Menlu China: Perang Dingin AS-China Semakin Meruncing
Berita Baru, Internasional – Menteri Luar Negeri (Menlu) China, Wang Yi, menyebutkan bahwa China terlibat perang dingin dengan Amerika Serikat (AS). Menurutnya hal ini disebabkan saling tuduh soal Covid-19, polemik Hong Kong, serta perkara lainnya.
Wang Yi menilai terdapat motif politik atas tuduhan AS ke China tersebut.
“Ini menjadi perhatian kami setelah kepentingan politik di AS memperparah perang dingin antara China-AS,” ungkap Wang Yi seperti dilansir dari AFP yang dikutip CNN pada Senin (25/5).
Polemik antara kedua negara ini kembali mencuat pasca Presiden Donald Trump menambahkan salah satu kementerian dan perusahaan China yang dinilai melanggar Hak Asasi Manusia terhadap etnis Uighur.
Namun, Wang tidak menjelaskan lebih lanjut terkait kepentingan yang dimaksud.
Presiden Trump juga telah mengajak blok barat mengkritik China atas respon penanganan Covid-19 yang telah menyebabkan 330 ribu kasus kematian dan kerugian ekonomi di seluruh dunia.
Lebih lanjut, Wang membalas bahwa Gedung Putih telah berusaha berulang-ulang menyerang dan mencoreng China.
“Selain kehancuran yang disebabkan oleh virus corona, ada juga virus politik yang menyebar di AS,” jelas Wang dalam konferensi pers.
“Virus politik ini yang digunakan di setiap kesempatan untuk menyerang dan mencoreng China. Beberapa politikus mengabaikan fakta dasar dan mengarang berbagai kebohongan yang menargetkan China dan merencanakan berbagai konspirasi,” imbuh Wang.
33 Perusahaan China di Blacklist AS
Sebelumnya, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS) menambahkan 33 perusahaan baru China ke dalam daftar hitam mereka.
Menurut laporan yang dilansir dari CNBC, langkah ini yang dilakukan oleh AS ini untuk menindak perusahaan yang mendukung kegiatan militer China, serta untuk memberi sanksi atas perlakuannya terhadap minoritas Muslim Uighur.
Departemen Perdagangan AS juga menyatakan tujuh perusahaan dan dua institusi asal China tersebut telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, seperti penahanan sewenang-wenang, kerja paksa, dan pengawasan teknologi tinggi terhadap Uighur.
Sementara 26 perusahaan lain yang terdiri dari lembaga pemerintah dan organisasi komersial ditambahkan karena mereka mendukung pengadaan barang yang digunakan oleh militer China.