Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 5,5 Persen, FITRA: Terlalu Ambisius
Berita Baru, Jakarta – Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen pada tahun 2021 yang disampaikan oleh Presiden dalam pidato kenegaraannya di Sidang Tahunan DPR RI dinilai kurang realistis dan terlalu ambisius di tengah penurunan ekonomi nasional dan global saat ini
“Apalagi pemerintah tidak cukup serius menangani covid-19 dan hanya mengandalkan ditemukannya vaksin. Tidak rasionalnya proyeksi pertumbuhan ekonomi juga dipicu oleh serapan APBN/APBD 2020 yang rendah dan kualitas serapannya perlu dipertanyakan karena tidak mampu dijadikan instrumen pendongkrak pertumbuhan ekonomi sebagai pondasi menuju pencapaian 2021,” ujar Sekretaris Jenderal FITRA, Misbah Hasan.
Misbah menyampaikan bahwa aspek pendapatan negara yang dipatok Rp1776,4 triliun perlu dirasionalisasi. Pada tahun 2021, menurutnya pemerintah belum bisa langsung menggenjot sektor perpajakan karena mobilitas Investasi dan orang tidak seleluasa dulu.
“Alih-alih mendapatkan penambahan pajak, dunia usaha mungkin masih menagih insentif pajak dari pemerintah. Jadi rasionalisasi kenaikan pendapatan negara, terutama dari pertumbuhan penerimaan pajak, dari minus 9,2 persen di 2020 menjadi 5,5 persen di 2021, menurut saya terlalu optimis,” jelas Misbah.
“Yang perlu dirasionalisasi berikutnya adalah pertumbuhan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajka perdagangan internasional,” imbuhnya.
Misbah menilai pemerintah kembali mau fokus pada infrastruktur, hal terseut terlihat dari belanja di KemenPUPR yang naik sangat signifikan hingga Rp149,8 triliun. Jumlah tersebut naik hampir seratus persen dibanding outlook APBN 2020 dan menjadi belanja terbesar K/L.
“Khawatirnya, ini digunakan untuk melanjutkan proyek Ibu Kota Baru, meski tidak dinyatakan saat pidato presiden. Sementara persoalan pandemi dan pemulihan ekonomi masih compang-camping,” paparnya.
Misbah menjelaskan belanja negara tahun 2021 mencapai Rp2.747,5 triliun sedang pendapatan negara ada di angla Rp1.776,4 triliun, hal itu menyebabkan defisit anggaran masih sangat tinggi Rp971,2 triliun atau 5,50 persen dari PDB.
“Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi terlebih dahulu atas serapan anggaran semester 1 2020, sehingga penetapan belanja negara bisa lebih diefisiensikan. Pemerintah sepertinya masih mengandalkan pembiayaan dari utang, penjualan SBN dan utang luar negeri dibanding penghematan anggaran K/L,” jelas Misbah.
“Ini yang harus diwaspadai karena pembayaran bunga utang dan pokok utang sangat membebani APBN ke depan. Bunga Utang di 2019 saja sudah mencapai 17,3 persen dari total APBN apalagi di 2020 dan 2021, pasti angkanya naik signifikan. Pemerintah sebenarnya bisa mengurangi belanja K/L karena terbukti serapannya rendah dan kurang efektif, sehingga defisit anggaran dapat diminimalisir,” imbuhnya.
Hal positif yang disampaikan Presiden terkait RAPBN 2021, lanjut Misbah adalah anggaran ketahanan pangan yang mencapai Rp104,2 triliun. Sektor pertanian patut mendapat support lebih karena terbukti mampu berkontribusi terhadap ketahanan ekonomi nasional di tengah potensi resesi ekonomi.