Maria Ulfah Anshor dan Upaya Membangun Ekosistem Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
Berita Baru, Tokoh – Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mengalami peningkatan cukup signifikan belakangan ini. Dalam catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, selama tiga tahun terakhir, kekerasan seksual menempati urutan kedua terbanyak setelah kekerasan fisik.
Namun di waktu yang sama, Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tidak kunjung juga menemui titik terang, meski pada 2021 ini sudah masuk kembali ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR.
Ini adalah dilema bahkan krisis, tegas Maria Ulfah Anshor dalam gelar wicara Bercerita ke-76, yang darinya Komnas Perempuan sampai pada pernyataan bahwa hari ini Indonesia sedang dalam darurat kekerasan seksual.
“Tahun ini, RUU TPKS sudah masuk lagi ke Prolegnas memang, tapi ini prosesnya masih panjang hingga sampai ke pengesahan. Yang karena proses ini, korban masih bisa bertambah,” ungkapnya.
Dalam diskusi mingguan Beritabaru.co ini, Selasa (7/12), Maria Ulfah juga berbicara tentang kasus Novia Widyasari (NWR).
Menurut Ulfah, tragedi yang menimpa NWR hanyalah 1 dari sekitar 4000 kasus serupa yang terjadi sepanjang Januari hingga Oktober 2021.
Ulfah mengaku sebelum meninggal NWR sempat melapor terkait apa yang sedang dialaminya kepada Komnas Perempuan. Tepatnya pada pertengahan agustus.
Setelah diproses secara prosedural, pada 10 November Komnas Perempuan bisa berkomunikasi secara langsung dengan NWR.
Obrolan terjalin dan darinya diketahui NWR berharap pada Komnas Perempuan agar pihaknya bisa membantu NWR untuk melakukan mediasi dengan pelaku sekaligus keluarganya.
Harapannya, pihak pelaku bersedia bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuatnya, termasuk supaya keluarga pelaku juga mau menerima.
Selain itu, Ulfah melanjutkan, NWR juga mengharapkan ada semacam pendampingan konseling untuknya agar beban yang dideranya tidak terlalu berat.
Sebagai tindak lanjut, Komnas Perempuan memberi rujukan ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Mojokerto.
Namun, karena keterbatasan psikolog di P2TP2A Mojokerto, NWR tidak bisa langsung mendapatkan pendampingan dan dianjurkan untuk menunggu hingga awal Desember.
“Kami sudah merujuk ke P2TP2A Mojokerto, tapi di sana antri karena keterbatasan psikolog dan baru bisa ditangani pada awal Desember. Tapi, ternyata NWR sudah meninggal,” ungkapnya.
Pandemi, relasi kuasa, dan peningkatan kekerasan seksual
Dalam kaitannya dengan penyebab meningkatnya kekerasan seksual, Maria Ulfah menengarai dua (2) faktor yang memicu hal tersebut, yakni pandemi dan relasi kuasa.
Pandemi berkaitan erat dengan semakin masifnya penggunaan ponsel pintar, khususnya di kalangan pemuda.
Sebagian, kata Ulfah, tentu memanfaatkannya untuk hal positif, seperti belajar, mengunduh buku elektronik, dan berdiskusi.
Namun, sebagian yang lain menggunakannya untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti menonton film porno dan semacamnya.
Ulfah menyebut ketika seseorang terbiasa menonton film porno, ia akan memiliki kecenderungan untuk mempraktikkannya, apalagi mereka yang sudah memiliki pacar.
“Ini soal mumpung ya. Mumpung punya pacar, jadi bisa diajak,” kata Ulfah.
Adapun relasi kuasa lebih pada bagaimana pola pikir masyarakat masih cenderung menganggap perempuan rendah. Ulfah memosisikan relasi kuasa sebagai faktor mendasar yang perlu segera ditangani.
Pasalnya, dengan relasi kuasa yang ada saat ini seolah-olah laki-laki berhak memaksa pasangannya—kendati pun masih dalam relasi pacaran—untuk memuaskan hasrat seksualnya.
“Dan inilah yang sebenarnya terjadi di antara NWR dan pacarnya. Jadi relasi mereka itu timpang, tidak beres,” tegas Ulfah geram.
Biasanya, lanjut Ulfah, karena dorongan relasi kuasa yang timpang tersebut para laki-laki memakai strategi bualan dan janji manis untuk merayu pasangan agar mau memberikan apa pun padanya.
Lantas, ketika laki-laki sudah mendapatkan kepuasannya dan rupanya terjadi sesuatu, mereka tidak segan untuk menuding perempuan entah sebagai pihak yang menggoda atau pun dengan pertanyaan balik, “mengapa mau?”
“Buktinya jelas dalam kasus NWR. Ketika NWR hamil dan meminta pertanggung jawaban, yang disalahkan justru NWR, bahkan mirisnya, orang tua pelaku pun turut menyalahkan NWR. Mereka bilang bahwa NWR menjebak anaknya,” ujar Ulfah.
“Gara-gara relasi kuasa yang timpang ini, NWR tidak saja menjadi korban, tetapi juga dipersalahkan!” imbuhnya.
Menuju ekosistem pemulihan korban kekerasan seksual
Dari diskusi tersebut, Maria Ulfah menegaskan bahwa ekosistem untuk mendukung pemulihan korban kekerasan seksual perlu segera dibangun.
Ekosistem yang dimaksud di sini, kata Ulfah, menunjuk pada tiga (3) lingkungan yang perlu dibangun secara bertahap.
Pertama, lingkungan mikro sistem, yakni lingkungan terdekat korban. Ini meliputi orang tua, saudara, dan keluarga secara umum.
Lingkungan mikro memiliki peran untuk memberi dukungan pertama pada perempuan korban kekerasan seksual.
Dukungan yang dimaksud tidak saja berupa dukungan psikis, tetapi juga langkah apa yang harus ditempuh selanjutnya.
“Dengan ungkapan lain, jangan sampai korban tidak memiliki teman curhat, sehingga harus cerita ke teman atau malah ke media sosial. Ini tugasnya orang tua dan keluarga dekat,” kata Ulfah.
Kedua, lingkungan meso sistem, yaitu lingkungan di luar keluarga. Ini bisa berupa tetangga, masyarakat, dan kampus.
Adapun terakhir, lingkungan makro sistem, lebih pada adanya regulasi atau layanan yang dibangun dari regulasi tersebut agar korban mendapatkan pemulihan tambahan di luar lingkungan mikro.
“RUU TPKS boleh kita kategorikan sebagai yang ketiga, yakni regulasi. Dengan adanya RUU ini, akan ada sistem pencegahan komprehensif agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan,” tegas Ulfah.
“Itu soal proses pemidanaan bagi pelaku yang bagi saya ia tidak saja harus dihukum penjara, tetapi juga mendapatkan rehabilitasi pola pikir biar ke depan tidak lagi merendahkan perempuan sedemikian adanya,” imbuhnya.
Pendek kata, melalui ekosistem ini, Ulfah menilai para korban kekerasan seksual tidak saja akan mendapatkan pemulihan yang komprehensif—dari keluarga hingga layanan pemerintah—tapi juga pencegahan yang komprehensif.