Penurunan Kemampuan Siswa Akibat Covid-19
Berita Baru, Jakarta — The SMERU Research Institute mendapati beberapa simulasi menunjukkan ditutupnya sekolah akibat pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan kemampuan siswa (learning loss) yang lebih besar dibandingkan akibat libur sekolah.
“Proses pendidikan yang terhenti mendadak dapat menimbulkan scarring. Dampak ini bersifat jangka panjang yang dapat mempengaruhi sisi psikologis dan bahkan pendapatan siswa saat ia dewasa,” tulis lembaga penelitian dan kajian publik The SMERU Research Institute dalam akun twitternya @SMERUInstitute, Selasa (21/7).
Bahkan menurutnya, risiko lebih tinggi yang terkena dampak psikologi akibat terhentinya proses pendidikan adalah siswa dari keluarga miskin atau yang tidak mendapat dukungan kegiatan belajar selama sekolah ditutup.
Oleh sebab itu, SMERU menyebutkan beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI), Dinas Pendidikan setempat, dan pihak sekolah untuk memulihkan penurunan kemampuan siswa saat sekolah kembali dibuka.
“Program RISE telah menyusun pedoman bagi pembuat kebijakan untuk memulihkan penurunan kemampuan siswa akibat pandemi Covid-19,” ungkapnya.
Pedoman RISE, lanjutnya, dapat membantu para pembuat kebijakan dalam mengambil langkah yang tepat ketika sekolah dibuka kembali. Para pembuat kebijakan dapat menerapkan praktik diferensiasi pengajaran yang sesuai dengan wilayah masing-masing demi meningkatkan pembelajaran siswa.
SMERU mengungkapkan, panduan Pedoman RISE memuat tiga bagian, diantaranya pedoman untuk memulihkan penurunan kemampuan siswa, aspek-aspek yang harus diperhatikan ketika sekolah dibuka kembali dan Contoh kegiatan belajar-mengajar.
“Pedoman untuk memulihkan penurunan kemampuan siswa, terdapat 9 langkah yang perlu dilakukan, salah satunya, melakukan asesmen pembelajaran pada semua siswa saat masuk sekolah kembali,” jelasnya.
Selain itu menurut SMERU, menekankan pada upaya menciptakan kemajuan dalam pembelajaran (berdasarkan titik awal kemampuan siswa, bukan berdasarkan standar kurikulum). Serta juga sediakan toolkit yang dapat langsung digunakan oleh guru dalam mempraktikkan diferensiasi pengajaran.
“Aspek-aspek yang harus diperhatikan ketika sekolah dibuka kembali, terdapat 6 aspek yang perlu dipantau oleh Kemenkbud, berkoordinasi dengan Kemendes atau Kemensos agar perubahan pada tingkat sekolah dapat terlihat,” tulis @SMERUInstitute.
Keenam indikator yang harus di pantau oleh pemerintah, yaitu pertama kejadian putus sekolah. Kedua, siswa yang masih belajar dari rumah. Ketiga, tingkat kehadiran, stress, dan motivasi guru. Keempat, pelaksanaan asesmen siswa secara berkala. Kelima, pelaksanaan diferensiasi pengajaran, model diferensiasi pengajaran yang digunakan guru. Dan terakhir, tren pembelajaran berbagai kelompok siswa (langkah ini membutuhkan data asesmen secara terperinci).
“Siklus pemantauan cepat/rapid monitoring cycle perlu dilakukan di awal sekolah dibuka kembali (misalnya, setiap dua minggu sekali). Siklus ini dapat diperpanjang saat kondisi sudah lebih stabil,” ungkap The SMERU Research Institute.
Adapun contoh kegiatan belajar-mengajar, Program RISE merangkum berbagai model diferensiasi pengajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan hasil pembelajaran, terutama untuk siswa berkemampuan akademik rendah dalam mengejar ketertinggalan.