Tujuh Kebijakan Mertua yang Harus Anda Tahu Sebelum Menemuinya
Oleh: Risda Nur Widia
‘Cara terbaik mendekati mertuamu adalah dengan mengenali tujuh kebijakan yang dimilikinya.’
Begitulah kalimat pertama yang dibaca oleh Anda ketika mendapatkan sebuah catatan gelap yang menyasar di beranda rumahnya di waktu sore yang remis, dan sedikit amis, karena dirinya baru saja pulang futsal. Anda tidak tahu siapa yang mengirim surat itu kepadanya. Anda hanya menemukan sebuah kotak hitam yang terlihat elegan dari luar, tapi ketika membukanya hanya terdapat sebuah kertas dengan ketikan kacau menggunakan aplikasi Microsoft Word (entah versi keberapa) dengan komposisi layout sebagai berikut: top 4cm; bottom 3cm; left 4cm; right 3cm.Ukuran itu adalah standar—apabila dipikirkan secara kritis—yang sering digunakan seseorang untuk menulis makalah atau kisah fiksi pada lomba-lomba sastra di nusantara. Anda bisa tahu hal ini secara detail karena dirinya adalah seorang editor buku pelajaran yang sering membuat hidupnya bosan, dan ingin menembakkan sebuah peluruh dari kerongkongan mulutnya menggunakan pistol baja otomatis 9 mm Hecler & Koch seperti yang digunakan Aomame di dalam buku 1Q84 karya Haruki Murakami.
Catatan di dalam kotak itu ditulis seperti sebuah esai sederhana yang kurang lebih—jika melihat jumlah halamannya yang mencapai 5 lembar—mencapai 10.000 hingga 15.000 kata dengan karakter, dan menggunakan font Arial berukuran 12 dengan 1.5 sepasi. Anda termenung untuk beberapa saat memikirkan catatan yang dikirimkan kepadanya tersebut. Kemudian karena penasaran, Anda mencoba membaca secara cepat catatan itu sampai pada bagian halaman akhir dengan bolak-balik. Anda tidak menemukan apapun yang merujuk ke arah si pengirim. Hanya saja pada lebar terakhir bagian kanan bawah surat itu terdapat sebuah huruf yang dicetak kapital, dengan blod berwana hitam tegas, bertuliskan: KML. Anda lekas berpikir kalau dua huruf itu adalah sebuah nama inisial yang ditulis oleh si pengirim kepadanya. Anda juga cepat-cepat menelisik alamat pengirim paket gelap itu. Anda pun tidak menemukan catatan apapun pada kotak tersebut. Akhirnya, Anda hanya bisa menimang dan memikirkan siapa pengirim gelap catatan itu: Apakah seorang yang sedang ingin meneroronya? Anda menggeleng. Anda berpikir bingkisan itu bukan berisi surat intimidasi lengkap dengan paket sepenggal kepala manusia seperti di dalam film Scream yang disutradarai oleh Wes Carven yang tokcer membuatnya gemetar ketika melihatnya pada masa kecil dahulu—bersama kakaknya.
Akan tetapi ketika Anda membaca judul surat itu, terdapat perasangka kalau ada seseorang yang sedang mengerjainya. Pada surat gelap yang diterimanya itu, Anda menemukan sebuah judul ‘Sepuluh Cara Bijak Bertemu Mertua’ di bagian atas surat. Dan pada kalimat awal pembuka catatan itu, bertuliskan: ‘Cara terbaik mendekati mertuamu adalah dengan cara mengenali tujuh kebijakan yang dimilikinya.’ Membaca catatan itu—bagi Anda—seperti sebuah parodi atas dirinya dan beberapa nasib sial yang mengetuk kisah cintanya selama dua minggu terakhir ini. Catatan gelap yang ditemui Anda di beranda rumahnya itu seakan mengejeknya kalau dalam 14 hari ini, ia dibuat gelisah menyambut mertuanya yang akan datang ke Jogja—guna menghadiri acara wisuda kekasihnya. Anda termangu. Dirinya menjadi ingat selama 20160 menit terakhir di dalam hidupnya habis untuk menelusuri mesin pencari di internet. Lewat mesin pencari Google.com itu, Anda acap menulis Cara Baik Bertemu Mertua. Mesin virtual itu kemudian menanggapi dengan cepat pencarian Anda di situsnya. Anda pun akhirnya menemukan sekitar 435.000 data dalam 0,39 detik. Sayangnya, dari semua pencarian itu, Anda belum bisa menentukan mana yang baik dan akan berhasil digunakannya.
Begitulah. Sore yang remis dan sedikit amis itu, Anda menemuka surat gelap dan seperti menemukan kesialan lainnya. Anda berpikir surat itu sebagai petaka karena bingkisan itu hanya mengingatkannya pada beban yang harus dilaluinya beberapa hari lagi pada acara wisuda kekasihnya. Anda melakoni olahraga futsal hari ini pun karena ingin sejenak merentangkan jarak antara beban menemui mertuanya dengan kebahgaian hidup yang akhir-akhir ini menjadi menyusut oleh musabah pacarnya yang acap menuntut. Hati Anda tiba-tiba menjadi geram. Anda berpikir lagi: Siapa orang yang mengirim bingkisan berisi ketik-an konyol ini? Anda untuk kesekian kalinya melirik pada paket tersebut. Lantas, Anda membaca sebuah kalimat yang dicetak miring, bertuliskan: ‘Bila sudah membacanya, lebih baik kau bakar surat ini. Karena bisa merusak masa depan kita.’ Anda menjadi penasaran dengan isi surat yang ditulis si pengerim. Lalu Anda dengan seksama membacanya secara teliti dan detail antara satu kalimat ke kalimat lainnya pada surat itu.
Untuk yang kesekiaan kalinya pikiran Anda dibuat bingung dan penasaran. Usai membaca semua kalimat di dalam surat itu, Anda menjadi ingat sesuatu. Di dalam surat itu berulang kali—mungkin sebanyak 11 hingga 13 kali—Anda menemukan kata ‘Pak Muz’. Hal itu pun membuat ingatan Anda merujuk ke arah seorang pria tua bertinggi badan sekitar 170 cm, menggunakan kaca mata, dan sehari-hari terlihat malas, bernama: Pak Muzani—nama Ayah kekasihnya yang akan datang belum lama ini bersama istrinya. Anda benar-benar bingung: Mengapa catatan ini begitu terasa ganjil dan aneh baginya? Si pengirim catatan ini seolah ingin membantu sekaligus mengejeknya. Karena pada catatan yang dikirimkan itu, terdapat beberapa hal yang perlu Anda simak ketika bertemu dengan ‘Pak Muz—seseorang yang sering disebut si penulis surat di dalamnya. Misalnya, seperti kebijakan Pak Muz ketika melihat tinju di televisi dengan kaos singletnya, atau tentang Pak Muz dalam hal memilih makanan. Di sana juga tercatat beberapa hal mengenai kegemaran Pak Muz mengenai tanaman. Dan masih banyak lainnya. Semua cacatan itu apabila dipoin-poinkan berdasarkan gagasan cara menyampakiannya yang masih berantkan, lantas dirapikan, terbaca sebagai berikut:
1. Kebijaksaan Menonton Tinju
Kau harus tahu sesuatu tentang Pak Muz! Pria tua berumumr 56 tahun itu adalah seseorang yang sangat fanatik dengan olahraga tinju. Aku tahu, kau pasti belum pernah bertemu dengannya. Dan mungkin juga kau akan sedikit gerogi apabila kekasihmu menuntutmu untuk bertemu dengan ayahnya. Kau tidak perlu panik untuk itu. Aku akan sedikit memberi tahumu tentang seseorang yang akan kau temui dalam beberapa hari ke depan. Aku sangat mengenal Pak Muz. Bahkan sangat dekat dengannya. Akan tetapi kau tidak perlu berpikir siapa aku ini sebenarnya. Anggap saja, aku orang baik yang ingin menolongmu dari suatu tempat yang jauh—suatu tempat yang mungkin baru bisa kau tempuh dengan jarak waktu lima tahun untuk ke sini.
Baiklah. Untuk mempersingkat sesuatu yang ingin aku ceritkan, ada beberapa hal yang harus kau tahu. Ini adalah soal yang pertama. Kau harus mengerti dan tahu kalau Pak Muz, adalah pria dengan sikap yang keras. Sifat ini barangkali adalah warisan dari ayahnya yang merupakan seorang veteran. Kakeknya pun adalah seorang veteran PETA di masa penjajahan Jepang pada tahun 1942. Lalu sikap ini menurun kebanyak anaknya, termasuk Pak Muz. Perangai keras Pak Muz ini semakin tampak dengan hobi-hobinya. Aku tidak banyak tahu memang. Hanya saja satu hal yang begitu tampak dari salah satu hobinya itu, adalah kebiasaanya menonton tinju setiap akhir pekan di televisi swasta.
Setiap hari minggu pada pukul 10.00 Wib, aku selalu menemui Pak Muz dengan kaca mata minus dua dan kaos singletnya. Ia tampak khusuk termenung pada sebuah layar yang menayangkan pertarungan tinju. Akan tetapi, pagi itu Pak Muz tidak sedang melihat pertarungan tinju yang sedang ditayangkan secara langsung di televisi, melainkan melihat rekaman tinju yang pernah direkam oleh sebuah stasiun televisi pada tahun 1937. Aku cepat mengetahuinya karena Pak Muz menceritakan secara langsung sejarah pertarungan tinju itu kepadaku. Dan semua cerita yang dituturan oleh Pak Muz itu, seperti meninggalkan satu jejak mengenai sosok pria tua tersebut. Satu hal yang aku pikirkan mengenai Pak Muz, kemudian: Ia memang pria yang keras, tapi dirinya memiliki kelembutan hati yang luar biasa. Bahkan mungkin kelembutan hati yang dimiliki oleh Pak Muz, adalah sikap baik yang jarang dimiliki banyak orang.
Pak Muz berkisah tentang pertarungan tinju yang terjadi di tahun 1937—yang ditayangan televisi—antara Max Schameling vs Joe Loise, di Yankee Stadium, New York. Pertarungan tersebut bagi Pak Muz—dan mungkin oleh banyak orang yang melihatnya di tahun itu—dianggap bukan sebagai pertarungan tinju semata. Ada sebuah lambang politik yang ikut bertarung dalam pertandingan yang diadakan di bawah langit Amerika pada abad ke-19 itu. Tidak dapat dipungkiri—di dalam penjelasan Pak Muz—Joe Loise dilambangkan sebagai simbol demokratik Amerika. Sementara Max Scahameling diartikan sebagai fasisme Nazi, Jerman. Karena dua pandangan politis inilah pada akhirnya pertarungan tinju itu diartikan sebagai pertarungan politik pada masa perang dingin, dan negara-negara Barat sedang terguncang dengan perang senjata.
“Kau harus lihat bagaimana politik ikut bekerja di dalam pertarungan ini,” kata Pak Muz menjelas. “Ini adalah pertarungan terhadap s fasisme yang berkembang di Barat. Kau harus lihat bagaimana keadilan bekerja di atas ring tinju.”
Aku pun akhirnya ikut terjebak di dalam pertandingan itu. Aku melihat bagaiman hantaman overcut saling melesak satu dengan yang lain pada pertandingan itu. Dengan was-was juga, aku melihat ketika Joe Loise tersudutkan dengan sambaran-sambaran pukulan Max Scahameling di sudut ring tinju. Akan tetapi Loise seperti tidak bertarung dengan tenaganya sendiri. Loise seperti bertarung dengan kekuatan keberanaran dan mimpi orang-orang yang mendukungnya. Sampai kemudian, Loies dapat bangkit dan merobohkan Max dengan pukulan konck out di ronde pertama. Begitu juga pada ronde kedua dan ketiga, Loise berhasil membalaskan dendamnya atas kekalahan atas Max diperatrungan pertama di tahun 1936. Atas kemanangan ini, Loise diangkat sebagai pahlawan oleh Amerika karena berhasil mengalahkan Max. Bahkan kemenangan Loies ini dianggap sebagai simbol berdirinya demokrasi di tengah dunia yang sedang kacau karena perang.
“Loise sebagai warga kulit hitam menujukan ke setiap orang bahwa siapapun bisa menjadi pahlawan atas negara yang mendiskriminasikannya,” jelas Pak Muz.
Aku yang kurang paham mengenai politik dan tinju hanya diam saja.
“Kemenangan Loise ini bukan semata pertandingan tinju saja. Tapi kemenangannya adalah kemenangan demokrasi atas ras, politik, dan kebudayaan Barat. Kau bisa bayangkan, bagaiaman orang-orang Barat memandang orang kulit hitam. Terlebih lagi Jerman. Mereka sangat membenci orang-orang kulit hitam. Dan kemenangan Loise, seperti parodi di atas gelanggang politik dunia, bahwa warna kulit atau ras, tidak akan mempengaruhi siapapun untuk berguna bagi sesamanya.”
Aku takzim mendengarkan. Aku sempat sedikit mengingat perang dingin antara Amerika dan Jerman di masa perang dunia kedua. Belum lagi mengenai Nazi yang habis-habis menghancurkan ras dan etnis Yahudi di Eropa. Lalu, kini ditambah mengenai kekalahan Jerman, Max, atas Loise sebagai lawan di atas ring tinju tersebut. Menyadari semua yang dikatakan oleh Pak Muz, seakan membuatku sedikit berpikir: Setiap orang bisa menjadi penyelamat atas suatu bangsa dan golongannya. Dan semua itu ditunjukan oleh Loise ketika menghadapi Max di Yankee Stadium, New York; di tengah kekacauan politik antara Nazi dan Amerika. Bahkan ketika aku melirik mata Pak Muz, terdapat sebuah pandangan kasih yang penuh keadilan atas kemenangan yang diraih oleh Loise. Sejak itulah aku menyadari, ada satu sikap tanggungjawab dan disiplin di dalam diri Pak Muz. Perangai ini pun ditunjukan untuk mengayomi seluruh anggota keluarganya.
2. Kelebentuhan Hati yang Serupa Tumbuhan
Selain memiliki kegemaran menonton tinju, Pak Muz juga mempunyai hobi lain yang menujukan sikap tegas sekaligus lembut—penuh kasih—saat mengayomi keluarganya. Mungkin bisa dikatakan ini merupakan hobi yang ditularkan oleh istrinya, Bu Lis. Hampir setiap pagi—baik yang dituturkan oleh kekasihmu, istrinya, dan yang sering aku lihat sendiri—Pak Muz selalu merawat tanaman yang dipeliharanya secara pantas. Terkadang apabila sudah merawat bunga-bunga itu, Pak Muz dapat melakukannya selama berjam-jam. Pak Muz mengasih bunga-bunganya, seperti dirinya mengasihi keluarganya sendiri.
Memang aku pernah membantunya. Waktu itu Pak Muz cukup banyak menjelaskan mengenai bunga-bunga yang ditanamnya. Bahkan Pak Muz menjelaskan mengapa dirinya begitu telaten saat mengurus bunga-bunganya:
“Bunga-bunga ini adalah bagian dari diriku. Maksudnya, tanaman yang kita pilih untuk dijadikan tanaman hias, adalah upaya kita mengungkapkan diri masing-masing.”
Mendengarkan penjelasan Pak Muz itu membuatku bingung. Terlebih, aku tidak punya pengetahuan sedikit pun mengenai bunga. Aku pun bertanya: “Mengapa bisa begitu?”
“Kau pasti bingung,” Pak Muz tersenyum. “Secara konsep, di bawah alam sadar pikiran kita, ketika seseorang memilih sebuah bunga, pasti akan menyesuaikan atas apa-apa yang diinginkannya. Dan hal-hal yang diinginkan itu terkadang lebih cenderung atas karkter atau keperibadian dirinya. Ini adalah konsep ketidaksadaran Sigmun Freud dan Jasques Lacan. Tapi lupakan soal teori itu. Yang jelas pada akhirnya, perkara memilih bunga untuk kita rawat, seperti kita memilih diri sendiri. Lalu karena inilah kemudian lebih bijak kiranya kita merawat sebaik mungkin apa yang sudah kita pilih itu.”
“Lantas mengapa bunga anyelir?” Aku bertanya.
Pak Muz hanya diam. Ia memandang bunga itu dengan takzim. Aku pun seperti melihat kalau Pak Muz sedang meletakan dirinya sendiri pada bunga-bunga anyelir berwarna merah jambu itu. Di wajah Pak Muz seakan terdapat sebuah kesan bahwa bunga itu adalah bagian paling dalam pada sosok tegap dan besarnya. Angin pun lewat bersama motor Honda 125 berkenalpot soak. Lalu diikut riuh suara anak-anak yang mendapatkan ikan di kali kecil dekat rumah Pak Muz. Akan tetapi, semua itu seakan tidak mengganggu sama sekali konsentrasi Pak Muz ketika menatap gerimbun bunga anyelir di kebun kecilnya. Karena melihat keheningan yang terjadi pada Pak Muz, membuatku berpikir kalau sosok itu sedang memikirkan sesuatu yang panjang dan lampau. Mungkin suatu nostalgia atau peristiwa-peristiwa, atau apapun yang pernah terjadi atas bunga itu dan hidupnya, sehingga Pak Muz memilihnya. Aku menjadi kurang begitu nyaman berdiri di sampingnya. Lebih-lebih, aku menjadi tidak enak karena menyinggung sesuatu yang—mungkin—sensitif.
Tidak begitu lama Pak Muz menyahut: “Anyelir ini berarti kelembutan dan kasih sayang. Bunga ini dahulu sebenarnya aku pilih sebagai hadiah untuk istriku. Tapi ternyata bunga ini memiliki arti sebagai arti kasih sayang kepada ibu. Bunga ini dahulu selalu diberikan pada hari ibu karena melambangan ketulisan cinta seorang ibu.”
Pak Muz menjelaskan kepadaku bahawa pilihannya atas bunga itu terjadi tanpa peraduga sebelumnya. Pak Muz memilih begitu saja karena ada sesuatu yang menariknya ke bunga itu. Mungkin dorongan emosi atas dirinya yang digambarkan pada bunga itu. Lalu ketika ia berikan bunga itu kepada istrinya, wanita itu merasa bahagia. Sampai kemudian Pak Muz tahu, bunga itu memiliki arti yang luar biasa di dunia. Karena pada tahun 1907, Anna Jarvis memilih bunga anyelir sebagai lambang kasih sayang kepada para Ibu di dunia. Bunga Anyelis, bagi Anna Jarvis, dianggap sebagai lambang sikap keteguhan, ulet, dan kasih sayang seseorang—khusunya Ibu—kepada keluarga dan orang-orang tercinta.
“Bunga ini mungkin adalah arti kasih sayangku kepada anak-anak dan istri,” jelas Pak Muz lagi. “Dengan merawat bunga ini secara baik, aku juga seperti menanamkan sikap yang sama kepada keluargaku.”
Mendengar penjelas Pak Muz, membuatku tercekat. Tubuhku bahkan ikut bergetar. Terlebih lagi saat Pak Muz menjelaskan mengapa Anna melakukan perjuangan menaikan harkat Ibu dan wanita. Anna menyesal ketika Ibunya meninggal, dirinya sedang bertengkar dengan Ibunya. Demikian juga yang aku alami waktu itu—aku sedang bertengkar dengan Ibu di rumah. Makanya, sepulang dari sana, aku lekas memeluk Ibuku dan meminta maaf. Dan sejak saat itu, aku menyadari, betapa Pak Muz sangat menghormati seorang wanita—seperti ia menghargai Ibunya sendiri.
3. Makan Sederhana dan Kehangatan Keluarga
Mengenal Pak Muz juga seperti melihat sebuah kesederhanaan. Akan tetapi kau jangan meremehkan bagaimana kesederhanaan di dalam diri Pak Muz. Karena kesederhanaan yang aku maksud, seperti sebuah samudra luas—menyimpan banyak makna. Dan semuanya itu tampak bagaimana ketika Pak Muz memerlakukan makanan. Dapat dikatakan, ruang makan—dalam keluarga Pak Muz—adalah jantung bagi denyut kehangatan keluarga berasal. Semua hal dimulai pada ruangan itu. Keluarga yang baik seakan ikut dibanguan juga dari ruang makan yang baik juga. Pun Pak Muz—sebagai kepala keluarga—seakan berusaha untuk menjaga bagaimana ruang makan dan dapur berfungsi sebagaimana mustinya. Sebagai penyantu kehangatan keluarga.
Ruang makan selalu menjadi awal dari segala hal. Di sana semuanya berawal, dan sekaligus berhakhir. Apapun seakan dimulai dari ruangan itu. Semua ini tampak ketika aku mulai hidup dan melihat bagaimana keluarga Pak Muz mengawali segalanya. Seperti sarapan, makan siang, atau makan sore. Pak Muz acap mengusahakan agar semua anggota keluarganya berkumpul. Lalu, waktu mereka semua sudah berkumpul, acara makan dimulai dengan suasana akrab dan santai. Para anggota keluarga Pak Muz akan bercerita tentang apa-apa yang dilaluinya. Baik itu merupakan masalah, atau sesuatu yang mungkin harus didiskusikan secara serius kepada anggota keluarga lain. Tidak aneh, akhirnya sering terjadi ketegangan atau perdebatan kecil di atas meja makan. Akan tetapi, bagi Pak Muz itu sesuatu yang penting. Tidak ada sebuah keluarga yang bisa hidup tanpa konflik. Karena dengan adanya konflik inilah hubungan keluarga semakin akrab dan terbuka.
Dari semua yang sering terjadi di atas meja makan itu, aku selalu melihat satu hal yang menarik dan ganjil. Setiap ada masalah di salah satu anggota keluarga, Pak Muz selalu mengeluarkan makan khusus untuk menemani anggota keluarganya untuk didiskusikan dan menemukan solusi yang tepat. Makanan itu adalah sebuah sambal yang cukup pedas. Jadi, ketika berdiskusi dan berdebat atas suatu masalah di atas meja makan, anggota keluarga akan mengudap makanan dengan sambal yang dibuat oleh istri Pak Muz. Pedasanya sambel inilah yang nantinya membuat anggota keluarga dapat mengeluarkan segala masalahnya dengan tuntas—seperti keringat. Pak Muz sendiri memang sedikit memiliki keyakinan ganjil, bahwa letak masalah sebenarnya ada di balik pori-pori kulit. Masalah itu bisa dikeluarkan apabila tubuh dipacu untuk bergerak dan berkeringat. Akan tetapi, Pak Muz punya cara lain untuk mengeluarkan keringat tersebut. Cara itu adalah dengan memakan sambel.
Misalahnya, satu kejadian itu. Aku masih ingat bagaimana kekasihmu pernah memiliki masalah. Ia datang ke rumah dan lekas memesan kepada Ibunya kalau ingin dibuatkan sambel yang pedas. Anggota kelaurga yang lain lekas mengetahui bahwa ada sesuatu yang ingin dibicarakan oleh kekasihmu. Melalui sambel itu, adalah tanda kalau ada masalah yang ingin diungkapkan oleh anaknya. Akhirnya, Ibu kekasihmu lekas membuatkan sambel. Anggota keluarga yang lain pun ikut berkumpul menanti sesuatu dari mulut kekasihmu. Begitulah. Akhirnya kekasihmu menyatap sambel pedas itu. Di tengah rasa panas di lidah karena mengudap sambel, kekasihmu bercerita banyak tentang masalahnya. Ia dengan terang dan sesekali menitikan air mata, menyatakan segalanya kepada keluarga. Sampai kemudian, satu persatu anggota keluarga terlibat diskusi untuk menemukan titip temu yang sesuai.
Ini mungkin hanya satu contoh kecil saja. Apabila kau ingin mengetahui lebih banyak tentang bagaimana keluarga ini memperlakukan makanan sebagai bagian dari perekat keluarga, aku menyerankan agar secepatnya temui keluarga kekasihmu. Kau akan melihat, bagaimana makanan bekerja bukannya hanya sebagai pelengkap isi perut. Akan tetapi makanan juga bekerja sebagai satu metode untuk merekatkan kasih sayang di antara keluarga.
4. Berlari-Lari Setiap Pagi
Di dalam hati yang lembut milik Pak Muz, terdapat jiwa yang kuat. Jiwa yang kuat ini diperoleh Pak Muz dengan cara melatih tubuhnya setiap pagi. Kau tahu, hampir setiap pagi Pak Muz berlari kurang lebih sejauh 10 KM. Pak Muz percaya tubuh yang kuat akan membentuk mental yang baik juga. Karena kekuatan tubuh, seperti kekuatan pada pikiran dan jiwa. Semua ini saling terhubung dan membangun satu dengan yang lain. Aku pun secara pribadi pernah ikut berlari bersama Pak Muz sejauh 5 KM mengelilingi Sidoarum. Akan tetapi, belum genap 5 KM, aku sudah diserang rasa lelah. Kepalaku dibuat berkunang karena kehabisan udara dan cairan. Lalu, tenggorokanku menjadi sangat kering. Sampai aku sendiri waktu itu tak bisa menelan ludahku sendiri. Bahkan otot-ototku menjadi tegang karena terus berlari.
“Aku menyerah,” kataku Pak Muz waktu itu. “Aku benar-benar tidak sanggup.”
“Jangan sampai kalah dengan pikiranmu sendiri,” jawab Pak Muz. “Semua yang kau pikirkan itu hanya ilusi atas rasa takutmu. Kau terlalu mabuk oleh bisikan pikiranmu. Seharusnya, kaulah yang mengendalikan diri dan pikiranmu. Bukan malah sebaliknya.”
“Tapi aku merasa otot-ototku mau putus Pak.”
“Sudah aku katakan itu hanya bayang-bayang ketakutanmu saja,” timpal Pak Muz. “Ototmu baik-baik saja. Mereka masih kuat menompang tubuhmu walau berlari sepanjang 30 KM. Kau tahu? Berlari itu juga seperti melatih jiwa dan mentalmu. Ketika kita berlari, kita akan melawan jiwa dan mental kita sendiri. Kita harus menundukan segala egoisme dan hasarat. Kita harus tenang.”
Akhirnya, pada hari itu, aku mendapatkan mata kuliah filsafat berlari 2 sks yang mungkin akan bernilai buruk. Pak Muz banyak menjabarkan mengenai berlari sebagai upaya bertarung dengan diri sendiri. Dengan berlari, tubuh seakan dipacu untuk tetap bugar dan sehat. Akan tetapi, di sisi emperik, berlari seperti menempa mental dan jiwa untuk menjadi lebih kuat. Inilah yang kemudian membuatku berpikir kalau Pak Muz mempunyai renung yang cukup dalam atas segala hal yang dilakukannya. Bahkan beberapa tahun kemudian, aku bertemu sebuah buku lawas yang membahas tentang lari dan jiwa berjudulu: What I Talk About, Whet I Talk About Run.
5. Tidur Sebagai Meditasi
Pak pernah berkata kepadaku: “Tidurlah dengan cukup!”
Waktu itu aku memang terlalu sibuk dengan tugas rumah dan segala sesuatu yang ingin lekas diselesaikan. Akhirnya, aku menjadi mengabaikan tidurku. Tubuhku menjadi lemas dan mulutku sering menguap. Pak Muz lekas menjelaskan kalau tidur bagian dari meditasi.
“Dengan tidur manusia berada di dalam puncak kestabilan tubuh dan pikirannya. Maka penting bagi seorang manuisa untuk tidur dengan cukup. Kau bisa membayangkan bukan? Dunia yang penuh masalah ini akan semakin rumit dilalui tanpa tidur. Tuhan menciptakan tidur sebagai jeda bagi manusia berpikir dan menempa tubuhnya. Maka tidur. Itu adalah upaya meditasi mengembalikan keseimbangan jiwamu yang goyah.”
Mendengar itu, akhirnya aku tertidur. Dan ketika terbangun, aku baru sadar bahwa tubuhnku menjadi kembali segar.
6. Kecintaan Pada Buku
Kau tidak perlu kaget apabila datang ke rumah Pak Muz menemui setumpuk buku di ruang keluarga atau perpustakaanya. Pak Muz adalah seorang pencinta buku. Mungkin kau pun memiliki kegemaran yang serupa. Kelak, kalian akan menjadi dekat karena kegemaran ini. Akan tetapi, sebagai seorang pecinta buku, Pak Muz memerlakukan buku-bukunya begitu layak dan pantas ditiru. Ia merawat buku-bukunya sama seperti menjaga anak-anaknya sendiri. Ia seperti mencintai buku-bukunya dengan penuh kasih sayang, dan pengharagaan. Bahkan aku beberapa kali melihat bagaimana Pak Muz ketika membuka salah satu segel bukunya. Ia membuka segel buku itu dengan hati-hati—seperti seorang suami muda yang menuntun istrinya di malam pertama.
“Segala apapun yang kita punya, anggaplah sebagai bagian dari diri kita. Bahkan keluarga kita,” jelas Pak Muz.
Karena penjelas ini kemudian aku menjadi tidak kaget apabila Pak Muz memerlakukan buku-bukunya seperti sedikit berlebihan. Kau sendiri pasti tidak percaya. Akan tetapi bila kau datang ke perpustakaan kecil Pak Muz, kau tidak hanya akan menemui buku yang tersusun berdasarkan indeks. Kau akan melihat bagaimana buku disusun berdasarkan sejarah dan riwayat si penulis. Pernah aku melihat buku Hemingway sangat berjauhuan dengan William Fuckler. Demikian juga buku-buku Goenawan Muhamad dengan Saut Sitomurang. Mereka memang sengaja dijauhkan agar tidak terjadi konflik khusus di rak buku tersebut.
“Buku-buku ini bukan benda mati,” ungkap Pak Muz menerangkan. “Buku-buku ini adalah olah perdebatan atas konflik dan kegelisahan. Aku tidak ingin merusak intelektualitas yang sudah ada dengan mensejajarkan dua penulis yang bertengkar ini.”
Demikianlah aku memahami Pak Muz. Ia bekerja tidak hanya dengan pikirannya saja. Akan tetapi juga dengan hatinya.
7. Filosofi Membaca Buku
Dahulu aku memiliki masalah yang tidak terlalu pelik, tapi cukup merepotkanku. Akhirnya karena tidak ingin memikirkannya, aku beralih ke kesibukan lainnya. Salah satunya membaca. Akan tetapi aku seperti tidak betah dan merasa bahwa masalahku semakin banyak dengan membaca, aku meninggalkannya. Mengetahui ini Pak Muz pun memberikanku petuah.
“Selesaikanlah apa yang kamu mulai,” tutur pria itu. Tidak paham dengan maksudnya, aku hanya diam mengawasi. Ia malah mengambilkan buku yang sempat kubaca dan ditinggalkan itu. Sambil menyodorkannya kepadaku, Pak Muz berkata bijak. “Membaca buku juga melatih kesabaran dalam menyelesaikan masalah. Semua masalah di dunia ini bisa diselesaikan dengan ketekuan dan kesabaran. Dan hal yang demikian, mirip dengan membaca. Kau harus sabar menuntaskan satu masalah dalam sebuah kata, kalimat, dan paragraf.”
Aku mengangguk dan melanjutkan bacaanku.
***
Membaca semua yang tercatum di dalam surat itu membuat Anda termenung. Si penulis surat itu seakan begitu tahu, tentang apa-apa saja dari sosok Pak Muz yang akan Anda temui dalam waktu beberapa hari ke depan. Akan tetapi, Anda tidak tahu, siapa sosok pengirim surat itu. Hanya terdapat sebuah nama inisial, dan keterangan kalau apabila ingin menuju tempat si penulis surat, dibutuhkan waktu lima tahun. Anda menimang siapa nama dibalik singkatan KML itu. Sampai tidak lama kemudian, kekasihnya datang ke kontrakan membawakan nasi uduk pesanannya.
Kekasihnya itu lantas menayangkan kepada Anda, apa yang sedang dibacanya itu. Anda lekas menjelaskan perihal surat tersebut.
“Aku mendapatkan sebuah surat yang menjelaskan banyak tentang ayahmu?” Kata Anda.
Wanita itu seperti kebingungan. “Sebuah surat tentang ayahku? Memang siap pengirimnya.”
Anda pun memberikan surat itu kepada kekasihnya. Wanita itu cepat membaca dan menemukan segala mengenai Ayahnya yang tertulis secara tepat. Wanita itu menjadi bingung. Ia merasa ada yang aneh dengan surat itu. Sementara Anda, kembali menjabarkan isi surat yang sangat ganjil, serta menujukan inisal nama si penulis. Anda menceritan kalau surat itu ditulis oleh KML. Dan kekasihnya, merasa tidak asing dengan nama itu. Bahkan ketika melihat cara bertutur yang belepotan di dalam surat itu, kekasih Anda seperti sedang berpikir kalau surat itu ditulis oleh seorang remaja.
“Ini bukan dari mantan kekasihmukan?” Tanya Anda.
Kekasih Anda menggeleng lagi. Ia menjelaskan bahwa sepanjang hidup belum pernah pacaran selain dengan Anda. Hanya wanita itu tiba-tiba ingat, inisial itu sebagai singkatan dari Kumala—nama yang ingin diberikan apabila memiliki anak kelak.
Kekasih Anda berkata: “Apakah ada seseorang dari masa depan datang memberikan kotak ini kepadamu? Apakah kau tidak ingat, kalau kau ingin memberi nama Kumala pada anakmu kelak. Kata KML, berasal dari kata KuMaLa.”
Anda tercenung. Anda tiba-tiba memikirkan sebuah film berjudul Time Machine dan sebuah penjelajahan waktu ke masa depan dan masa lalu. (*)
Risda Nur Widia adalah alumni Pascasarjana PBSI UNY. Karyanya sudah dimuat di media lokal dan nasional. Buku tunggalnya: Berburu Buaya di Hindia Timur.
Beritabaru.co menerima karya berupa cerpen dan puisi untuk dimuat di hari Sabtu dan Minggu. Silakan kirimkan karya kalian ke sastraberitabaru@gmail.com beserta biodata dan nomer rekening dalam satu file word. |