Masyarakat Desa Mayoritas Dukung RUU Cipta Kerja
Berita Baru, Jakarta — Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei Sikap Publik Terhadap RUU Cipta Kerja. SMRC mendapati persentase warga yang menyatakan tahu RUU Cipta Kerja masih relatif rendah. Survei menunjukkan, baru 26% yang tahu RUU Cipta Kerja dan 74% masih belum tahu.
“Terkait dengan pendidikan, menunjukkan sekitar 49% warga berpendidikan Perguruan Tinggi tahu RUU Cipta Kerja, sementara yang berpendidikan SMA hanya 30%, yang berpendidikan SMP 15 %, yang berpendidikan SD atau kurang hanya 17%,” kata Deni Irvani, Derektur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Selasa (14/7).
Direktur SMRC Deni mengatakan dukungan terhadap pengesahan RUU Cipta kerja terlihat lebih kuat di kalangan mereka yang berpendidikan dan status sosial lebih rendah dan tinggal di pedesaan.
Deni menunjukkan, dari hasil sruvei ada sekitar 42% kalangan berpendidikan tinggi menolak RUU Cipta Kerja, sementara yang menolak di kalangan mereka yang berpendidikan SD atau kurang hanya 33%, yang berpendidikan SMP 23%, dan berpendidikan SMA 39%.
“Dengan kata lain, mereka yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih tahu tentang RUU Cipta Kerja, namun juga lebih tinggi kecenderungannya untuk menolak RUU disahkan pada Agustus ini,” ujarnya.
Selain itu, SMRC juga menemukan hal serupa terlihat dalam tingkat pendapatan. Dari hasil temuannya, ada sekitar 46% warga berpendapatan di atas Rp 4 juta rupiah per bulan mengetahui RUU Cipta kerja, sementara yang tahu di kalangan berpendapatan di bawah Rp 1 juta hanya 16%; antara Rp 1-2 juta 22%; dan antara Rp 3-4 juta 30%.
“Di antara mereka yang tahu RUU Cipta Kerja, 54% warga berpenghasilan di atas Rp 4 juta menolak RUU cipta kerja; sementara yang menolak RUU Cipta Kerja di kalangan berpendapatan Rp 1 Juta atau kurang hanya 29%; yang berpendapatan Rp 1-2 juta 32 %; dan berpendapatan Rp 3-4 juta SMA 33%,” ungkapnya.
Masyarakat perkotaan pun begitu, lanjut SMRC, karena memiliki kecenderungan lebih tinggi mengetahui RUU Cipta Kerja , mereka juga cenderung untuk menolak pengesahan RUU yang ditarget selesai bulan Agustus 2020.
“Persentase warga kota yang mengetahui RUU Cipta Kerja (30%) lebih tinggi dari persentase warga desa yang tahu (22%). Di antara yang tahu, persentase warga kota yang mendukung RUU Cipta Kerja (49%) lebih rendah dari persentase warga desa yang mendukung (57%),” terangnya.
Bila dilihat dari pekerjaan/profesi, menurut Deni, setidaknya ada tiga kelompok yang paling tinggi persentasenya mengetahui RUU Cipta kerja, yaitu pegawai/guru/dosen/profesional (40%), supir/ojek (38%), dan pedagang besar/wiraswasta (35%). Yang paling rendah persentasenya adalah ibu rumah tangga (15%), petani/peternak/nelayan (19 %) dan pengangguran (21%).
“Di antara yang tahu, kelompok yang paling tinggi persentasenya mendukung RUU Cipta Kerja disahkan adalah petani/peternak/nelayan (68% ), dan ibu rumah tangga (65%). Yang juga tinggi dukungannya adalah pedagang warung/kaki lima (54%), pengangguran (54%), pegawai/guru/dosen/profesional (53%), dan buruh/pembantu/satpam/pekerja tidak tetap (52%),” tuturnya.
Menurut Deni, gambaran ini cukup kontras dibandingkan dengan kalangan pedagang besar/wiraswasta. Dari kelompok profesi ini, hanya 39% yang mendukung sementara 45% tidak mendukung.
“Bila dilihat dari sisi usia, kalangan yang berusia lebih muda lebih tahu tentang RUU Cipta Kerja, namun juga lebih tinggi kecenderungannya untuk menolak pengesahan RUU Cipta kerja pada Agustus 2020,” ungkap Deni.
Dalam kelompok ini, SMRC memperoleh data bahwa di bawah usia 21 tahun, 35% tahu RUU Cipta kerja. Di kalangan 22-25 tahun 32%, usia 26-40 24%, usia 41-55 27%, dan di atas 55 tahun 19%.
“Persentase warga berusia lebih tua yang mendukung RUU Cipta Kerja agar disahkan pada Agustus 2020 cenderung lebih tinggi daripada yang berusia lebih muda. Sekitar 64% mereka yang berusia di atas 55 tahun mendukung, sementara yang mendukung dari kelompok usia 41-55 tahun hanya 59%, usia 26-40 tahun 47%, usia 22-25 tahun 45%, dan di bawah usia 21 tahun 50%,” pungkasnya.