Kudeta Myanmar: Masa Aksi Gelar Demonstrasi Kedua
Berita Baru, Internasional – Gelombang protes di Myanmar kembali digelar untuk kedua kalinya, dilansir dari The Guardian, minggu (7/2).
Masa aksi berkumpul di kota utama Yangon dan di kota-kota lainnya, mengutuk kudeta oleh militer kepada Aung San Suu Kyi, yang memenangkan pemilu pada November lalu.
“Hari ini adalah tentang demokrasi Myanmar,” kata pengunjuk rasa Myint Oo (23). “Pahlawan kami Aung San Suu Kyi dan presiden kami U Win Myint harus dibebaskan.”
Para demonstran bersumpah untuk melanjutkan protes mereka sampai pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi dibebaskan.
“Mungkin ada tentara besok, tapi saya tidak takut,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia akan kembali ke jalan.
Sejak pengkudetaannya pada Senin lalu, Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint tidak pernah terlihat di depan umum. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang dalam pemilihan umum pada November, tetapi militer menolak menerima hasil pemungutan suara. Mengklaim telah terjadi kecurangan, namun ditolak oleh komisi pemilihan umum.
Selama hampir 4 jam sejak Sabtu sore, junta telah memblokir akses internetsebagai upaya untuk menghentikan protes. Tetapi gerakan protes kian berkembang, merupakan demonstrasi terbesar di Myanmar sejak Revolusi Saffron 2007, ketika ribuan biksu Budha berbaris menentang kekuasaan militer.
Pada tengah pagi hari Minggu, pengunjuk rasa turun ke jalan di Yangon, serta di kota Mandalay di Myanmar tengah dan kota pesisir Mawlamyine di tenggara. Ratusan orang lainnya berkemah di luar kantor polisi di kota Payathonzu di negara bagian Karen, di mana politisi NLD setempat dilaporkan ditangkap. Mereka tetap di luar pada Minggu pagi, menyanyikan lagu-lagu pro-demokrasi, lapor Reuters.
“Kami akan memprotes sampai ibu dan presiden kami dibebaskan dan dipekerjakan kembali. Kami tahu itu berbahaya tapi kami akan terus memprotes. Kami ingin wanita kami aman, ”kata Htet Thar, yang memprotes di Yangon.
Masa aksi berbaris dari seluruh kota di Pagoda Sule, mengangkat tangan dengan hormat tiga jari sebagai simbol penentangan terhadap militer. “Apakah kita bersatu? Ya kami!,” bunyi yel-yel demonstran.
“Ini adalah kesempatan terakhir kita untuk menyingkirkan kediktatoran jahat ini. Jika kita tidak menghancurkan akarnya sekarang, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk melanjutkan kediktatoran lagi,” kata Hnin. “ Kita harus terus memprotes kebebasan kita. Kami khawatir tentang masa depan kami, dan untuk generasi masa depan. Kami mungkin kehilangan pekerjaan karena freelancer dan bisnis kecil tidak akan dapat beroperasi.”
Dalam video yang beredar, protes berlangsung damai. Tembakan terdengar ketika polisi membubarkan demonstrasi di kota Myawaddy di tenggara kemudian menyerbu masa aksi.
Lebih dari 160 orang telah ditangkap sejak militer merebut kekuasaan, menurut Thomas Andrews, pelapor khusus PBB untuk Myanmar. Andrews juga mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk mengadakan sesi khusus guna mengatasi krisis tersebut.
“Para jenderal sekarang mencoba untuk melumpuhkan gerakan perlawanan warga – dan menjaga dunia luar dalam kegelapan – dengan memotong hampir semua akses internet,” katanya.
Pemutusan saluran telepon, serta pemadaman internet yang hampir total, telah menghambat upaya media dan kelompok hak asasi untuk memantau perkembangan.