Akselerasi Perlindungan Ekologi, Pemerintah Harus Siapkan Insentif Fiskal
Berita Baru, Jakarta – Data yang dirilis Bappenas menunjukkan Indonesia diperkirakan akan mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup yang semakin dalam pada beberapa dekade yang akan datang.
Salah satu indikasinya antara lain tutupan hutan primer yang semakin menyusut dan diproyeksikan hanya akan tersisa sekitar 18,4% dari luas lahan total nasional (189,6 juta ha) di tahun 2045.
Penyusutan tutupan hutan tersebut diperkirakan akan memicu terjadinya kelangkaan air baku khususnya pada pulau-pulau yang memiliki tutupan hutan sangat rendah seperti Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Jika kecenderungan itu tidak berubah, diperkirakan luas wilayah kritis air meningkat dari 6 persen di tahun 2000 menjadi 9.6 persen di tahun 2045. Selain itu kerusakan tutupan hutan berperan besar dalam meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah memberikan insentif bagi daerah berkinerja baik terutama dalam peningkatkan perlindungan kelestarian alam (ekologi). Pemberian insentif tersebut bisa menggunakan konsep Dana Perlindungan Lingkungan (DPL).
“Pemerintah pusat hendaknya proaktif mendorong lahirnya kebijakan ecological fiscal transfer (EFT) ini karena sudah banyak kepala daerah yang memiliki komitmen untuk menerapkannya,” kata Direktur eksekutif Indonesian Budget Center (IBC), Roy Salam dalam keterangan tertulisnya, Rabu (31/3).
Transfer anggaran berbasis ekologi, menurutnya dirasa mampu menjadi jalan keluar bagi pemerintah daerah (Pemda) untuk mendapatkan biaya dan manfaat yang sepadan, salah satunya melalui transfer fiskal berbasis ekologis. Terdapat beberapa instrumen transfer fiskal untuk memberikan insentif daerah yang kaya hutan dengan mempertimbangkan luas hutan sebagai salah satu indikator. Skema ini juga akan mendukung sejumlah target nasional seperti penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030.
“Koalisi Masyarakat Sipil telah mengembangkan skema EFT sejak tahun 2008, dimana skema tersebut telah dikembangkan di beberapa negara. Kami melihat skema ini cukup relevan dengan kondisi di Indonesia,” Jelas Roy.
“Di Indonesia sendiri baik nasional maupun di daerah memiliki skema anggaran yang mana itu rumusannya pada skema transfer seperti transfer pusat ke keuangan daerah. Dari sisi policy sangat terbuka untuk mengembangkan skema penganggaran kinerja. Namun implementasi pada penganggaran kita belum secara masif diterapkan, apalagi bila dikaitkan pada kinerja ekologi, selama ini lebih fokus pada pembangunan sumber daya manusia,” imbuhnya.
Wacana mengenai EFT semakin menjadi konsern pada 2 tahun belakangan di dalam negeri. Research Center for Climate Change University of Indonesia/RCCCUI menginisiasi penambahan variabel luas kawasan hutan dalam formula pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah. The Biodiversity Finance Initiative (BIOFIN) yang digagas oleh UNDP mendorong ada skema Dana Insentif Daerah (DID) untuk keanekaragaman hayati. Kemudian The Asia Foundation (TAF) bersama koalisi masyarakat sipil mempromosikan EFT melalui tiga skema, yakni tiga skema yaitu Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), dan Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE).
Menyambut wacana yang dikembangkan oleh Menteri Keuangan mengenai Dana Perlindungan Lingkungan (DPL), The Asian Foundation bersama dengan KLHK dan jaringan masyarakat sipil mendiskusikan pengembangan konsep Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE). Dalam jangka pendek, konsep ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penambahan kriteria DID tahun 2021 dan dalam jangka panjang dapat menjadi masukan bagi Pemerintah dalam proses pengembangan konsep DPL yang akan dituangkan dalam RUU tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).
Dalam konsep di atas, TANE diartikan sebagai transfer keuangan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah sebagai insentif atas komitmen dan kinerjanya dalam melindungi hutan dan lingkungan hidup.
“Penting sekali pemerintah pusat mencoba mendorong skema insentif yang berbasis kinerja, jadi pengalokasian itu betul-betul ditekankan pada aspek kinerja sehingga target nasional secara simultan akan tercapai,” Roy menekankan.
Secara umum ada dua kategori indikator yang digunakan dalam formulasi TANE yaitu indikator proses (proporsi anggaran untuk fungsi lingkungan hidup, inovasi dan kebijakan daerah yang pro-lingkungan hidup dan kehutanan) dan indikator outcome (luasan tutupan hutan, perubahan luasan tutupan hutan, indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH)).
“Skema TANE menawarkan alternatif mengembangkan pengukuran ekologi dalam kinerja pengalokasian anggaran di tingkat nasional dan daerah, kita berharap skema ini diadopsi pada UU APBN dan juga revisi UU HKPD,” pungkas Roy.