Militer Myanmar Bersumpah akan Menjaga Demokrasi
Berita Baru, Internasional – Sebagai peringatan kepada pengunjuk rasa agar tidak lagi turun ke jalan, rezim pemimpin militer Myanmar bersumpah akan “menjaga demokrasi.”
Memperingati Hari Angkatan Bersenjata, Min Aung Hlaing kembali menjanjikan pemilihan, tetapi tidak memberikan keterangan kapan hal itu akan terjadi.
Dalam sebuah siaran oleh TV pemerintah pada Jumat (26/3), pimpinan Junta memperingatkan bahwa pengunjuk rasa akan berisiko ditembak di “kepala dan punggung”.
Sejak kudeta pada 1 Februari, lebih dari 320 orang telah ditembak mati di bahwah rezim militer Myanmar.
“Tentara berusaha untuk bergandengan tangan dengan seluruh bangsa untuk menjaga demokrasi,” kata Min Aung Hlaing dalam siaran langsung pada Sabtu (27/3).
“Tindakan kekerasan yang mempengaruhi stabilitas dan keamanan untuk membuat tuntutan tidak pantas.”
Min Aung Hlaing, seperti dilansir dari BBC, menambahkan bahwa tentara harus merebut kekuasaan karena tindakan melanggar hukum oleh pemimpin yang terpilih, Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi.
Sebagai tanggapan, beberapa negara barat seperti AS, Inggris, dan UE telah menjatuhkan sanksi kepada rezim militer Myanmar.
Myanmar, juga dikenal sebagai Burma, merdeka dari Inggris pada tahun 1948. Sebagian besar sejarah modernnya, Myanmar berada di bawah kekuasaan militer.
Pembatasan mulai melonggarkan sejak 2010 dan seterusnya, yang mengarah pada pemilihan bebas pada 2015 dan pelantikan pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin oposisi veteran Aung San Suu Kyi pada tahun berikutnya.
Pada 2017, tentara Myanmar menanggapi serangan terhadap polisi oleh militan Rohingya dengan tindakan keras mematikan, mendorong lebih dari setengah juta Muslim Rohingya melintasi perbatasan ke Bangladesh dalam apa yang kemudian disebut PBB sebagai “contoh buku teks pembersihan etnis”