Tambang Batu Giok Longsor, 126 Buruh Tewas
Berita Baru, Internasioal – Sebanyak 126 orang tewas dalam tragedi tanah longsor di sebuah tambang batu giok di Myanmar, kata pihak berwenang pada hari Kamis (2/7). Longsor terjadi setelah tumpukan limbah pertambangan runtuh ke danau dan menimpa para pekerja di bawah lumpur dan air.
Para penambang yang mengumpulkan batu-batu di daerah Hpakant di negara bagian Kachin, pusat industri batu giok rahasia Myanmar harus tertimpa longsoran lumpur saat hujan lebat.
Menjelang petang, petugas penyelamat telah menemukan 126 mayat, kata departemen itu, tetapi lebih banyak yang hilang.
“Mayat lain berada di lumpur,” kata Tar Lin Maung, seorang pejabat kementerian informasi, mengatakan kepada Reuters melalui telepon. “Jumlahnya akan meningkat,” tambahnya.
Tanah longsor yang membahayakan dan kecelakaan lainnya sering terjadi di tambang-tambang Hpakant, tempat para buruh tambang dari seluruh Myanmar mencari permata yang sebagian besar diekspor ke China. Kecelakaan yang terjadi pada Kamis adalah yang terburuk selama lebih dari lima tahun.
Pada 2015, sekitar 100 orang tewas karena keruntuhan. Hal tersebut memperkuat seruan untuk mengatur industri ini. Kemudian pada 2019, 50 orang meninggal dalam kasus yang sama,
Kebanyakan korban adalah para pencari batu giok. Mereka menjelajahi tailing – residu dari penambangan – untuk memperoleh batu permata kecil yang tidak diambil oleh operator yang lebih besar. Sepotong batu giok yang bagus, bernilai puluhan ribu dolar, dapat mengubah hidup mereka.
Than Hlaing, seorang anggota kelompok masyarakat sipil setempat yang membantu evakuasi setelah bencana mengatakan, “Mereka yang tewas adalah pekerja lepas yang mencari limbah yang ditinggalkan oleh perusahaan pertambangan yang lebih besar.” Dia juga mengatakan ada
Penjualan resmi batu giok di Myanmar bernilai 671 juta euro ($ 750 juta) pada 2016-17, menurut data yang diterbitkan oleh pemerintah sebagai bagian dari Prakarsa Transparansi Industri Ekstraktif.
Tetapi kelompok HAM Global Witness mengatakan bahwa perdagangan itu bernilai miliaran dolar per tahun, dana itu disebut-sebut telah memicu konflik bersenjata antara pasukan pemerintah dan pemberontak etnis Kachin yang berjuang untuk otonomi yang lebih besar bagi kawasan itu.