Agil Oktaryal: Amendemen Konstitusi ke-5 Murni Kepentingan Politik
Berita Baru, Tokoh – Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal menyebut bahwa amendemen konstitusi ke-5 yang belakangan ini digulirkan pemerintah murni kepentingan elite politik.
Hal tersebut ia sampaikan dalam sesi Bercerita ke-62 Beritabaru.co dengan tema “Untuk Siapa Amendemen Konstitusi ke-5?” pada Selasa (31/8).
Menutur Agil, perubahan konstitusi tidak bisa dilakukan ketika pijakannya bukan hajat publik. “Dasar dari amendemen kelima ini murni kepentingan elite. Jadi, tentu ini tidak bisa dilakukan,” tegas laki-laki yang juga aktif sebagai dosen di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini.
Di sisi lain, Agil juga menyinggung soal rakyat yang sedang berjuang sekuat tenaga menghadapi Pandemi COVID-19. Di benak Agil, adalah sangat tidak efektif ketika di kala rakyat demikian, elite politik justru menggulirkan isu perubahan konstitusi.
Dari berbagai sisi, amendemen kali ini jauh dari apa yang dibutuhkan rakyat, termasuk bagaimana pemerintah, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), penting untuk terlebih dulu menyelesaikan tugas pokoknya daripada memikirkan amendemen.
Tugas yang dimaksud di sini untuk DPR, setidaknya adalah tiga (3) fungsi pokoknya, yakni legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
Berdasarkan pengamatan Agil, DPR kurang optimal dalam tugas-tugas tersebut, sehingga adalah sulit diterima jika tiba-tiba mereka fokus pada amendemen.
“Harusnya itu mereka optimalkan dulu fungsi pengawasannya. Terkait korupsi dana Bantuan Sosial misalnya atau fungsi legislasinya, yakni bagaimana pemerintah mampu mempercepat penanganan pandemi,” kata Agil.
“Ya tugas utamanya itu dulu dong dibenahin, diberesin, bukan malah memikirkan amendemen,” imbuhnya dalam diskusi yang ditemani oleh Al Muiz Liddinillah ini.
Beberapa jenis amendemen
Dalam Podcast Bercerita ini, Agil juga mengulas tentang model-model amendemen yang sedang direncanakan pemerintah di atas.
Menurut Agil, amendemen konstitusi ke-5 merupakan amendemen formal, sehingga perubahannya bisa sampai pada level redaksi atau frasa di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Model formal ini cukup rumit dan mendasar ya. Jadi, mekanismenya harus diusulkan oleh 1/3 anggota dewan, dihadiri 2/3, dan bisa diambil keputusan ketika ada 50+1 peserta sidang yang setuju,” ungkapnya.
Selain itu, Agil melanjutkan, ada pula yang disebut sebagai amendemen informal. Model yang kedua ini terdiri dari tiga (3) jenis: kekuatan primer, kebiasaan atau konvensional ketatanegaraan, dan tafsiran hakim.
Pertama merujuk pada kekuatan publik atau semacam demonstrasi berskala nasional untuk menuntut sesuatu. Kedua lebih pada adanya perbedaan antara konstitusi dan kebiasaan masyarakat di suatu negara yang sudah diakui secara internasional.
“Jadi, ketika ada pertentangan antara konstitusi dan kebiasaan masyarakat, dan kebiasaan ini diterima secara umum, maka sebenarnya kebiasaan tersebut sudah mengubah konstitusi secara tidak langsung,” jelas Agil.
Adapun ketiga bertautan dengan tafsiran hakim atau untuk kasus Indonesia adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Tafsiran hakim tidak jarang bertentangan secara leksikal dengan konstitusi.
Agil memberi contoh soal kasus hukuman mati. Di konstitusi hukuman mati tidak diperbolehkan, tetapi oleh MK hal tersebut dibolehkan untuk teroris dan pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
“Putusan MK seperti ini sebenarnya secara tidak langsung adalah amendemen konstitusi, tetapi modelnya informal,” kata Agil.