4 bulan).
‘Cuma’ beli video Rp1 juta. Apalah artinya dibandingkan Rp2,4 juta yang akan diterima peserta prakerja? Begitu pesan di balik perkataannya.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ambil angle begini. Kasarnya: jangan ribut soal beli video online, nanti kalau tidak ada korona, pelatihan offline juga dilakukan.
Manajemen Pelaksana membangun opini. Duit Rp3,5 juta sudah ditransfer ke 168-an ribu peserta gelombang I. Besarnya Rp500-an miliar. Hmmm. Seolah kebaikan yang melegakan nafas.
Tapi yang tampil di dashboard peserta Rp1 juta. Silakan beli videonya.
Belva pasang badan. Dia akui ke mana-mana, Ruangguru PTE.LTD, perusahaan cangkang yang di Singapura, juga punya dia. Yang di Thailand dan Vietnam juga. Katanya, anak bangsa yang punya.
Soal Belva, tak perlu kita ambil pusing. Lidah tak bertulang. Dia bisa berkata apa saja. Tapi orang sudah tahu soal praktik nominee berbalut perusahaan cangkang.
Ada mentor dan senior yang mengajarinya secara intensif. Dugaan saya.
Sementara itu dua unicorn menolak jadi platform digital (hanya ada lima unicorn start-up di Indonesia yakni Bukalapak, Traveloka, Tokopedia, OVO, dan Gojek).
Nama yang menolak tak disebutkan oleh Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana. Alasan menolak, ingin melihat model bisnis prakerja dulu.
Saya tangkap: dua unicorn itu mencium bau amis juga di balik Rp5,6 triliun atau tidak terjadi kesepakatan pembagian roti.
Siapa yang tahu?
Rileks. Tarik nafas. Jangan terpengaruh permainan opini. Frekuensi kita kuat di bau anyir Rp5,6 triliun.
Suara penolakan terhadap program Rp5,6 triliun sekarang seperti hujan. Memancing jamur-jamur keluar. Para pelaku gerah.
Kesimpulan paling dasar yang bisa kita tarik dari semua perkembangan situasi sekarang: lobi barang ini tinggi sekali. Mainan atas!
Permainan atas ini menggunakan rakyat kecil (peserta) sebagai bantalan. Ada ‘kejahatan’ dalam kalimat pembelaan semacam: “Pilihan pelatihan ada di tangan peserta sendiri. Mereka bebas memilih pelatihan yang akan diikuti.”
Begitulah cara untuk ‘mengakali’ agar duit negara (rekening dana prakerja) tidak langsung ke rekening korporasi (platform digital), tapi lewat terminal dulu, yaitu rekening virtual peserta. Itu semua telah dibuat dasar hukumnya. Lewat peraturan presiden dan peraturan menteri.
Itulah perpaduan yang kerap dipublikasikan sebagai “terobosan 4.0 era milenial” dan lobi kelas atas birokrasi.
Tapi pikiran paling pendek sekali pun akan segera sampai pada kesadaran bahwa TRANSAKSI telah terjadi. Peserta tidak mendapat duit tunai untuk menyambung nyawa pada kesempatan pertama.
Transaksi dikondisikan pasti terjadi. Ada ‘ancaman’. Peserta yang sengaja tidak menggunakan dana pelatihan, akan dicoret dan tidak bisa lagi ikut prakerja berikutnya. Apalagi dapat Rp600 ribu/bulan.
Ya, barang ini dikondisikan tak hanya setahun. Perjanjian Kerja Sama dibuat untuk dua tahun dan bisa diperpanjang. Minimal selama Presiden Jokowi menjabat.
Ceteris paribus. Rp5,6 triliun x 5 tahun = Rp28 triliun!
‘Bisnis’ prakerja ini mengandalkan pada LOGIKA TRANSAKSI. Mendorong transaksi sebanyak-banyaknya adalah kunci. Untuk mencapai tujuan itu, dibuatlah peraturan.
Peserta memang akan mendapat Rp600 ribu, tapi TRANSAKSI Rp1 juta harus terjadi dulu.
Peserta memang akan mengecap pelatihan offline setelah korona pergi, tapi TRANSAKSI Rp1 juta selalu terjadi.
Mungkin, platform digital akan bertambah, lembaga pelatihan akan bertambah, BLK akan dilibatkan, lembaga kursus akan dilibatkan, atau apa pun untuk menenangkan massa, tapi TRANSAKSI Rp 1 juta tetap akan terjadi.
Jumlah peserta per gelombang akan ditambah, mekanisme pendataan akan diperbaiki, server akan dipercanggih, tapi TRANSAKSI Rp1 juta akan terus terjadi.
Kondisinya jelas sesuai Permenko Perekonomian: pembayaran video dilakukan lewat platform digital. Penyaluran ke lembaga pelatihan dilakukan lewat platform digital. Ada komisi jasa.
Sinyal kuat potensi terjadinya penyimpangan ada di ranah TRANSAKSI itu.
Tapi, saudara-saudara, pemimpin kita meminta agar kita jangan mempermasalahkan Rp1 juta itu. Kenapa?
Karena kita miskin. Karena kita susah. Karena kita akan butuh Rp600 ribu/bulan.
Kita seolah dikutuk untuk berada pada situasi miskin. Kemiskinan kita menjadi bisnis menarik bagi sebagian orang yang ‘cerdas’. Ya, ini memerlukan keahlian hukum, kelihaian politik, kecanggihan utak-atik ekonomi, dan—mungkin—kedegilan perasaan pelakunya.
Pikiran kita akan terhasut untuk menganggap berapa saja duit insentif yang kita terima adalah kebaikan penguasa.
Kejahatan yang sempurna adalah kejahatan yang tampil ke muka sebagai kebaikan.
Tidak. Tidak.
Mungkin kita sudah tak ingat, kapan terakhir kali kita bersatu tanpa mempedulikan perbedaan di antara kita, untuk berbicara tentang hal yang menyangkut urusan kita bersama, dan memperjuangkannya sebagai nilai dan prinsip luhur yang mengikat kita.
Sekarang saatnya.
Kita bertanya, Pak Jokowi berdiri di sebelah mana?
Hentikan TRANSAKSI itu.
Salam 5,6 Triliun.