Kelompok Hacker Myanmar Targetkan Situs Web Negara
Berita Baru, Internasional – Para hacker di Myanmar telah menargetkan situs web negara utama, termasuk halaman propaganda militer, sebagai bagian dari protes online dengan junta yang telah berulang kali melakukan penutupan internet dan pemblokiran situs media sosial.
Sebuah kelompok bernama Peretas Myanmar mengganggu situs web termasuk Bank Sentral, agen propaganda True News Information Team yang dikelola militer dan penyiar MRTV yang dikelola negara. Aksi tersebut merupakan bagian dari gerakan pembangkangan sipil yang dirancang untuk menghentikan pemerintahan junta.
“Kami memperjuangkan keadilan di Myanmar,” kata kelompok peretas di halaman Facebook-nya. “Ini protes massa di depan situs web pemerintah.”
Protes online terjadi pada hari Rabu (17/2), setelah berbagai aksi besar yang menuntut kudeta pada 1 Februari.
Para pengendara memblokir persimpangan utama dengan memarkir mobil dengan kap terbuka di seberang jalan. Sementara kelompok pekerja bank, mahasiswa, insinyur, dan petani berbaris di jalan untuk aksi pemogokan, menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi dan tahanan lainnya.
Di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, para pekerja kereta api memberhentikan perjalanan kereta, tetapi dibubarkan secara paksa pada malam hari oleh pasukan keamanan yang melepaskan tembakan hingga melukai satu orang, menurut kantor berita Reuters.
Aung San Suu Kyi, yang ditahan dalam tahanan rumah sejak militer merebut kekuasaan, menghadapi dua dakwaan – termasuk tuduhan bahwa dia mengimpor walkie-talkie secara ilegal – dan muncul di pengadilan melalui tautan video pada hari Selasa. Jika terbukti bersalah, hal ini dapat mencegahnya mencalonkan diri dalam pemilihan mendatang.
Pihak berwenang berusaha menghentikan kampanye pembangkangan sipil dengan memberlakukan larangan pertemuan dan menahan hampir 500 orang selama beberapa pekan terakhir. Surat perintah penangkapan juga telah dikeluarkan untuk enam selebriti lokal, termasuk sutradara film, aktor dan penyanyi, yang telah mendorong pegawai negeri untuk bergabung dalam protes tersebut. Tuduhan itu bisa membawa hukuman dua tahun penjara.
Militer telah mendesak pegawai negeri untuk kembali bekerja dan mengancam akan menindak mereka yang tidak melakukannya. Namun belum ada tanda-tanda pemogokan mereda.
Militer telah membenarkan perebutan kekuasaan dengan menuduh adanya kecurangan dalam pemilihan November lalu, yang secara telak dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi. Namun dengan segera tuduhan tersebut dibantah oleh pengamat.
Junta telah berjanji untuk mengadakan pemilihan ulang secara adil, meskipun banyak yang skeptis.
Sebagai bagian dari upaya junta untuk menghalau gelombang protes, mereka telah menyiapkan rancangan undang-undang yang akan mengkriminalisasi banyak aktivitas online dan memperketat pengawasan internet. Pada pukul 1 pagi pada hari Kamis, militer memberlakukan penutupan internet lagi, menurut NetBlocks, sebuah kelompok yang memantau pemadaman internet di seluruh dunia. Dilaporkan bahwa konektivitas internet turun menjadi hanya 21% dari tingkat biasa.
Militer juga berusaha memblokir situs media sosial termasuk Facebook dan Twitter, yang digunakan untuk mengoorganisir massa. Banyak yang berbondong-bondong ke jaringan pribadi virtual (VPN) untuk mencoba mengatasi pembatasan. Top10VPN, sebuah kelompok advokasi keamanan digital, melaporkan peningkatan 7.200% permintaan lokal untuk VPN segera setelah Facebook dilarang pada 4 Februari.
Pakar keamanan siber, Matt Warren, dari Universitas RMIT Australia mengatakan kepada AFP bahwa upaya pengunjuk rasa untuk meretas situs web pemerintah sebagian besar ditujukan untuk menghasilkan publisitas.
“Jenis serangan yang akan mereka lakukan adalah serangan denial-of-service atau merusak situs web yang disebut hacktivism,” katanya. “Dampaknya akan berpotensi terbatas tetapi yang mereka lakukan adalah meningkatkan kesadaran.”