Sultra dan Tantangan Keberagaman Suku
Salah satu kekayaan bangsa Indonesia adalah memiliki keragaman suku, adat-istiadat dan budaya. Hampir tidak ada bangsa sekaya Indonesia terkait keragaman masyarakat. Realitas tersebut menjadi tantangan tersendiri, sehingga para The Founding Father kita menggali nilai-nilai luhur untuk mempersatukan keragaman itu, yang disebut dengan “Bhineka Tunggal Ika”, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Hal ini juga berlaku di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Sultra ibarat miniatur Indonesia dari segi keragaman masyarakatnya. Di dalamnya hidup beragam suku, etnis dan budaya. Sebut saja, Tolaki, Muna, Buton,Bugis, Mornene bahkan Jawa hingga Bali hidup mendiami provinsi yang terletak di tenggara pulau Sulawesi itu. Kesemuanya hidup berdampingan dengan damai dalam bingkai persatuan dan kekeluargaan yang kuat.
Keberagaman ini, di lain sisi bisa menjadi masalah jika tidak dikelola dengan baik dan bijak. Apalagi sampai memanfaatkan untuk membangun sebuah sentiment-sentimen pebedaan suku dalam kepentingan politik. Jangan sampai itu terjadi. Hampir tidak ada maslahat yang didapat, bahkan masyarakat akan menerima lebih banyak mudharat karena konflik kesukuan.
Terlihat akhir-akhir ini wacana konflik suku kembali bergema di Sultra. Entah apa motifnya, tetapi hal ini bisa membuat perpecahan di tengah keragaman masyarakat Sultra. Konflik yang awalnya hanya melibatkan oknum atau suatu ormas, kemudian sengaja digiring dan dilebarkan ke ranah konflik suku. Bahkan kejadian seperti ini sudah sering berulang, sehingga membuat potensi perpecahan itu sangat besar dan membuat kehidupan masyarakat tidak tenang.
Terakhir, kericuhan hari ini (16/12/2021) di Kota Kendari antara oknum, kelompok atau ormas tertentu. Bahkan hingga ada korban jiwa. Ini kemudian digiring ke konflik suku. Diperparah lagi di media sosial pun ramai berseliweran informasi-informasi terkait konflik ini yang digiring ke konflik antar suku.
Lalu, kondisi ini siapa yang mesti dipersalahkan? Siapa yang bertanggung jawab? Kurang bijak rasanya jika kita mempersalahkan salah satu suku tertentu. Atau juga membela-bela suku tertentu. Hemat saya, ini menjadi tanggungjawab banyak pihak, baik itu pemerintah, aparat keamanan maupun masyarakat itu sendiri.
Pemerintah dalam hal ini Pemprov Sultra yang dipimpin oleh Gubernur Ali Mazi dan Wagub Lukman Abunawas bisa menjadi dua tokoh sentral yang bisa menengahi berbagai konflik, apalagi yang berbau suku atau etnis. Bukan hanya karena mereka merupakan orang nomor 1 dan nomor 2 di Bumi Anoa, tetapi juga keduanya merupakan tokoh keterwakilan antara kepulauan dan daratan di Sultra. Komposisi komplit yang harapannya bisa menjadi pemersatu di tengah keragaman masyarakat Sultra.
Kemudian bagi aparat kemanan, dalam hal ini Polda Sultra, mesti ada langkah strategis dalam merespon konflik semacam ini, karena jika hanya dibiarkan, atau direspon setelah sudah ada kejadian, maka akan bisa terus berulang. Ini akan menjadi fenomena bola salju yang terus menggelinding dan membesar.
Polda Sultra dengan power dan instrument yang dimiliki sebenarnya cukup untuk melakukan langkah strategis dalam melahirkan solusi-solusi terbaik agar konflik-konflik yang mengarah ke suku ini tidak terus berulang. Tinggal diperlukan sebuah ketegasan, yang menurut saya selama ini tidak terlihat dari pimpinan Polda Sultra. Seakan menjadi percuma pimpinan Polda Sultra terus berganti-ganti, tetapi masalah semacam ini masih saja terjadi.
Selain itu, keterlibatan masyarakat itu sendiri baik itu tokoh adat, masyarakat, tokoh agama dan masyarakat umum menjadi penting dengan bersama membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga bangunan keragaman di Sultra. Perbedaan suku atau etnis menjadi suatu realitas bahkan kehendak Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Tidak ada satu pun orang yang bisa memilih dilahirkan sebagai suku tertentu. Pun, tidak ada juga orang yang bisa menolak dilahirkan sebagai suku tertentu. Apalagi Tuhan Yang Maha Kuasa sudah berpesan kepada umat manusia:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu” (Q.S. Al Hujrat ayat 13)
Kita berharap, semoga kejadian hari ini menjadi kejadian yang terakhir di bumi Anoa Sultra. Jangan ada lagi konflik oknum, kelompok atau ormas tertentu digiring ke konflik suku. Terakhir, ditulisan ini, saya mengutip pernyataan Bapak Pluralisme Indonesia, Gus Dur: “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak tanya apa agamamu”.
(*) Anak Muda NU asal Sultra/Ketua PB PMII 2017-2020