Hamas: Perempuan Gaza Harus Mendapatkan Izin Wali Pria untuk Berpergian
Berita Baru, Internasional – Pengadilan Islam yang dikelola Hamas di Jalur Gaza telah memutuskan bahwa wanita memerlukan izin wali pria untuk bepergian, sekaligus memberikan pembatasan untuk keluar dan masuk wilayah tersebut.
Kebijakan yang mengindikasikan krisis hak perempuan ini memicu reaksi serius menjelang perencanaan pemilihan akhir tahun ini di Gaza.
Keputusan dewan peradilan syariah, yang dikeluarkan pada hari Minggu (14/2), mengatakan bahwa wanita yang belum menikah tidak boleh bepergian tanpa izin dari “wali” nya – yang biasanya biasanya merujuk pada ayahnya atau kerabat laki-laki lain yang lebih tua.
Izin tersebut, seperti dilansir dari The Guardian, perlu didaftarkan di pengadilan, meskipun pria tidak akan diminta untuk menemani wanita dalam perjalanan.
Bahasa putusan tersebut sangat menyiratkan bahwa seorang wanita yang sudah menikah tidak akan dapat melakukan perjalanan tanpa persetujuan suaminya.
Dekrit itu juga mengatakan bahwa seorang pria dapat dicegah bepergian oleh ayah atau kakeknya jika itu akan menyebabkan bahaya besar. Bagi pria, kebijakan tersebut tidak berlaku, namun jika kerabat atau keluarga tak mengizinkannya untuk berpergian maka harus ada pengajuan tuntutan hukum.
Keputusan tersebut menyerupai undang-undang perwalian yang telah lama ada di Arab Saudi yang notabene konservatif. Di mana wanita diperlakukan layaknya anak di bawah umur yang membutuhkan izin dari suami, ayah atau bahkan anak laki-laki untuk mengajukan paspor dan bepergian ke luar negeri. Kerajaan melonggarkan pembatasan itu pada tahun 2019.
Hassan al-Jojo, ketua dewan peradilan tertinggi, mengatakan kepada Associated Press bahwa keputusan itu seimbang dan konsisten dengan hukum Islam dan sipil. Dia menepis apa yang dia sebut sebagai “suara buatan dan tidak bisa dibenarkan” di media sosial tentang dekrit tersebut.
Dia membenarkan tindakan tersebut dengan mengutip contoh masa lalu, di mana anak perempuan bepergian tanpa sepengetahuan orang tua mereka dan laki-laki telah meninggalkan istri dan anak-anak mereka tanpa pencari nafkah.
Israel dan Mesir sebagian besar telah menutup perbatasan Gaza sejak Hamas merebut kekuasaan dari pasukan Palestina pada tahun 2007. Israel mengatakan, pembatasan tersebut diperlukan untuk mengisolasi kelompok militan, yang telah berperang tiga kali dengan Israel, dan mencegahnya memperoleh senjata.
Wilayah itu adalah rumah bagi 2 juta orang Palestina. Semua warga Gaza harus melalui proses perizinan yang panjang untuk bepergian ke luar negeri dan sebagian besar mengandalkan penyeberangan Rafah dengan Mesir, yang hanya dibuka secara sporadis. Pembatasan tersebut mempersulit orang untuk mencari perawatan medis atau pendidikan tinggi di luar jalur pantai yang sempit.
Putusan itu memicu kritik di media sosial, di mana banyak yang menuduh Hamas mencabut hak-hak perempuan, bahkan ketika Arab Saudi telah melonggarkan pembatasannya, termasuk dengan mengizinkan perempuan untuk mengemudi. Partai Rakyat Palestina, sebuah kelompok kecil sayap kiri, meminta Hamas untuk membatalkan keputusan tersebut.
Hal ini juga dapat memperkuat dukungan Hamas dengan basis konservatifnya saat menghadapi kritik atas kondisi kehidupan di wilayah yang telah dikuasainya itu sejak 2007
Zainab al-Ghunaimi, seorang aktivis yang menjalankan kelompok berbasis di Gaza yang berfokus pada hak-hak perempuan, mengatakan keputusan itu melanggar hukum dasar Palestina, yang memberikan hak yang sama kepada orang dewasa. Keputusan ini diartikan bahwa, pihak berwenang “mundur dalam melindungi hak asasi manusia”.
Dia mencatat bahwa badan hukum yang sama memungkinkan seorang wanita menikah pada usia 16 tahun dan mendapatkan dokumen perjalanan sendiri.
Hamas tidak memaksakan interpretasi keras terhadap hukum Islam yang diperjuangkan oleh kelompok bersenjata lainnya, seperti ISIS dan Taliban di Afghanistan. Namun, mereka mengambil langkah untuk menegakkan aturan konservatif di wilayah itu, termasuk penerapan kode berpakaian Islami pada pengacara wanita dan siswa sekolah menengah.