Agama, Ekstasi hingga Sayembara Mencari Jodoh
Oleh: Sareadi
Munculnya agama di pelataran bumi manusia telah menghadirkan babak dunia baru, bahkan mampu mendongkrak realitas-realitas kehidupan yang terkubur oleh zaman jahiliyah. Kendatipun harus melewati jalan suram karena hadir untuk membersamai manusia dengan segala egoisme dirinya.
Tidak jarang agama sering menyita perhatian publik. Hingga ketika seseorang melakukan tindakan yang disangka mencederai agama, akan dihakimi sebagai kesalahan yang perlu dihakimi oleh orang banyak.
Seperti pada kasus Macron presiden Prancis yang dikecam oleh masyarakat lintas negara karena pernyataannya dengan karikatur Nabi Muhammad. Kejadian yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok karena tudingan penistaan agama. Selain itu tragedi Soekmawati yang menyamakan Ir. Soekarno dengan Nabi Muhammad.
Agama sebagai pedoman hidup memang telah mengubah pola pikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hingga fakta sejarah maupun masa depan seperti halnya soal eskatologi, kematian, dan perihal lainnya. Barangkat dari itu semua, kita bisa menilai bahwa duduknya Agama di tengah-tengah kehidupan sangat sentral dan pengaruhnya sangat besar terhadap keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Dengan rentang ruang waktu yang panjang, sedikit demi sedikit agama mulai memperkenalkan entitasnya dengan praktik-paktik yang mengandung nila-nilai di dalamnya, dan prinsip budayanya seperti halnya kerukunan, harmonisasi keragaman, hingga moderasi sebagai wajah perbedaan.
Tidak hanya berhenti di situ agama sebagai nilai yang positif, namun di lain sisi juga tidak jarang kita dipersaksikan realitas Agama dengan nuansa negatif karena kefanatikan yang akut, hingga menyebabkan terjadinya pengeboman di Bali, kasus dengan mengorbankan kedua anaknya yang masih suci karena harus melawan ledakan bom kimia di gereja Surabaya, dan kasus lainnya yang terjadi sebab fanatisme agama.
Selain adanya citra kurang baik bagi agama sebab praktik-praktik oleh subjeknya, di masa yang lebih terbuka pun sekarang ini dengan adanya budaya baru berupa teknologi informasi agama masih sulit menjadi ruang akulturasi yang harmonis bagi sesama dan perbedaan.
Ada kritik menarik dari tokoh materialis Eropa bernama L. Fuerbach terhadap Agama. Ia menyampaikan bahwa agama tidak lain hanyalah proyeksi akal manusia, dan manusialah yang menjadi tuhan atas dirinya sehingga pada akhirnya tenggelam dalam keterasingan agamanya sendiri. Karena manusia sudah merasa lebih kuasa, mengklaim kebenaran hanya miliknya, dan mengahakimi orang lain yang berbeda keyakinan dengannya.
Ini yang kemudian menjadi sebuah paradoks. Di mana agama hadir dengan potensi nilai-nilai kabaikan dan prinsip harmoni justru melahirkan praktik-praktik tidak etis karena menjual ayat-ayat kitab suci secara serampangan tanpa pemahaman, dan sambil diiringi narasi cacian mereka kafir, mereka adalah kaum yahudi, perilaku mereka jahily, dan tindakan justifikasi lainnya yang membuat klaim-klaim dirinya merasa paling benar.
Bangganya lagi, mereka (ISIS, Hizbut Tahrir Indonesia, dan aliran radikalis lainnya) masih merasa besar dada membawanya agama ke ruang publik sebagai identitas, yang diagung-agungkan dan merasa paling suci bahkan mereka yang tidak dengan seragam sama atau sepaham harus disingkirkan dari arena kemanusiaan, dibinasakan.
Seolah-olah mareka adalah wakil tuhan satu-satunya yang dengan hak hidup dan perilakunya semena-mena. Agama telah mereka gunakan sebagai alat untuk menjustifikasi di luar golongannya adalah keburukan dan kemurkaan, karenanya tidakheran jika Abdurrahman Wahid banyak mengkritik jalan politik yang mengatas-namakan agama dan merendahkan derajat kemanusiaan hanya demi kepentingan politis semata.
Sehingga aktivitas berfikir larut dalam iming-iming dan janji-jani agama konservatif dengan kemudian akal sehat mareka jatuh pada ekstasi yang sediki-sedikit mengklaim mereka telah menghina agamanya, dia penista agama,mereka telah menghina tuhan, dan pada akhirnya teriak di mana-mana dengan menjudge dirinya kebenaran yang haq dan lainnya adalah batil.
Adapun konsekuensi logis daripada fenomena Agama di atas, secara aksiologis tentu problem keagamaan muncul memang bukan karena agama cacat visi dan tidak mempunyai nilai luhur. Terlebih daripada itu semua kesadaran kita menangkap bahwa adanya praktik agama yang menyimpang tentu bukan semata-mata oleh agama, tetapi karena sebab ketidakmampuan subjeknya mengimplementasikan nila-nilai agama pada dunia sosial dan terlebih menafsirkan teks-teks itu sendiri secara kontekstual (Al-Quraan).
Ada sebuah penelitian memantik perhatian ketika Lembaga Riset LIPI Indonesia merilis temuannya tahun 2018 tentang problem separatisme agama, mengapa problem agama itu sangat sensitif? Mudah memancing emosi belaka? Bahkan saling hakim-menghakimi semata?
Hasil risetnya menyampaikan bahwa ada sekitar sembilan prov. di Indonesia yang menujukkan terjadinya radikalisme dan intoleransi karena tidak adanya kepercayaan terhadap perbedaan nilai-nilai agama lain, tingkat fanatisme keagamaan yang sangat tinggi dan rendahnya pemahaman akan sekularisasi pada keagamaan yang ada.
Dari persepektif diatas tentu banyak jawaban di mungkinkan lebih rasional nan objektif. Misal, bagaimana agama tidak dengan mudahnya dijadikan identitas politik, kemudian cara mendudukkan agama sebagai dialog yang menghadirkan nuansa rahmatan lil ‘alamin, dan argumentasi-argumentasi rasional lainnya yang lebih kontekstual.
Apakah kemudian citra baik-buruk manusia karena pengaruh agama? Tentu tidak. Ada ilustrasi manarik dari Steven Wainberg seorang peraih nobel fisika mengatakan “Sejatinya keberadaan agama tidak mempunyai potensi berpengaruh terhadap manusianya, yang berpengaruh justru adalah pemeluknya. Namun sejauh perilaku baik maupun buruk yang dipraktikkan oleh penganutnya akan selalu mendapat justifikasi daripapada agama itu sendiri”.
Menjadi penting, di mana kesadaran nalar kritis harusnya hadir mendorong perilaku-perilaku keagamaan yang lebih dewasa, berpikir logis dan bertindak bijaksana, bukan sebaliknya jauh dari budaya tasamuh, tawazun, ta’adul, dan menolak akulturasi sehingga semuanya harus terjebak pada ekstasi kearab-araban, karena formalitas agama yang (sok) agamis dan merasa paling suci. Sebab tuhan maha kasihnya tidak terbatas oleh kehendak makhluknya.
Belum lagi fenomena pelatihan Poligami yang dilakukan golongan lain dan Sayembara Mencari Jodoh ala Abdus Somad. Sungguh kemabukan apalagi yang mereka imajinasikan tentang agama ini. Bukankah agama memiliki nilai yang sholih li kulli zaman dan makan?
Penulis: Mahasiswa Teologi dan Filsafat UIN Walisongo Semarang. Pegiat Sastra dan Filsafat.