LeoLabs Laporkan Tumpukan Sampah Luar Angkasa Bertabrakan Mendekati Bumi
Berita Baru, Internasional – Tumpukan sampah-sampah di luar angkasa dikabarkan akan saling bertabrakan dan meluncur, menabrak, mendekati bumi pada Jumat (16/10) pukul 00.56 GMT atau 07.56 WIB.
Menurut laporan LeoLabs, perusahaan pelacakan yang berbasis di California, Amerika Serikat (AS), pertemuan itu akan berlangsung 616 mil (991 kilometer) di atas Samudera Atlantik Selatan yang berlokasi tak jauh dari pantai Antartika.
Seperti dikutip dari space, prediksi terbaru LeoLabs menyebut bahwa probabilitas tabrakan lebih dari 10 persen. Angka ini termasuk tinggi mengingat massa gabungan benda-benda itu sekira 6.170 Ibs (2.800 kilogram) dan mereka akan meluncur dengan kecepatan relatif 32.900 mph (52.950 km per jam).
“Peristiwa ini terus berisiko sangat tinggi dan kemungkinan akan tetap seperti ini selama waktu pendekatan terjadi,” tulis LeoLabs lewat akun twitter.
Hal serupa juga disampaikan astronom dan pelacak satelit, Jonathan McDowell. Ia mengidentifikasi dua objek tersebut sebagai Satelit Navigasi Soviet yang telah mati dan dikenal sebagai Parus atau Kosmos 2004 dan roket Stage milik China.
Pada Februari 2009, satelit komunikasi operasional Iridium 33 bertabrakan dengan satelit militer Rusia Kosmos 2251 yang telah mati. Tabrakan itu menghasilkan 1.800 keping puing yang dapat dilacak pada Oktober berikutnya.
Manusia juga pernah memunculkan awan puing besar secara sengaja pada masa uji antisatelit pada 2007 dan 2019 yang masing-masing dilakukan oleh China dan India. Peristiwa potensi terjadinya tabrakan puing-puing ini akan meningkatkan ancaman bagi penerbangan luar angkasa.
Melansir Live Science, sampah luar angkasa dari bumi terus bertambah pasca peluncuran Sputnik 1, satelit buatan pertama yang diorbitkan pada Oktober 1957.
Laporan tahunan dari Badan Antariksa Eropa (ESA) menyebut semakin banyak objek mati yang memenuhi ruang di dekat Bumi dan meningkatkan risiko tabrakan satu sama lain. Ketika satelit ini saling bertabrakan, mereka akan jatuh dan pecah, menghasilkan lebih banyak lagi puing-puing ruang angkasa.
ESA menegaskan mereka tidak hanya menyaksikan dua satelit besar mati yang hampir bertabrakan, tetapi Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) harus melakukan manuver darurat tiga kali untuk menghindari bertabrakan dengan puing-puing ruang angkasa.
Kendati demikian menurut laporan ESA, tabrakan tersebut tidak menjadi masalah besar. Dalam 10 tahun terakhir, tabrakan hanya menyebabkan 0,83 persen dari semua peristiwa fragmentasi.
“Penyumbang terbesar masalah puing-puing luar angkasa saat ini adalah ledakan di orbit, yang disebabkan oleh sisa energi bahan bakar dan baterai pesawat ruang angkasa dan roket,” kata Holger Krag, Kepala Program Keamanan Luar Angkasa ESA.
Masalah sampah antariksa pertama kali diangkat pada 1960-an, tetapi butuh waktu lama untuk mengidentifikasi dan menerapkan langkah-langkah mitigasi. Sekarang, negara antariksa jauh lebih baik dalam merencanakan apa yang akan terjadi pada satelit dan roket di akhir misi mereka.
Selama beberapa dekade, pendorong roket ditinggalkan begitu saja begitu mereka mengirimkan muatan mereka ke orbit rendah Bumi. Beberapa booster yang dibuang itu telah ada selama beberapa dekade.
Kabar baiknya adalah, dalam dekade terakhir, telah terjadi peningkatan jumlah negara penjelajah antariksa yang mematuhi pedoman internasional soal sampah atau puing-puing ruang angkasa.
StarLink SpaceX sendiri telah menempatkan ratusan satelit di orbit rendah Bumi. Jadi, kata ESA, siapa pun harus mau menjaga sudut kecil ruang angkasa sebersih mungkin.
Saat ini ESA secara aktif bekerja mengatasi sampah luar angkasa ini. Mereka telah menugaskan proyek untuk mencoba mengumpulkan puing-puing ruang angkasa, dengan bukti konsep yang akan diluncurkan pada 2025.
Mereka juga mencoba mengembangkan teknologi untuk mengotomatiskan manuver penghindaran tabrakan, sehingga manusia tidak perlu melacak dan mengontrol setiap peralatan atau satelit yang dinonaktifkan di ruang rendah Bumi.
“Puing-puing ruang angkasa menimbulkan masalah bagi lingkungan dekat Bumi dalam skala global, yang telah disumbangkan oleh semua negara penjelajah ruang angkasa,” tulis ESA.