Orang Tua Tewas, Bagaimana Nasib Anak-Anak ISIS?
Berita Baru, Internasional – Tiga orang anak yang diyakini berasal dari Inggris terlantar di kamp-kamp di Suriah setelah orang tua mereka yang bergabung dengan kelompok ISIS, tewas. Kasus ini menimbulkan berbagai pertanyaan bagaimana mengembalikan anak-anak tersebut agar bisa dipulangkan ke negara mereka.
Dilansir dari pewartaan BBC, Selasa (15/10) Amira, Heba, dan Hamza, baru-baru ini tampil dalam sebuah tayangan BBC dari sebuah kamp di Suriah yang ditempati para keluarga petempur ISIS.
Kamp-kamp di utara Suriah yang ditempati keluarga petempur ISIS saat ini dikendalikan oleh pasukan Kurdi. Para pemimpinnya berulang kali meminta negara-negara Eropa untuk mengambil kembali warga negara mereka.
Banyak negara enggan untuk menerima kembali para pendukung ISIS karena opini publik dan masalah hukum.
Bagaimanapun, mereka yang tertahan di kamp-kamp tersebut sejatinya berhak untuk mendapatkan berbagai bentuk bantuan konsuler dari negara mereka, sebagaimana lazimnya warga suatu negara ketika berada di luar negeri. Bantuan konsuler itu biasanya memerlukan kontak langsung dengan pejabat kedutaan besar negara mereka.
Namun, hal ini semakin sulit karena kenyataannya banyak negara yang telah menutup kedutaan-kedutaannya di Suriah. Beberapa negara juga telah menegaskan bahwa terlalu berbahaya untuk mengirim pejabat kedutaan ke zona perang.
Baru-baru ini Australia mengatakan tidak akan mengambil risiko dengan mengirimkan orang untuk menyelamatkan anak-anak yang tertahan di kamp-kamp tersebut.
“Ini adalah daerah yang sangat berbahaya. Kami tidak akan membahayakan nyawa orang Australia lainnya. Sesederhana itu,” kata Menteri Luar Negeri, Linda Reynolds.
Seiring dengan meluasnya konflik di utara Suriah, tingkat ketidakamanan di dalam maupun di sekitar kamp membuat masalah ini semakin meningkat.
Jika para pejabat diplomatik berhasil menjalin kontak dengan keluarga petempur ISIS di kamp-kamp, tahap selanjutnya adalah menetapkan status hukum orang tua dan kewarganegaraan sang anak.
Namun hal ini akan menjadi persoalan rumit jika dokumen-dokumen yang memuat identitas orang tua mereka sudah tidak ada lagi, anak tersebut dilahirkan oleh orang tua dari dua negara yang berbeda, anak yatim piatu yang tidak memiliki wali sah atau tidak tersedianya akses untuk uji DNA yang akan menentukan siapa orangtua mereka.
Di Inggris, jumlah anak-anak yang dipulangkan sangat sedikit jumlahnya, atau setidaknya tercatat telah dipulangkan.
Dalam sebuah laporan pada Juli lalu, Pusat Studi Radikalisasi Internasional King’s College menyebutkan, hanya empat anak yang kembali ke Inggris. Namun lembaga itu menunjukkan bahwa angka ini mungkin tidak secara akurat mewakili angka sebenarnya.
Pada Februari, Menteri Dalam Negeri Inggris saat itu, Sajid Javid, mengatakan kepada parlemen bahwa ia menaruh simpati kepada anak-anak tak berdosa yang terperangkap di zona perang.
Tetapi ia menambahkan: “Jika kita harus berbuat lebih banyak untuk mencoba menyelamatkan anak-anak ini, kita harus memikirkan risiko apa yang terjadi pada anak-anak masa depan di Inggris dan risiko bahwa mereka akan dibawa ke zona perang oleh orang tua mereka.”
Kasus seperti ini biasanya membutuhkan banyak koordinasi yang melibatkan pasukan Kurdi yang mengendalikan kamp-kamp, serta hal-hal lain yang mungkin diperlukan untuk memfasilitasi logistik, seperti pemerintah Irak, Palang Merah, dan lembaga internasional lainnya.
Sumber : BBC