Kapasitas dan Integritas | Catatan Ramadan: Ahmad Erani Yustika
“If you lose your wealth, you have lost nothing. If you lose your health, you have lost something. But if you lose your character, you have lost everything.” Itu salah satu ucapan Woodrow Wilson yang layak dikenang. Uang, juga kekayaan dan kemakmuran lainnya, memang perlu diperjuangkan untuk menopang kehidupan. Tetapi, jika harta itu berkurang sebetulnya tidak ada yang hilang. Waktu akan mengembalikan sebagian atau seluruhnya (bahkan bisa bertambah) karena masih bisa dicari lagi. Jika kesehatan yang kabur, maka akan lunglai sebagian hidup. Apabila yang lenyap karakter/integritas, maka akan musnah seutuhnya. Tak ada sisa!
Kesehatan yang meredup membuat tenaga, keterampilan, dan pikiran menurun sehingga kesanggupan melakukan aktivitas terbatas. Kegiatan mencari nafkah, aktivitas sosial dan politik, kontribusi pemikiran, dan yang lain kian terdesak. Itu sebabnya dianjurkan terus menjaga kesehatan agar bisa merayakan kehidupan. Sungguh pun begitu, kesehatan yang tidak optimal pun masih memungkinkan orang melakukan darma. Namun, bila yang lenyap adalah karakter, maka semesta tidak ingin menerima lagi keberadaannya. Kepercayaan menjauh sehingga kedudukan, kekayaan, dan kesehatan tak akan mampu lagi menegakkan martabat kemanusiaan.
Salah satu Presiden populer Korsel adalah Roh Moo-Hyun. Pada 2009 ia melompat ke jurang karena masalah hukum yang menjeratnya. Beberapa (bekas) pemimpin negara mengakhiri kekuasaannya dengan sangat tragis, sebagian karena kasus korupsi, termasuk Ferdinand Marcos (Filipina) dan Pedro Pablo Kuczynski (Peru) yang dipenjara karena pencucian uang. Di sektor swasta juga tak kurang figur hebat di pucuk korporasi yang mengakhiri hidup dengan muram: masuk penjara atau bunuh diri. Megakorporasi Korsel, Samsung, juga terlilit skandal korupsi yang menyebabkan pemimpinnya, Jay Y. Lee, dijebloskan ke penjara.
Mereka sebelumnya adalah kaum terhormat yang berpeluh sekian puluh tahun agar sukses dan mendirikan karakter dengan susah payah. Tetapi, seseorang hanya perlu beberapa menit melakukan perbuatan nista untuk meruntuhkan integritasnya. Setelah itu segalanya menguap. Al-Qur’an menitipkan soal integritas ini pada banyak ayat, salah satunya Surah An-Nisaa’ (29): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” Rasulullah SAW juga berwasiat (HR. Bukhari dan Muslim): “Pemimpin yang tidak amanah dan menipu rakyat akan diharamkan surga baginya oleh Allah SWT.” Puasa ialah kawah pendadaran integritas yang sesungguhnya.
Jadi, ramadan mengajarkan banyak hal, tapi sekurangnya dua perkara inti yang diuji. Pertama, puasa adalah ibadah antara hamba dan Tuhan. Ini wujud penyerahan diri, tidak ada seorang pun yang bisa mengetahui pasti. Seseorang dengan gampang sekali menyeruput minuman di luar penglihatan khalayak. Integritas lulus bila hamba tetap berlalu lurus meski tak diawasi. Kedua, saat ramadan umat juga diminta tetap bekerja seperti semula, bahkan diminta lebih produktif. Ibadah ditinggikan tanpa mengurangi tekanan pekerjaan. Kapasitas diuji sampai sekukuh jeruji. Inilah kawah candradimuka menjadi manusia terpuji.