Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Perempuan Racun | Cerpen A. Khotibul Umam
Original oil painting woman in red dress by JBeaudetStudios

Perempuan Racun | Cerpen A. Khotibul Umam



Di gubug lapuk yang berdiri di tepi hutan pegunungan Okinawa, perempuan itu tinggal seorang diri. Gubug itu sangat tua. Atapnya terbuat dari jalinan daun rumbia. Dindingnya terbuat dari susunan kayu yang kian lapuk dimakan usia.

Di sekeliling gubug itu tumbuh pohon mapel, pohon sakura dan pohon-pohon lain yang entah apa namanya. Di belakang gubuk sana terdapat juga—sebuah makam yang hampir seluruh nisannya telah retak dan kusam pula. Dan di balik rimbun pepohonan di sebelah barat gubug itu, terletaklah  sebuah desa yang tidak terlalu ramai penduduknya.

Dulunya perempuan itu tinggal bersama seorang nenek. Namun ketika umurnya menginjak sembilan tahun, nenek itu meninggal. Dan melalui tangan-tangan penduduk desa, mayat nenek itu dimakamkan di belakang gubug. Sejak saat itu, hanya kesepian dan kesunyianlah yang kerap menemani hidupnya. Kadang pula kicau burung yang bercengkrama di ranting pepohonan.

Ketika waktu menandakan pagi yang sudah sempurna, perempuan itu selalu pergi ke hutan. Di tengah hutan itu terdapat sebuah telaga yang terletak di bawah air terjun yang airnya tidak pernah kering meski pada musim kemarau yang panjang. Ia selalu mandi di telaga itu. Ia juga selalu membawa pakaian kotor dan mencucinya di sana. Ketika ia lapar, tidak ada orang lain kecuali hutan itu yang selalu memberinya makanan. Bukan buah-buahan, bukan pula umbi-umbian. Namun kalajengking, tarantula, kelabang, kadang juga ular. Begitu ia menemukan binatang-binatang itu sedang berkeliaran di lantai hutan, perempuan itu dengan lekas menangkapnya, dan langsung menyantapnya saat itu juga.

Apa perempuan itu tidak mati keracunan? Tidak. Sejak lahir, ia memang sudah memakan apa pun yang beracun. Seakan di dunia ini tidak ada makanan lain yang pantas ia telan kecuali makanan yang mengandung racun. Apa ia kenyang? Tentu saja, perempuan itu kenyang. Ia pulang ke gubugnya begitu rasa laparnya lenyap. Sayang sekali, pagi itu ia tidak menemukan seekor ular pun di hutan. Tapi ia berharap sore nanti akan menemukannya supaya bisa dijadikan santapan makan malam.

Sepulangnya dari telaga, perempuan itu menjemur pakaian yang baru selesai ia cuci di samping gubug. Saat itu rasa dahaga tiba-tiba hinggap di tenggorokannya. Ia pun bergegas menyelesaikan pekerjaannya, lalu masuk gubug untuk minum. Di dalam gubug, tepat di sudut paling belakang, terdapat sebuah bejana besar yang diletakkan di atas tungku. Perempuan itu mengambil gayung tempurung, membuka papan kayu kecil penutup bejana, lalu menggayung ke dalamnya. Ia pun minum dengan lahap. Tetapi anehnya, bejana itu tidak berisikan air sebagaimana biasa. Bejana itu hanya berisikan katak-katak beracun berukuran besar yang direbus sehingga airnya berwarna agak kehijauan.

Meski setiap hari memakan racun, perempuan itu tetap cantik dengan kulit yang putih seputih tepung dan embun pagi. Tubuhnya yang ramping, sangat serasi dengan rambut panjangnya yang selalu menutupi lehernya yang jenjang. Bibir dan mata sipitnya, akan mampu membuat jantung para lelaki yang melihatnya berdegub kian kencang. Namun, sejak peristiwa yang terjadi beberapa tahun silam itu, tak ada lagi laki-laki penduduk desa yang berani mendekatinya.

Peristiwa itu terjadi ketika usianya masih tiga belas tahun. Di usia semuda itu, rona kecantikan telah memancar terang di wajahnya. Pagi itu, seperti bisa ia pergi ke telaga untuk mandi dan mencuci. Tubuhnya hanya dibalut sehelai kain. Ketika ia hendak pulang, tiba-tiba saja muncul tiga orang lelaki dari balik semak-semak di tepi telaga. Mereka mendatanginya dengan senyum terkulum dan mengepungnya dengan tatapan penuh nafsu.

“Mau apa kalian?” gumam perempuan itu penuh ragu.

“Jangan takut. Kau akan bahagia.”

Dalam hitungan menit kemudian, salah seorang dari mereka telah menindih tubuh perempuan itu. Ia mencoba meronta sekuat tenaga. Namun, dua orang yang lain memeganginya. Lalu secara tiba-tiba tubuh lelaki yang menindihnya itu rubuh setelah mencium bibirnya. Tubuh yang terjatuh itu menggeliat-geliat dengan mulut mengeluarkan banyak sekali darah. Sesaat kemudian tubuh itu pun menjadi kaku dan tak bernyawa. Perempuan itu heran. Saat itu ia merasa tubuhnya benar-benar telah menyatu dengan racun. Bahkan air liurnya pun begitu.

Dua lelaki yang memegang perempuan itu pun lari tunggang langgang menyaksikan kejadian itu. Begitu sampai di desa, mereka menceritakan apa yang terjadi kepada para penduduk. Sejak itu juga ia dianggap berbahaya karena diduga mempunyai ilmu hitam. Dua hari kemudian, ketika ia pergi ke pasar desa untuk membeli sesuatu, para penduduk desa mengusirnya.

***

Perempuan itu memang terlahir sebagai seorang pemakan racun. Ia lahir dengan nama Aiko. Ia lahir tanpa orang tua. Ia hanya punya nenek yang beberapa tahun lalu telah meninggal itu. Sampai saat ini ia tidak tahu jika ia dilahirkan berkat keinginan sang nenek.

Dulu, sebelum Aiko dilahirkan, nenek itu tinggal seorang diri gubug itu. Ia tidak mempunyai satu pun keturunan. Suaminya telah sejak lama meninggalkannya sebab ia tak bisa memberikannya keturunan. Suatu hari nenek itu pergi ke hutan mencari kayu bakar. Di tengah hutan ia bersandar pada batang pohon yang besar dan rindang. Mungkin karena kelelahan.

“Seandainya saya punya anak, bagaimana pun wujudnya, pasti saya tidak akan kesepian seperti ini,” ia menggumam.

Lalu tiba-tiba langit yang cerah siang itu berubah mendung. Angin berembus kencang menggugurkan dedaunan. Di hadapannya terbentuk segumpal awan. Lalu dari dalam awan itu muncul sosok yang bercahaya.

“Siapa kamu?” tanya nenek itu.

“Aku dewa kelahiran,” jawab sosok itu dengan suara yang menggelegar. “Aku akan memberikanmu seorang anak perempuan. Rawat dia baik-baik. Kelak ketika sudah besar, ia akan menjadi perempuan tercantik di kawasan ini. Atau bahkan di seluruh penjuru kota ini.”

“Apa itu artinya hamba akan hamil, paduka?” tanya nenek itu sambil bersujud.

“Tentu saja tidak! Rebuslah lima belas ekor katak beracun di dalam bejana. Diamkan selama tiga hari tiga malam. Di hari terakhir, akan ada anak yang kau idam-idamkan di dalam bejana itu. Mengerti?”

“Mengerti, paduka.” Jawab nenek itu sambil menganggukkan kepalanya.

“Tapi ingat! Seumur hidupnya, anak itu akan memakan racun sampai ia menemukan lelaki

yang mau menerima dan mencintainya, bagaimana pun keadaannya.!”

Dan begitulah, sekarang anak itu telah tumbuh menjadi perempuan yang benar-benar cantik luar biasa. Di usianya yang kini menginjak tiga puluh tahun, Aiko mulai gusar sebab tak ada seorang lelaki pun yang mau mendekatinya. Hari-harinya ia lalui hanya dengan kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan. Ia sering duduk di pintu gubug dan melamun berjam-jam, membayangkannya sendirian; sesosok lelaki macam apa yang akan mau menikahinya. Kemudian ia teringat kembali kejadian tujuh belas tahun yang lalu di tepi telaga. Ia mulai berpikir adakah yang mau mencintainya jika saat mencium bibirnya saja, seorang lelaki akan mati keracunan. Aiko tidak mengerti mengapa ia terlahir sebagai perempuan pemakan racun.

***

Sore itu cuaca cukup cerah ketika Aiko pergi ke hutan untuk mencari makan malam. Di sana ia bertemu seorang lelaki yang sendiri. Lelaki itu memegang panah dan berpakaian layaknya seorang ksatria. Aiko pergi menghindar. Ia tidak ingin hal-hal buruk terjadi. Namun, lelaki itu mengikutinya. “Tunggu, Nona. Kenapa pergi?” panggil lelaki itu.

Aiko diam dan terus saja berjalan dengan cepat menembus rimbun pohonan. Lelaki itu terus mengikutinya. Ketika tiba di tepi telaga, lelaki itu pun berhasil meraih tangan kiri Aiko. Ia pun berhenti, berbalik, dan bertanya: “Ada apa?” tanya Aiko dengan gugup suaranya.

“Bolehkah kita berkenalan? Saya Hayate.”

“Maaf, saya buru-buru.” Sambar Aiko dengan cepat.

“Rumahmu pasti di dekat sini. Bagaimana kalau saya antar pulang?” pinta lelaki itu.

“Tidak usah. Terima kasih.”

“Kamu belum memperkenalkan diri. Nama kamu siapa?”

“Saya biasa dipanggil Aiko.”

Tanpa melanjutkan percakapan, Aiko pun meninggalkan lelaki bernama Hayate itu. Ia berlari menuju gubugnya. Namun, diam-diam Hayate meng ikutinya. Hayate hanya ingin tahu di mana Aiko tinggal. Itu saja. Dan ia pulang setelah tahu bahwa Aiko tinggal di gubug itu.

Keesokan paginya, ketika Aiko kembali dari telaga, ia melihat seekor kuda yang berparas rapi di samping gubugnya. Ia cukup terkejut melihat sosok Hayate sudah berdiri di muka pintu gubugnya.

“Kamu? Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini?” tanya Aiko tak percaya.

“Instingku mengatakan kau tinggal di sini.” Jawab Hayate sambil mengangkat sebelah alisnya.

Sejak itu hampir setiap hari Hayate datang ke gubugnya. Dan akhirnya Aiko pun tahu bahwa Hayate adalah seorang putra mahkota dari sebuah kerajaan di balik hutan.

Di suatu senja yang tenang, Hayate mengajak Aiko pergi ke telaga dengan menunggangi kudanya. Di tepi telaga mereka duduk berhadapan di atas kuda itu.

“Menikahlah denganku, Aiko. Kita akan hidup bahagia.”

Aiko terkejut mendengar perkataan Hayate. Ia pun diam.

“Jawablah, Aiko.”

“Mengapa kau menanyakan ini padaku, Hayate? Aku tidak bisa menikah denganmu. Carilah perempuan lain.” Desah Aiko dengan tatapan mata yang telah banyak menyimpan bulir-bulir air.

“Karena pada kali pertama mataku melihatmu, aku sudah jatuh cinta, Aiko!”

“Namun tetap saja, Hayate. Tetap saja aku tidak bisa!” sangkal Aiko dengan air mata yang sulit di tahan.

“Kenapa Aiko, kenapa? Aku yakin kau juga merasakan hal yang sama denganku! Ayolah, Aiko! Kau tidak akan mampu berdusta pada hatimu sendiri.”

Aiko tak menjawab. Dan mungkin tidak akan pernah menjawabnya. Ia tidak ingin Hayate tahu bahwa ia adalah seorang perempuan pemakan racun. Ia juga tidak ingin Hayate mati setelah menikahinya.

Aiko turun dari kuda. “Mulai sekarang, kumohon jangan temui aku lagi.”

Ia pun berlari meninggalkan Hayate yang bingung seorang diri. Aiko menangis dalam langkahnya. Ia tak dapat membohongi hatinya bahwa sebenarnya ia juga jatuh cinta pada Hayate. Namun, sampai sekarang Aiko tidak tahu bahwa sebenarnya kutukannya akan hilang jika ia menikah dengan Hayate. Sebab, Hayatelah lelaki yang mau menerima dan mencintainya bagaimana pun keadaannya.

Aiko terus berlari. Seret langkahnya semakin cepat membelah hutan yang mulai diselimuti gelap.

Sumenep – Yogyakarta


Perempuan Racun | Cerpen A. Khotibul Umam

A. Khotibul Umam

Mahasiswa Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beberapa karyanya telah tersiar di beberapa media lokal dan nasional di antaranya: Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi dan lain-lain.