TKI Meninggal Saat Urus Paspor, Migrant Care: Ironi Diplomasi Digital
Berita Baru, Jakarta – Seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bernama Tamam bin Arsyad menghembuskan napas terakhirnya saat mengantre untuk mengurus paspor di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia pada Kamis 31 Oktober 2019 sore waktu lokal.
Meninggalnya Tamam tepat 3 hari setelah Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menegaskan kembali komitmen perlindungan warga negara sebagai salah satu prioritas politik luar negeri Kabinet Indonesia Maju–melanjutkan diplomasi negara hadir dalam Kabinet Indonesia Kerja.
Dalam pidato perdana di periode keduanya, Selasa (29/10), Menlu RI juga menegaskan bahwa di era disrupsi dan perkembangan teknoligi informasi, aktivitas diplomasi harus menunjukkan inovasi dan kreasi. Salah satunya adalah digital diplomacy (diplomasi digital), yaitu diplomasi dengan memaksimalkan interaksi yang makin terintegrasi dengan digitalisasi untuk mempercepat pelayanan dan langkah-langkah perlindungan.
Di tengah harapan baru tersebut, kematian Tamam, menurut Direktur Migrant Care, Wahyu Susilo menjadi sebuah ironi. Pasalnya, pekerja migran asal Bawean, Jawa Timur berada di KBRI Kuala Lumpur untuk mengantre proses perpanjangan dokumen kewarganegaraan.
Dia menuturkan, selama dua dekade, antrian pembuatan dokumen kewarganegaraan adalah pemandangan sehari-hari di KBRI Kuala Lumpur. “Tentu tidak menutup mata ada inovasi untuk mempercepat pelayanan pembuatan dokumen, namun tetap saja inovasi tersebut tidak memadai dan mengantisipasi ribuan orang yang membutuhkan layanan dokumen,” kata Wahyu kepada Beritabaru.co melalui pesan WahtsApp, Jumat (01/11).
Wahyu juga menilai selama ini sistem layanan online tidak dioptimalkan agar bisa mengurangi proses manual. Sementara proses yang manual membuka ruang adanya transaksi ilegal dan praktek percaloan serta masih memungkinkan adanya penumpukan manual karena layanan inti pembuatan dokumen masih dikerjakan secara manual.
“Proses kerja setengah hati ini memperlihatkan bahwa masih ada gap antara komitmen Menlu RI yang tidak diragukan mengenai diplomasi perlindungan dengan kinerja perwakilan RI–terutama di negara2 dengan jumlah pekerja migran yang signifikan–yang ‘business as usual’ dan menganggap pekerjaan perlindungan pekerja migran adalah pekerjaan sampingan dan bukan sebagai ‘core diplomacy’. Situasi ini harus segera dievaluasi agar tidak ada pekerja migran yang mati sia-sia karena keteledoran layanan diplomasi perwakilan RI di luar negeri,” tegas Wahyu. [*]