Peran Luhur Media Sosial di Benak Hernindya Wisnu Aji
Berita Baru, Tokoh – Media sosial itu layaknya pisau. Posisinya bergantung pada siapakah yang mengendalikan. Di tangan yang kurang tepat, media sosial bisa menjadi pembunuh waktu efektif para pemuda—bahkan orang tua—yang belum ada presedennya. Namun, di tangan yang tepat, ia mampu menjelma penyelamat bagi olengnya suatu peradaban.
Di jalan kedua, Hernindya Wisnu Aji adalah teladan. Mas Aji, sapaan karibnya, merupakan salah satu penggerak apa itu yang disebut sebagai desa digital atau open desa. Desa digital, seperti dikisahkannya pada #Bercerita ke-38 Selasa (9/3), merujuk pada inisiasi multipihak untuk mengelola desa berdasarkan empat (4) hal kunci, yakni kerja dengan alat bantu atau teknologi informasi, ekosistem informasi desa yang terhubung secara nasional, dan kerja terpadu sebagai porosnya.
Maksud dari kerja terpadu adalah bagaimana kita bisa mengelola desa, terutama informasinya, dengan mengoptimalkan teknologi informasi yang sedang berkembang dengan terbentuknya ekosistem informasi desa secara nasional sebagai tujuannya.
Dalam “tubuh” kerja terpadu ada dua hal yang perlu dicermati: teknis dan non-teknis. Aspek teknis berpulang pada keterpaduan tadi, sedangkan non-teknis menunjuk pada tiga (3) pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terlebih dulu, mencakup literasi soal desa, keinginan untuk menjadi terhubung, dan kesamaan spektrum antarberbagai pihak, khususnya pada pemangku kebijakan.
Kenyataan bahwa kita tidak bisa menjelaskan apa itu desa, meski setiap harinya kita berada di dalamnya, merupakan alasan mengapa poin pertama masuk pada kategori non-teknis. Literasi soal desa pada dasarnya berhubungan dengan kemampuan untuk memotret, memahami, dan kemudian memetakan apa saja yang ada di desa.
Adapun untuk keterhubungan desa dan kesamaan spektrum berkaitan dengan diseminasi informasi. Bagi Mas Aji, sulitnya dua hal tersebut dicapai bukan karena mereka yang tidak ingin melakukan, tetapi lebih pada tidak sampainya informasi yang utuh kepada mereka. “Ini soal penyebaran informasi sih, menurutku,” ujarnya.
Mas Aji bahkan sampai pada titik kesimpulan bahwa informasi itu membangkitkan partisipasi. Kendala keterhubungan antardesa dan kesamaan spektrum bisa diatasi dengan memberikan perhatian lebih pada bagaimana semua lapisan desa bisa menyerap informasi yang sama nan utuh dan persis di sini optimalisasi media sosial adalah kunci.
Open desa dalam sejarah
Gerakan desa digital diinisiasi oleh Hernindya Wisnu Aji dan teman-temannya jauh sebelum UU tentang desa tahun 2014 dibuat, yaitu sejak Orde Baru. Di masa itu, alat yang dipakai adalah radio.
Dibanding luring penggunaan radio bisa menjangkau lebih banyak orang, meski selisihnya tidak banyak. Jika penyampaian informasi tanpa alat, paparannya berkisar antara angka 5 dan 15, sedangkan dengan radio mencapai 50 paparan.
Beberapa waktu kemudian muncul teknologi email yang disusul oleh blogspot, hingga hari ini media sosial. Gerakan desa digital, layaknya air, selalu mengalir bersama perkembangan teknologi informasi tersebut.
Di tahun 2000an, mereka mengoptimalkan email. Beberapa tahun selanjutnya blogspot, dilanjutkan Facebook, dan seterusnya, sampai yang terakhir adalah lahirnya aplikasi khusus produk open desa, yaitu OpenSID (Open Sistem Informasi Desa).
Aplikasi yang berbasis komputer ini, lanjut Mas Aji, per-Desember 2020 telah mencapai 11.000 pengguna dengan dua klasifikasi: 5000 pengguna aktif dan sisanya yang masih berproses.
“Kita tahu data ini sebab sistem kami secara otomatis akan melacak segala aktivitas pengguna, termasuk siapa saja yang baru memakainya,” jelas Mas Aji.
OpenSID hadir dengan tiga fitur utama yang usai disesuaikan dengan kebutuhan desa, yaitu persuratan desa, tata kelola data desa, dan pengelolaan situs desa.
Pertama berfungsi sebagai ruang arsip daring surat-surat penting desa supaya pelaksana desa dimudahkan dalam penyimpanan. Kedua berguna sebagai pengelolaan semua informasi tentang dan yang ada di desa. Karena sistemnya terbuka, maka informasi yang diletakkan di fitur ini masyarakat desa bisa mengaksesnya.
Ketiga penting agar desa yang berlangganan Open SID memiliki lapak atau portal tempat dua fitur sebelumnya tinggal dan bisa dikunjungi. “Pendeknya, aplikasi ini mencoba membantu teman-teman di desa supaya memiliki informasi yang terpadu dan terbuka,” ujar Mas Aji.
Dialektika sebagai metode pengelolaan informasi desa
Berpijak pada asumsi atau pameo–bahasanya Mas Aji–bahwa informasi membangkitkan partisipasi, ia tidak saja menganggap informasi desa sebagai sesuatu yang harus dikenali serta dibagikan secara merata, tetapi juga dikelola dengan metode yang baik.
Metode yang dimaksud mencakup empat (4) tahapan, yaitu refleksi, rencana, aksi, dan evalusi, yang bergerak secara dialektis.
Pertama, dalam hubungannya dengan informasi desa, kita perlu untuk merefleksikan dulu persoalan apa yang sebenarnya sedang kita hadapi, dengan asumsi bahwa setiap desa punya permasalahan. Refleksi akan menghasilkan kegelisahan atas apa itu yang disebut sebagai existing condition yang dari sini kita diandaikan untuk melakukan pemetaan …
Kedua merujuk pada penyusunan rencana tentang apa yang perlu kita lakukan pada peta yang sudah dibuat pada tahap sebelumnya. Ketiga lebih pada tindakan langsung atau eksekusi rencana dan terakhir, yang haram dilupakan pula, adalah perenungan kembali atas apa yang usai diperjuangkan agar ada perbaikan-perbaikan yang tentu sangat dibutuhkan.
Karena dialektis, proses tidak berhenti di situ. Selepas melakukan evaluasi, kita pun dituntut untuk kembali pada tahapan awal, refleksi, dan lantas ke rencana lagi, aksi, dan kembali ke evaluasi, seterusnya. Pasalnya, seiring berkembangnya masyarakat, persoalan di desa pasti berubah.
“Jadi, mengelola pengetahuan itu adalah proses tanpa ujung yang dengan beginilah kita mengenal apa itu pengembangan,” jelas Mas Aji.
Hajat bersama dan optimisme ke depan
Gerakan open desa memiliki beberapa tujuan yang luhur. Yang paling utama adalah bagaimana menjadikan media sosial sebagai alat untuk memperbaiki Indonesia melalui desa-desa. Gol besar ini berkelindan dengan infrastruktur yang dibutuhkan agar desa maju, yaitu pemanfaatan gawai yang dimiliki masyarakat.
Selain gawai masyarakat, infrastruktur yang harus dipenuhi lagi adalah adanya situs desa, komputer yang mumpuni, dan jaringan internet yang memadai. Ketika beberapa unsur infrastruktur ini terpenuhi, maka menjadikan media sosial sebagai penyelamat peradaban bukanlah hal yang jauh panggang dari api. Sebab bicara memadainya infrastruktur, bicara tentang pemerataan informasi berkualitas yang ini merupakan pintu lahirnya partisipasi publik.
Lebih jauh, di luar infrastruktur, supaya semuanya berjalan lancar, dibutuhkan dua lagi hal mendasar, yakni regulasi dan kelembagaan. Regulasi penting untuk mengatur adanya forum data dari tingkat desa sampai nasional serta menjamin keberlangsungannya.
Adapun kelembagaan, dengan dipayungi regulasi, berperan sebagai aktor di lapangan meliputi forum data desa di berbagai tingkat, tim Sistem Informasi Desa (SID), forum desa pengembang SID, dan semacamnya.
“Sebenarnya yang sedang kita bahasa ini soal rekayasa sosial. Jika semua itu berjalan, maka kita berhasil menggabungkan antara rekayasa sosial dan pengoptimalan teknologi informasi yang dibiayai oleh APBD atau bahkan APBDes,” tegas Mas Aji.
Untuk urusan kaderisasi, Mas Aji mengaku sama sekali tidak khawatir. Ia memegang data bahwa ada 50-an juta pemuda desa yang siap menyelenggarakan program ini. Angka tersebut merupakan sekitar 80% dari 64 juta pemuda Indonesia secara umum yang siap secara mental dan kemampuan.
Mas Aji menyebut siap karena sejumlah itulah yang berhasil meningkatkan pendapatan e-commerce nasional pada 2020, meski pandemi, senilai 300-an triliun dengan total transaksi lebih dari 100 juta.
“Untuk ukuran pandemi, peningkatan seperti ini adalah pencapaian. Ini menandakan bahwa ada sekitar 55 juta pemuda desa yang potensial melanjutkan program desa digital,” tuturnya.