Riset INFID: 72 Persen OMS Terdampak COVID-19
Berita Baru, Jakarta – Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan berbagai upaya dalam melakukan penanganan COVID-19. Pada tahun 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp695,2 triliun, untuk bidang kesehatan Rp87,55 triliun dan untuk pemulihan ekonomi nasional Rp607,65 triliun.
Merespon kebijakan tersebut, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) melakukan dua penelitian yang didukung oleh program USAID-MADANI.
Pertama, Survei Persepsi Warga Terhadap Layanan Pemerintah Selama Pandemi COVID-19, dengan 2.201 responden di 34 provinsi. Kedua, Riset Persepsi OMS Terhadap Layanan Pemerintah Saat Pandemi COVID-19 dan Dampak Pandemi terhadap Kinerja Organisasi OMS, terhadap 157 pimpinan organisasi masyarakat sipil tingkat nasional dan daerah.
Kedua survei tersebut dikerjakan bersama Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) dan Tempo Institute.
Hasil studi yang diluncurkan pada Kamis (4/2) tersebut menemukan bahwa sebagian besar warga tidak mengetahui jalur pengaduan pelayanan kesehatan selama COVID-19.
“71 persen responden tidak mengetahui nomor telepon untuk bertanya dan mengadu seputar layanan kesehatan pandemi COVID-19,” papar Bona, peneliti INFID.
Selain itu, INFID juga mendapatkan temuan yang dianggap cukup meresahkan yaitu rujukan informasi warga terkait penanganan COVID-19 mereka peroleh hanya dari media sosial. Hal ini cukup memprihatinkan karena media sosial adalah salah satu sumber berita palsu yang menyebabkan disinformasi dan misinformasi.
“Acuan sosial media 55% penting dipertimbangkan, karena rentan menjadi sumber berita palsu,” lanjut Bona.
Hasil survei OMS menunjukkan bahwa sebagian besar OMS di Indonesia mengaku terdampak serius oleh pandemi COVID-19. Bahkan, ada yang sudah dalam keadaan kritis, sehingga diperkirakan tidak akan dapat bertahan lebih lama.
“72% OMS terkena dampak negatif pada sektor keuangan akibat pandemi COVID-19. Dimana 23% CSO berada pada fase kritis, yang kemungkinannya mereka tidak dapat bertahan dalam waktu yang lama,” terang Bona.
Hal ini, menurut analisis INFID, disebabkan oleh ketergantungan pendanaan pada pihak eksternal, dan biaya tambahan akibat pandemi COVID-19.
“OMS di Sumatera paling terpapar, diikuti OMS di kawasan Indonesia Timur seperti Bali, Nusa Tenggara dan Papua,” lanjutnya.
Berdasarkan isu area kerja, 52 persen OMS yang bekerja pada sektor toleransi dan 44 persen OMS yang bekerja pada sektor lingkungan paling terdampak.
Berdasarkan dua studi tersebut INFID menyampaikan beberapa rekomendasi. Pertama, penting bagi pemerintah di masa mendatang untuk melibatkan aktor non-pemerintah dalam penanganan dan pemulihan COVID-19. Kedua, OMS seharusnya masuk dalam kelompok terdampak dan menerima bantuan sosial COVID-19.
Mekanismenya tidak dalam bantuan langsung bagi OMS, tetapi mendorong pengadaan barang publik melalui mekanisme kemitraan antara pemerintah dan OMS.
Misalnya, pemerintah memberikan peluang kepada keterlibatan OMS lokal untuk melakukan verifikasi data kemiskinan pemerintah, Data Terpadu Kesejahteran Sosial (DTKS).
“Data DTKS yang digunakan untuk bantuan sosial COVID-19, saat ini cenderung tertutup untuk pemantauan dan tidak selalu akurat. Data ini tentunya dapat diperbaiki dengan melibatkan OMS akar rumput dalam pemverifikasian data,” pungkasnya.