Wahid Foundation Gagas 3 Pilar Praktek Toleransi di Sekolah
Berita Baru, Jateng – Wahid Foundation menggelar Jateng Edufest 2021, acara tersebut digelar dengan konsep virtual event , virtual tour, dan exhibition pada Rabu (21/4).
Acara yang berjargon Urip Rukun Jateng Gayeng itu dihadiri langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, dan Kuasa Usaha Keduutaan Besar Australia Allaster Cox.
Pilar Sekolah Damai Wahid Foundation
Pada sesi Talkshow Penguatan Budaya Toleransi Dalam Lingkungan Pendidikan Jateng Edufest 2021 Direktur Eksekutif Wahid Foundation Mujtaba Hamdi memaparkan tiga pilar penting yang digagas Wahid Foundation dalam menerapkan budaya toleransi di Sekolah Damai.
“Strategi pendidikan setidaknya ada dua , yaitu proses belajarnya dan lingkungannya, kami di Wahid Foundation tidak hanya membicarakan sekedar kurikulum, tapi kami menawarkan tiga pilar. Pilar pertama adalah praktek dan budaya toleransi dan perdamaian,” ujar Mujataba.
Pilar pertama tersebut menurutnya, Wahid Foundation memberikan semangat kepada siswa dalam bersikap kepada temannya terus mengedepankan nilai toleransi dan perdamaian.
“Kita coba incorrect bagaimana antara siswa yang berbeda agama dapat mix dalam pergaulannya sehari-hari,” kata Mujtaba.
Pilar kedua, lanjut Mujtaba adalah yang berkaitan dengan organisasi siswa. Wahid Foundation mendorong organisasi kesiswaan bukan hanya digunakan untuk membangun leadership, namun juga dikelolanya dengan nilai-niali perdamaiain dan toleransi.
“Kalau kita latih, kita tanamkan sejak dini, sepuluh tahun kedepan ketika menjadi pemimpin itu akan terus terbawa proses itu,” terang Mujtaba.
Pilar ketiga adalah kebijakan sekolah, Mujtaba menjelaskan seluruh proses aktivitas peserta didik di sekolah perlu didukung oleh kebijakan di lingkungan sekolah.
“Kalau Kepala sekolahnya mendukung sepenuh jiwa, kemudian guru gurunya turut mendukung,maka proses penanaman nilai toleransi dan perdamaian akan terus berkelanjutan,” jelasnya.
Profil Merdeka Belajar
Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah Kemendikbud Jumeri menjelaskan Kemendikbud sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan di Indonesia terus melakukan meningkatkan budaya toleransi di sekolah.
“Upaya yang dilakukan kemendikbud dalam meningkatkan toleransi di sekolah salah satunya dengan menggerakan profil merdeka belajar, dan penguatan kompetensi guru, dan penguatan pendidikan karakter,” kata Jumeri.
“Visi pendidikan Indonesia yaitu mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanua Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, gotong royong, dan berkebhinekaan global,” imbuhnya.
Jumeri menjelaskan, Kemendikbud juga telah melakukan Assesmen Nasional sebagai pengganti Ujian Nasional yang dilakukan pada seluruh sekolah,dan madrasah dari jenjang dasar hingga menengah serta dengan terus memitigasi intoleransi dan radikalisme di sekolah.
Dampak Konflik Agama Bagi Anak
Staf Khusus Presiden Ayu Kartika menyampaikan pengalamannya selama menjadi guru SD di Maluku Utara. Selama mengajar disana ia mengaku beradad di sebuah daerah yang dulunya pernah terjadi dampak dari konflik Ambon.
Ayu mengaku, dampak dari konflik agama tersebut tetap ada meskipun kerusuhannya sudah selesai, seperti bangunan yang dibakar, ataupun desa-desa yang disekat oleh agama, serta masyarakat yang hidupnya berkelompok sesama agama.
“Dan akibatnya murid-murid saya jadi tidak pernah ketemu dengan desa sebelah yang beragama kristen. Padahal dulunya sebelum kerusuhan terjadi mereka terintegrasi antar kedua desa itu,” kata Ayu.
“Yang benar-benar membuat saya kaget adalah suatu hari ada isu kerusuhan di Ambon dan murid saya bilang Ibu Ayu kita harus hati-hati sama orang Kristen, karena orang Kristen bisa bakar kita pu rumah,” imbuh Ayu.
Mendengar pernyataan itu, Ayu mengaku sedih sekali karena anak SD yang tidak pernah ketemu orang Kritsten seumur hidupnya bisa punya kebencian pada orang kristen.
“Saya yakin teman-temannya punya keyakinan yang sama, begitu juga anak-anak di desa sebelah juga bisa saja mempunyai pikiran serupa,” tutur Ayu.
Ayu menegaskan bahwa toleransi tidak hanya diajarkan dan sekedar teori di sekolah tapi harus dialami dan dirasakan sendiri oleh anak-anak.
“Makanya penting mengintegrasikan pelajaran toleransi di seluruh aspek di sekolah,” jelasnya.
Kurikulum Toleransi di Sekolah
Plt Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah Padmaningrum menjelaskan terkait standar kurikulum dalam mengembangkan budaya toleransi.
Ia menjelaskan di jawa tengah menerapkan kurikulum esensial, dimana sekolah mengembangkan potensi yang ada di sekolah itu, baik dari peserta didiknya ataupun dari tenaga pendidiknya.
“Nilai toleransi seharunya masuk di seluruh mata pelajaran melalui kurikulum, karena hal itu menjadi sangat penting bagi guru dalam tindak lanjutnya memberikan pemahaman kepada muridnya,” kata Padmaningrum.
Budaya toleransi di sekolah, lanjut Padmaningrum harus dibangun dari budaya-budaya yang ada di masyarakat dan menjadi guru harus mempunyai pendekatan psikologis yang baik bagi anak didiknya.
“Guru harus peduli bagaimana konsep dalam pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Alhamdulillah Jawa Tengah tahun 2018 kita menjuarai sekolah ramah anak nasional. Maka dari itu sekolah damai ini sangat penting dalam mewujudkan gerakan sekolah menyenangkan daniIni butuh partisipasi dari kepala sekolah, karena kepala sekolah menjadi penentu keberhasilan pendidikan di satuan sekolah,” tuturnya.
Padmaningrum juga mendorong sekolah dapat berinovasi di era pandemi yang mengharuskan pembelajara digelar secara daring.
“Di kondisi PJJ ini bagaimana mewujudkan anak-anak yang tetap mampu berdaya saing dan tetap belajar terus,” terangnya.