Puisi-Puisi Dadang Ari Murtono: Pulang ke Pacet
musim maling menjelang musim haji
maling yang kabur dengan kaki pincang itu menghilang
di balik trembesi tua di mana tumpukan unggun jerami
baru saja padam, lantas tak ada yang melihatnya
lagi
“aku yang melukai kaki kanannya dengan sabetan parang,”
kata jagabaya bangga
dan malam-malam setelah itu tetap terasa panjang,
orang-orang mengeluhkan rembulan yang berjalan lambat
dan maling-maling lain yang lebih gesit masih saja berkelayapan
dan berkelabatan
kadang orang-orang memergokinya
kadang ada yang mesti merelakan kambingnya hilang percuma
berhari-hari kemudian, pada malam takbir lebaran haji
seorang maling tersudut di tepi kali baya
orang-orang mengepungnya dengan arit dan parang
dan geram dan dendam
orang-orang tahu, tak ada celah kabur sebab di tepi kali
jagabaya yang perkasa berjaga dengan parang sisa perang
kemerdekaan tinggalan kakeknya
namun ketika lingkaran pengepung itu merapat
yang mereka temukan hanyalah seekor kambing jantan
yang mengembik pelan, kambing jantan jawa besar siap
kurban dengan tanduk hitam sekilan
“kemana ia menghilang?” tanya jagabaya
“apa ia lesap ke dalam tanah?”
“apa ia lenyap ke inti gelap?”
“apa ia sekadar bayangan?”
tak ada yang tahu
dan mereka membawa kambing itu, lalu kebingungan
karena tak ada kandang kehilangan penghuni
tak ada peternak merasa berhak atas hewan
dengan bekas luka di kaki kanan belakangnya
malam itu juga, jagabaya membawa si kambing ke masjid
dan menyerahkannya pada takmir sebagai hewan kurban
esok hari
“harganya pada hari biasa mungkin dua juta, tapi
pada idul adha begini pasti tak kurang dari tiga setengah,”
ujar jagabaya
ketika gelap tenggelam pada pangkal fajar, orang-orang
bersyukur karena tahu musim maling telah berakhir
dan pada pukul delapan kurang sepuluh, mereka memotong
kambing tak bertuan itu bersama sembilan kambing
dan dua sapi, mencampur dan membagikan daging hewan-hewan
ahli surga itu dan memasak kepalanya dalam
panci besar berikut bergenggam-genggam rempah
ketua takmir yang membuka tutup panci itu satu jam
kemudian dan mendapati seonggok kepala lelaki paruh baya
dengan lidah terjulur, dengan sepasang mata melotot
sepotong kepala yang membuat ketua takmir jatuh pingsan,
para perempuan terkuras isi perutnya, dan seluruh penduduk
kampung mengenyahkan daging yang mereka dapat pada
pembagian musim haji tahun itu
setelah penguburan nenek temah
nenek temah mangkat selasa legi menjelang
magrib dan dimakamkan bada isya di samping
kubur suaminya, putra angkatnya yang pertama
mengetahui hal itu ketika hendak menyuapi bubur
beras, “ia mati tanpa ada yang mendampingi, menilap
aku dan istriku, juga cucu-cucunya,” kata lelaki itu
“ia perawan suci,” kata seseorang
“tapi ia bersuami,” kata seorang yang lain
“almarhum suaminya tak pernah menyentuhnya,
tak pernah sanggup menyentuh perempuan mana pun,
itulah sebabnya nenek temah mengambil putra
sepupu jauhnya”
sebagian warga percaya desas-desus itu, sebagian
tidak, tapi siapa pun tahu, mereka mesti menjaga
makam siapa pun yang mangkat selasa legi, sebab
para pemburu ilmu tua bakal datang sebelum malam
ketujuh, datang merangkak seperti seekor anjing,
mengeduk makam basah itu dengan cakar, dan menyobek
sepotong kafannya dengan gigitan kasar
maka para lelaki bergantian berjaga, terjaga semalaman
bersama kopi dan perdebatan: benarkah nenek temah
masih perawan
dan pada malam ketiga, di sebuah rumah gedeg pojok
kampung yang ditinggal lelakinya berjaga, seorang istri
yang sehari-hari terkesan setia berbuat serong dengan
tetangganya yang suka menjulur-julurkan lidah
seperti anjing
pulang ke pacet
“minggir, minggir, seorang turis dari kota jauh
mau lewat,” seseorang berteriak, sedikit serak,
sedikit kasar
dingin mengeras dan menegang
jalan membuka dan memanjang
kafe dan pujasera menjulurkan tangan,
pemandian dan arena wisata foto mengenalkan
nama, vila dan hotel tersenyum menyapa ramah
tapi turis yang baru tiba itu hanya ingin
berbicara pada sawah dan padi
dalam kepalanya, kambing dan sapi
dalam kenangannya
ia bukan turis, sesungguhnya
malam membeku
tapi bulan kuning leleh seperti mentega
ia orang lokal, lama terjerat kota
lantas kembali
untuk menjadi orang asing
dan seorang pemandu dengan suara serak,
berteriak sedikit kasar
demi ia
“minggir, minggir, seorang turis dari kota jauh
mau lewat!”
pada malam selasa legi
apa yang terjadi pada malam selasa legi 40 tahun lalu?
lalu pak tua dengan bola mata putih belaka itu, berkata: udara terasa berat
dan orang-orang yang mengira dirinya bisa melihat akan tertidur, tapi aku
selalu bangun, selalu bangun, menyaksikan apa yang tersembunyi dalam
selubung kabut, di mana mat laman keluar dari rumahnya, telanjang seperti
kera, dan ia membawa sebatang sapu yang setiap pagi ia gunakan membersihkan
halaman rumah
tapi ia tidak akan menyapu halaman
ia akan pergi ke perempatan kampung
menyapu, menyanyi, dan menari,
hingga ujung malam datang
ketika ia pulang dengan tubuh lungkrah
dan istrinya sibuk menadah uang yang berjatuhan dari langit-langit kamar
lalu empat belas menit kemudian, selalu empat belas menit kemudian,
orang pertama akan bangun, terkejut dengan tidur lelap tanpa mimpi,
dan membuka lemari, di mana ia mendapatkan tuhan kecil yang ia simpan di
bawah tumpukan baju hanyalah apa yang tiada
dan apa yang terjadi pada mat laman kini?
mungkin ia sedang menyapu di dasar kedung baya, sebab
jagabaya yang waskita suatu ketika memergokinya dan membuatnya
tak pernah lagi muncul di permukaan
tapi kini, pak tua, kadang-kadang saya mendengar suara sapu
tengah malam pada malam selasa legi?
tami pulang kampung
untuk kepulangannya itu, tami mengenakan kemeja besar
yang hampir menenggelamkan tubuhnya, ia mandi lama sekali,
ia bercermin lama sekali, dan ia merasa seluruh orang di kampungnya
bakal pangling kepadanya
di atas kereta yang panas dan kursi keras yang mesti ia perebutkan dengan
gontok sengit, ia teringat perjalanannya pada awal mei, dengan kereta yang
sama, namun arah yang berlawanan
cak lan mengatakan ia akan segera jadi orang, bisa beli tivi dan baju seperti
artis telenovela
emaknya membongkar tabungan sebagai ongkos berangkat, dan bapaknya
mengusap sudut mata diam-diam, sedang ia menebar senyum seperti orang
yang hendak pergi ke surga
tapi jakarta bukan surga
di sana orang-orang berteriak turunkan presiden setiap hari
di sana orang-orang bisa membakar apa pun yang mereka temukan
di sana, para lelaki boleh memperkosa para gadis yang mereka jumpai di mal
atau jalanan
di sana cak lan mengajaknya bergabung bersama gerombolan yang mengambil
tivi dan kulkas dari toko-toko yang entah milik siapa
namun di luar toko, gerombolan itu bergantian memasuki dirinya
cak lan memberinya sehelai kemeja yang ia impikan, dan sejumlah uang
untuk membeli tiket kereta agar tami berhenti menangis
untuk kepulangannya itu, tami merasakan perutnya sakit
ia bahkan belum dua minggu meninggalkan rumah
Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku terbarunya, Cara Kerja Ingatan, merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Yogyakarta dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.