FITRA Catat Tiga Ketimpangan Kebijakan dan Anggaran Bagi Penyandang Disabilitas
Berita Baru, Jakarta – Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) mengungkapkan, Pembangunan Inklusif Disabilitas merupakan langkah untuk menjamin seluruh kelompok masyarakat, khususnya penyandang disabilitas.
Melalui upaya ini, kelompok disabilitas dapat terlibat dalam seluruh proses pembangunan, baik pada proses perencanaan pembangunan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, maupun evaluasi pembangunan.
“Tujuannya untuk mencapai masyarakat inklusif yang dapat mengakomodasi perbedaan dan menghargai keberagaman,” terang Sekjend FITRA, Misbah Hasan melalui keterangan tertulis kepada Beritabaru.co, Kamis (03/12).
Menurut Misbah, langkah ini penting dilakukan, mengingat pada kenyataannya peran penyandang disabilitas di dalam masyarakat masih terstigma, masih terpinggirkan dan belum sepenuhnya dilihat sebagai individu yang memiliki hak yang sama untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan.
“Stigma dan diskriminasi menjadi penghambat utama yang meminggirkan para penyandang disabilitas dari peran-peran sosial,” tambahnya.
Secara khusus, Seknas FITRA juga memberikan tiga catatan terkait implementasi kebijakan dan anggaran untuk disabilitas pasca disahkannya UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pertama, kebijakan anggaran untuk disabilitas masih memakai paradigma charity-base. Paradigma ini, kata Misbah, menyebabkan struktur anggaran disabilitas masih didominasi oleh program dan kegiatan yang bersifat bantuan sosial.
“Alokasi anggaran terbesar untuk disabilitas terdapat di Kementrian Sosial terutama untuk kegiatan rehabilitasi sosial. Alokasi anggaran ini cenderung menurun setiap tahun. Hal ini tentu menjadi pertanyaan mengenai keseriusan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang inklusi bagi penyandang disabiltas,” terangnya.
Kedua, ketimpangan kesempatan dan peran serta masyarakat disabilitas di dalam dunia kerja masih sangat tinggi.
Hingga saat ini, lanjutnya, penyandang disabilitas kerap mengalami hambatan dalam memperoleh kesempatan bekerja, serta mengalami perlakuan yang berbeda dari para pemberi kerja.
“Data itu menunjukkan masih terjadi ketimpangan yang cukup besar antara pekerja penyandang disabilitas dengan pekerja non-disabilitas. Dalam kurun waktu 2016 – 2019 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penyandang disabilitas semakin menurun. Hal ini menjelaskan kondisi dan kesulitan bagi para penyandang disabilitas untuk mengakses dunia kerja,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Misbah juga menggarisbawahi masih rendahnya TPAK bagi penyandang disabilitas perempuan dibandingkan laki-laki.
“Pada tahun 2019, TPAK bagi penyandang disabilitas perempuan hanya sebesar 33,96 persen, sedangkan laki-laki sebesar 60,06 persen,” tegasnya.
Ketiga, sebanyak 1,37 Juta orang atau sekitar 72 persen penyandang disabilitas bekerja pada sektor informal.
Kondisi ini, menurut FITRA, menyebabkan tingkat kerentanan sosial dan ekonomi yang sangat tinggi bagi para penyandang disabilitas. Persentase tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan persentase masyarakat non-disabilitas yang bekerja di sektor informal.
“Selain itu, penyandang disabilitas juga mengalami diskriminasi dalam pengupahan. Keterbatasan ruang bekerja bagi disabilitas sangat berpengaruh terhadap kesempatan pemenuhan hak lainnya bagi penyandang disabilitas, seperti hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dll,” pungkas Misbah.