Pencuri Jam Dinding di Rumah Tuhan | Cerpen Muhammad Yasir
Malik bin Mukhsin; seorang lelaki tua, taat, dan alim, secara mengejutkan membuat pengakuan kepada Allah, Tuhan yang dia yakini, ketika dirinya berumur 80 tahun lima hari yang jatuh pada bulan Juni yang lebih cerah dari roman wajahnya. Malik bin Mukhsin merasa perlu melakukan pengakuan ini, karena zaman telah berubah. Tidak seperti masa kanak-kanaknya dulu; orang-orang datang ke rumah Tuhan tidak hanya sekadar membuktikan ketundukan dan kepatuhan, tapi lebih dari itu. Dia masih ingat betul, bagaimana orang datang belajar dan belajar tentang agama dan tetek-bengek kehidupan di rumah Tuhan. Bahkan, ketika di antara mereka baru saja dirampok atau mengalami tindak kejahatan lainnya, mereka akan datang ke rumah Tuhan dan mengadukan itu semua. Namun sekarang ini, pikir Malik bin Mukhsin, keyakinan orang-orang terhadap kuasa Tuhan telah luntur dimakan semangat zaman yang menindas dan menghisap, bahkan sejak keturunan mereka masih dalam kandungan. Dan semakin ke sini, orang-orang menyerahkan keyakinan dan kepercayaan mereka kepada hukum dan undang-undang yang dibuat kaum penjajah yang sarat kebohongan, atau kepada petugas keadilan yang hanya lulusan akademi.
Kebohongan, gumam Malik bin Mukhsin, adalah diri kita yang lain, yang jahat. Dan kebohongan zaman telah pula membentuk kelas-kelas manusia jahat dan bengis di pelbagai tatanan negara dan kehidupan. Mereka tidak segan-segan dan tanpa ampun merampas, memerkosa, bahkan membunuh hak-hak orang-orang yang dilindas zaman sepanjang hidup mereka. Malik bin Mukhsin menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari kebohongan zaman yang dia gumamkan. Dirinya yang renta dimakan birahi duniawi, tidak memiliki kemampuan merawat bahkan seorang fakir, padahal dia memiliki kemampuan untuk itu. Dia juga menyadari bagaimanapun kebohongan itu diamplas dan dipernis hingga tidak seorang pun menyadari bahwa itu kebohongan, Allah Yang Agung tidak akan berkedip, sedetik pun. Inilah mengapa Malik bin Mukhsin merasa perlu melakukan pengakuan di hadapan Tuhan.
“Allah Yang Maha Kuasa,” Malik bin Mukhsin memulai pengakuannya, “tidaklah hamba seorang ini memiliki kemampuan yang melebihi kemampuanmu, sesenti pun! Engkau adalah pemilik langit dan bumi. Engkau pula yang memberi kehidupan dan kematian kepada hamba dan umat manusia. Hanya kepadamu hamba tunduk dan berserah diri. Dan, hari ini, hamba akan membuat pengakuan—yang sesungguhnya telah engkau ketahui—bahwa hamba akan berhenti mengurus rumah suci ini, karena hamba benar-benar sadar bahwa hamba tidak memiliki kemampuan yang lebih lagi untuk menjaga semua ini. Hamba ingin menghukum diri hamba sendiri, ya Allah, sebelum hukuman darimu tiba di hari pembalasan. Zaman sekarang ini, bukanlah milik hamba seorang. Dan hamba tidaklah mampu menahan diri ketika melihat kaum fakir ditindas dan gugur dalam kelaparan, bukan peperangan menegakkan agama yang suci ini. Dan, hamba pikir engkau pun telah mengetahui, bahwa telah terjadi pencurian di rumah yang suci ini, karena kelalaian hamba. Untuk itu, dalam pengakuan ini, hamba berharap engkau memaafkan semua kebohongan dan kelalaian hamba.”
Benar. Telah terjadi pencurian di rumah Tuhan itu dalam sebulan ini. Malik bin Mukhsin mengaku, pencurian pertama terjadi ketika salat subuh. Kotak amal yang berisi uang dari hamba Tuhan lenyap sebelum salat subuh selesai dan tidak seorang pun dari jemaah di rumah Tuhan itu mengetahui siapa pelakunya. Pencurian kedua terjadi ketika salat subuh minggu berikutnya. Kali ini, tongkat khotib dan selembar permadani. Malik bin Mukhsin pun meminta kepada para jemaah untuk kerelaan mereka turut memperketaat penjagaan, karena apa pun bentuknya, pencurian adalah tindak kejahatan yang tidak bisa diterima begitu saja. Seorang jemaah, lelaki lima tahun lebih muda dari Malik bin Mukhsin berpendapat, bahwa untuk memperketat keamanan, diperlukan beberapa orang petugas keadilan yang digaji. Untuk membayar gaji mereka, diperlukan kesepakatan bersama untuk melakukan iuran seikhlasnya. Begitulah, tidak ada perdebatan setelahnya, semua orang sepakat untuk iuran. Akan tetapi, pada minggu berikutnya, jam dinding berlapis emas tipis yang dipenuhi bentik-bintik hitam hasil kerja lalat telah dicuri, sekali pun petugas keadilan dan kamera pengawas telah dipasang. Sontak, Malik bin Mukhsin dan jemaah rumah Tuhan beserta dua orang petugas keadilan berkumpul dan perdebatan tidak terelakan.
“Sebelumnya,” kata Malik bin Mukhsin, “kita sudah bersepakat memperketat penjagaan dengan melakukan iuran untuk membayar dua orang petugas dan membeli empat buah kamera pengawas, tetapi kenapa jam dinding tua yang menjadi saksi peradaban di rumah Tuhan ini tetap saja bisa dicuri?! Muslimin sekalian, apakah ini suatu kejanggalan? Bukankah muslimin sekalian merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan? Oh! Bagaimana kita akan mengatakan ini kepada Tuhan? Sungguh, memalukan.”
“Malik bin Mukhsin yang kami hormati,” kata salah seorag jemaah, “bukankah engkau yang saban hari di sini? Dan, bukankah engkau telah kami percaya untuk merawat seisi rumah Tuhan ini? Kami orang-orang yang sibuk dengan persoalan dunia; persoalan cita-cita, perut, dan seterusnya. Jadi kami tidak memiliki waktu banyak untuk berada di sini. Atau jangan-jangan…”
“Demi Tuhan! Abdulah bin Karim, engkau mengenalku tidak sehari dua hari. Tidaklah orang sepertiku memiliki niat untuk berlaku kejahatan di rumah Tuhan ini. Jika pun iya, mengapa aku di sini begitu lama?!”
“Kami yang memberikan kepadamu kepercayaan untuk berada di sini. Dan bukankah kami membayarmu setiap bulan? Niatmu, hanya Tuhan, engkau, dan Azazil yang tahu!”
“Demi Tuhan!”
“Mendiang Kakekku lah yang membeli jam dinding berlapis emas itu sebagai bukti kealimannya kepada Allah dan untuk memperindah rumah suci ini. Aku masih ingat pesannya, jika jam dinding berlapis emas itu hilang, maka lenyaplah peradaban sebelum ini. Wahai, Malik bin Mukhsin, apa yang akan engkau katakan kepada mendiang Kakekku?!”
“Demi Tuhan! Bukanlah aku pelakunya. Dan untuk apa juga aku mencuri jam dinding yang kukenal sejarahnya itu, Abdulah bin Karim?!”
“Sudah kukatakan hanya Tuhan, engkau, dan Azazil yang tahu!”
“Demi Tuhan!”
Ketika Malik bin Mukhsin tersudutkan, salah seorang petugas keadilan memberitahu sembari menunjukan hasil rekaman kamera pengawas kepada semua orang yang ada di rumah Tuhan itu. Hasil rekaman itu menunjukan bahwa pelakunya adalah seorang anak lelaki; kurus, berpakaian serba putih yang lusuh, dan wajahnya tidak begitu jelas, tetapi bisa disketsakan. Melihat itu, Abdulah bin Karim meminta maaf kepada Malik bin Mukhsin atas sikapnya yang tidak bermoril itu. Akan tetapi, tidak seorang pun mengenali siapa anak itu. Singkat cerita, mereka pun berembug dan bersepakat akan berjaga. Dan selama pengintaian ini, Malik bin Mukhsin mengurungkan niatnya untuk meninggalkan rumah Tuhan itu sementara waktu. Bersama para jemaah lain, dia berjaga dan tidak sabar menangkap pencuri jam dinding berlapis emas tipis itu.
Pada suatu subuh, sebelum embun turun dan menyelimuti cahaya bulan temaram-keperakan, terdengar seorang perempuan berumur 50 tahun lebih sebulan mengerang kesakitan di atas dipan alakadarnya – hadiah pernikahan mereka. Kanker payudara yang menyerangnya semakin ganas dan sakitnya semakin tidak terbendung. Erangan itu seakan-akan memberikan tanda kepada seorang anak lelaki bertubuh kurus dan jelek bangun dari tidurnya, kemudian mempersiapkan diri untuk memperlakukan pekerjaannya. Anak lelaki ini sadar, Bank tidak akan lagi memberikan pinjaman setelah mereka tidak mampu melunasi hutang-piutang mereka, walaupun sertifikat rumah telah dijadikan sebagai jaminan. Dan, tidak seorang pun yang merelakan rezeki mereka untuk membantu anak lelaki itu dan ibunya. Jalan terbaik adalah membuat mereka sadar bahwa manusia harus memikirkan manusia lainnya. Begitulah, dengan optimis, anak lelaki itu berjalan mengendap-endap sembari sesekali menoleh ke belakang, memastikan tidak seorang pun di sana. Di jalan yang lengan, dua ratus kaki kemudian, anak lelaki itu berhenti di sebuah tiang di pintu masuk rumah Tuhan itu, memastikan bahwa tidak seorang pun berada di sana.
Sesungguhnya, tidaklah anak lelaki ini menginginkan pekerjaan itu tanpa sepengetahuan ibunya. Namun, dia hanyalah seorang anak lelaki yang genap berumur 15 tahun. Liban bin Harun, namanya. Harun, ayahnya, adalah seorang penjudi dan pemukul. Saban hari, sebelum pergi berjudi, dia menyetubuhi istrinya berkali-kali hingga puas. Kerap, tanpa sengaja, Liban menyaksikan itu. Istrinya, Mariam binti Arsyad, telah kehabisan tenaga menahan sakit kanker payudaranya. Dia pasrah dalam rasa sakit yang teramat dan harus melayani suaminya. Sempat sekali waktu, Liban memukul punggung ayahnya dengan sebilah potongan bambu besar. Akan tetapi, apalah tenaga seorang anak lelaki yang kurus dan jelek untuk seorang Harun. Dengan bengis, Harun memukuli Liban hingga babak belur. Para tetangga hanya mendengarkan suara tangis Liban yang nyaring tanpa memiliki keberanian untuk menyelamatkan Liban dan ibunya. Pun mereka telah kehilangan waktu mengurusi kehidupan orang lain.
Namun, dua bulan lalu, Harun mendapat balasan atas semua kebengisannya. Beberapa rekan seperjudian mengeroyoknya lantaran mencoba mencuri uang ratusan ribu rupiah di atas meja judi. Kemudian para rekannya itu membuang mayat Harun ke sungai begitu saja. Begitu saja. Tanpa ampun. Ketika mendengar kabar kematian ayahnya, Liban tidak merasakan apa-apa. Dia telah kehilangan cinta kepada Harun. Setelah menceritakan semua itu kepada ibunya, ibunya pun bersikap sama. Mulai saat itu, Liban lah yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan ibunya, sepenuhnya. Itulah yang membuat dia pada suatu waktu diusir dan dipukuli seorang pemilik toko yang menerimanya bekerja di tokonya, seorang peranakan, ketika memergoki Liban menyembunyikan obat-obatan, beras, gula, dan sekaleng susu. Sekali pun Liban telah mengakui alasan dan kesalahannya, pemilik toko itu tidak peduli. Dia mengusir Liban tanpa memberi uang sepeserpun! Dan hari itu juga, Liban duduk tertunduk di rumah Tuhan dan membuat pengakuan.
“Bantulah hamba ya Allah. Kanker payudara yang menyerang Ibuku, membuatku tidak kuasa melihatnya dan mendengar erangan kesakitannya saban hari. Sementara, aku tidak memiliki uang untuk membeli obat pereda sakit itu. Bantulah hamba ya Allah,” demikian pengakuan Liban.
Tidak berapa lama setelah membuat pengakuan itu, seorang lelaki tua berpakaian compang-camping, sepertinya gila, menepuk pundak Liban. Sontak, Liban terkejut dan menjauh dari lelaki tua itu. Lelaki tua itu semringah. Kemudian berkata, “Engkau lihat kemewahan yang ada di dalam rumah Tuhan ini, Nak? Manusia telah membuat Tuhan yang mereka yakini itu seperti berhala saja. Apakah dengan kemewahan, lantas membuat mereka menjadi insan al-kamil? Tidak. Tuhan tidak membutuhkan kemewahan ini, tetapi justru ketaatan dan kejujuranlah yang terpenting. Dan, ketika aku melihat anak seumurmu berani datang ke sini dan membuat pengakuan, yakinlah Tuhan akan membantumu. Sekarang engkau lihat kembali seisi rumah Tuhan ini, sesungguhnya inilah bantuan Tuhan, Nak. Ambillah!” Setelah berkata demikian kepada Liban, lelaki tua itu dengan santainya meninggalkan rumah Tuhan. Dan, tinggalah Liban seorang diri sembari memikirkan apa yang diucapkan lelaki tua itu kepadanya.
Setelahnya, Liban melihat seisi rumah Tuhan itu. Benar saja, kemewahanlah yang tampak. Terutama jam dinding berlapis emas itu! Sungguh! Itu mahal sekali, pikir Liban. Di sinilah, pekerjaan yang telah diizinkan Tuhan itu, Liban mulai.
Perlahan-lahan dan hati-hati, Liban bin Harun melangkah masuk ke dalam rumah Tuhan yang sepi. Kali ini, matanya yang tajam dan jeli melihat sebuah tape yang cukup besar dan berat. Akan tetapi, sebelum mengangkat tape itu, dia memandang ke kaligrafi bertuliskan Allah dan Muhammad itu agak lama. Lima menit kemudian, Liban mengangkat tape itu dan berjalan perlahan-lahan dan hati-hati keluar dari rumah Tuhan. Siallah, sial! Belum lagi sepuluh kaki meninggalkan rumah Tuhan itu, Malik bin Mukhsin dan para jemaah serta dua orang petugas keadilan tiba-tiba muncul dan menghadang Liban. Tidak ada celah untuk lari. Siallah, sial! Kali ini Liban harus menyerahkan diri. Perlahan-lahan dan hati-hati dia meletakan tape itu ke paving yang tersusun rapi. Salah seorang jemaah yang mulai naik darah, melangkah cepat ke arah Liban dan tanpa bicara, menempelengnya. Sekuat tenaga, Liban menahan kaca-kaca di matanya untuk tidak pecah.
“Kurang ajar! Berani-beraninya engkau mencuri di rumah Tuhan, anak kecil?!”
“Berani-beraninya!” Kata seseorang yang lain.
“Tangkap dan penjara dia! Beri dia pelajaran!”
Liban ketakutan bukan main, tetapi tidak ada celah untuk melarikan diri. Menyaksikan itu, Malik bin Mukhsin menghampiri Liban dan memintanya mengaku bahwa dialah pencuri yang selama ini mencuri di rumah Tuhan itu. Dan, Malik bin Mukhsin berjanji dia tidak akan ditangkap dan dipenjara.
“Tidak bisa!” Tariak jemaah yang menempeleng Liban tadi. “Bajingan kecil ini telah menghina dan melecehkan Tuhan. Dia mencuri barang-barang yang kita persembahkan untuk kemewahan rumah Tuhan ini. Biadab! Ceh! Ingin rasanya kuhabisi engkau. Lebih baik engkau mati di tanganku malam ini juga!”
Para petugas keadilan yang tidak memahami perkara Tuhan, memilih diam dan menunggu kesepakatan bersama. Mereka tidak ingin bayaran mereka dikurangi, dilebihkan, silakan saja.
“Tunggu!” Kata Malik bin Mukhsin, “biarkan dia memberikan pengakuannya!”
“Nah, sekarang, akuilah!” Lanjutnya.
Liban tetap ketakutan bukan main, tetapi tidak ada celah untuk melarikan diri selain kesempatan untuk mengakui perbuatannya. Baiklah, jika memang demikian, Liban pun membuat pengakuan.
“Benar, Tuan-tuan. Akulah yang mencuri barang-barang di rumah Tuhan ini. Semua itu kulakukan agar bisa membeli obat peredam sakit. Ibuku diserang kanker payudara. Dan, Harun, Ayahku, telah mati. Jadi, tinggallah aku seorang diri yang bertanggung jawab merawat Ibuku.”
Semua orang bergeming, mendengarkan.
“Beberapa waktu lalu, aku datang ke rumah Tuhan ini untuk membuat pengakuan bahwa aku tidaklah memiliki kemampuan untuk merawat Ibuku. Tidak lama kemudian, seseorang menepuk pundakku. Seorang lelaki tua berpakaian compang-camping, dan sepertinya, dia seorang gila. Dia berkata begini: “Engkau lihat kemewahan yang ada di dalam rumah Tuhan ini, Nak? Manusia telah membuat Tuhan yang mereka yakini itu seperti berhala saja. Apakah dengan kemewahan, lantas membuat mereka menjadi insan al-kamil? Tidak. Tuhan tidak membutuhkan kemewahan ini, tetapi justru ketaatan dan kejujuranlah yang terpenting. Dan, ketika aku melihat anak seumurmu berani datang ke sini dan membuat pengakuan, yakinlah Tuhan akan membantumu. Sekarang engkau lihat kembali seisi rumah Tuhan ini, sesungguhnya inilah bantuan Tuhan, Nak. Ambillah!” Dan kemudian, aku mengambil kotak amal, tongkat khotib dan selembar permadani, dan jam dinding berlapis emas – masih ada, karena tidak ada yang mau membeli – dalam waktu yang berbeda.”
Engkau sekalian, bukankah hampir semua rumah Tuhan di belahan dunia manapun selalu dihiasi dengan kemewahan berlebih sebagai wujud ketaatan umat muslim kepada Tuhan? Mereka menganggap, dengan kemewahan lantas membuat mereka menjadi insan al-kamil, tanpa mereka sadari kemewahan itu adalah upaya mereka memberhalakan Tuhan. Dan, ketika mendengar pengakuan Liban, Malik bin Mukhsin dan para jemaah lain, kecuali dua orang petugas keadilan itu, mengelus dada mereka dan menyebutkan kuasa Tuhan yang terhingga.
“Engkau tahu seorang lelaki tua yang menepuk pundakmu itu?” Malik bin Mukhsin bertanya kepada Liban.
Liban menggeleng.
“Dia adalah perwujudan Nabi Daud Alaihi Salam. Maha Kuasa Allah pemilik langit dan bumi. Maafkan kami, Nak. Sungguh. Maafkan kami!”
Surabaya, 2021
Muhammad Yasir, Penulis