Postpartum | Puisi-Puisi Lailatul Kiptiyah
Berita Duka
tanah rapat memeluk akar
akar teguh menopang batang
batang menjulur tinggi meretas
garis pandang
di bawah langit terang, kita yang
kecil melangkah
jatuh melewati pundak, daun-daun
kering menuju ke tempat rebah
sedang di tanah lapang,
tangan-tangan kembang terulur
merangkum
yang berpulang
Ampenan, Februari 2021
Caladium
yang tergambar dari berlembar-lembar caladium
adalah bercak merah dan putih
serupa paras doa: sabar dan bersih
selepas mati suri, umbi kembali membiak diri
bertunas menegarkan batang
daun-daun belajar melebar, bermusim menopang
peluh-peluh embun
yang tiba dini hari
sebelum akhirnya menitis ke sepasang
matamu yang rabun
hening, dingin dan perih
seperti ciuman kekasih
yang tak tertolak, datang dan pergi
berkali-kali
Ampenan, 2020-2021
Memisahkan Anak Aglonema
seperti kanak yang menatap
keluar jendela
kukenalkan ia pada tanah lain
sebuah dunia paling ramah menyapanya
kutabur ke atas kakinya
humus yang kaya:
cangkang telur, kulit bawang, ampas teh
daun-daun kering dan sisa sayuran terakhir
agar tiga lembar daun tubuhnya yang bercorak
tergerak menanjak
dalam pot tanah liat di bawah jendela kayu
yang dengan kerentaan tanganku
ia coba bangunkan sebuah lanskap baru
Ampenan, 2020-2021
Memandang Awan dari Teras Depan
awan berarak serupa waktu
detik membawa sedih bergerak
meninggalkanmu
di selanya kau cari seekor burung
yang terbang
menjatuhkan lagu lewat paruhnya
lagu dari seberang
rumah ibu di tepian ladang
Ampenan, Ramadhan 1441 H
Tangan Subuh
yang memelukku dengan berat
setelah ibu
adalah tangan subuh
subuh yang tak pernah terlambat
mendatangiku dari dusun jauh
Ampenan, Ramadhan 1441 H
Tali Jemuran
yang berkibaran dari
tali jemuran adalah
hidup; sedih yang mengerti
seperti debu-debu
terus dibersihkan
dari tiap lembar
yang kau kenakan
Ampenan, 2020
Postpartum
sebuah jendela membuka
cahaya memasuki jalannya
berhenti di sudut tergelap
duka sunyi paling lengkap
di langit awan merentang
barisan benih-benih hujan
di tubuhmu bilur memanjang
rahim yang melepas kepergian
ia, sepasang mata yang baru
sekejap kau cecap
beningya
namun kau, ibu
di kedalaman sakit itu
kau ciptakan taman surga
tempat ia tumbuh, bermain
menunggumu
tiba di musim- haribaan itu
Pagesangan, 2017 – 2020
Di September
di september angin melayangkan
daun-daun kering
memberi selimut pada bekas kolam
di halaman samping
rembang bertamu ke beranda rumah limas
ke sehampar bale bambu lawas
terharu pada suguhan karib
hangat wedang jahe dalam bening gelas
terseduh tangan lentur milik ibu
yang tak mampu kususut
kerut letihnya itu
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur. Buku puisi pertamanya “Perginya Seekor Burung” (April, 2020) masuk dalam 5 buku terpilih Anugerah Hari Puisi Indonesia 2020. Bermukim di Ampenan, Mataram dan turut menjadi keluarga di komunitas Akarpohon Mataram, Nusa Tenggara Barat.