Kisah-kisah dalam Tiga Simfoni
Alumnus Kampus Fiksi Yogyakarta
Simfoni 1: Desau Richard Wagner
Sepasang kekasih melintasi pedestrian di jalan Kemang Raya. Mereka tampak bahagia. Tangan mereka bertautan. Mereka tersenyum dan saling bertukar pandang setiap kali salah satu dari mereka selesai melemparkan candaan. Kemesraan mereka menggema memecah kesunyian langit yang tampak suram dan pucat.
“Aku tak percaya ini kali pertama perempuan secantik dirimu berpacaran.”
“Kau tahu, pembawaanku yang cenderung ceplas-ceplos dan blak-blakan seringkali membuat orang lain ilfil. Itulah mengapa aku hanya memiliki sedikit teman dan baru kali ini menjalin hubungan cinta,” lirih si perempuan.
Pukul empat dinihari. Jalanan mulai lenggang. Semua orang tengah bersiap-siap kembali ke kontrakan, atau apartemen, atau hotel, atau rumah mereka sendiri untuk mengistirahatkan tubuh yang letih. Sepuluh menit kemudian, mereka tiba. Di depan pagar besi berwarna hitam itu, si lelaki berdiri hingga bahu kekasihnya terbenam di balik pintu kontrakan.
Si lelaki bergegas kembali ke rumahnya. Meski terlihat santai dan tenang, jauh di dalam lubuk hatinya muncul tekad kuat untuk mencengkram momen menggembirakan yang kini ada dalam genggamannya. Ia takkan mengulangi kesalahan fatal beberapa tahun silam yang sempat membuatnya begitu terpuruk dan tampak menyedihkan di hadapan semesta.
Sang filsuf duduk sambil menikmati secangkir kopi di teras rumah. Kilauan mentari pagi menerpa wajahnya. Seutas senyum terpacak di bibirnya. Sejenak ia memejamkan matanya untuk menikmati bunyi ranting pepohonan, kicauan burung, dan hawa sejuk dari danau Lucerne. Selang beberapa menit kemudian, sahabatnya bergabung.
Tiga hari ini adalah masa-masa yang menggembirakan dalam hidup sang filsuf. Sang komponis terkenal Richard Wagner yang begitu ia kagumi mengizinkannya menginap di rumahnya. Pembawaan Wagner yang suka bercanda dan begitu jatmika membuat sang filsuf terpana. Terlebih lagi idolanya tak asing dengan pemikiran tokoh pujaannya, Arthur Schopenhauer.
Persahabatannya dengan Richard Wagner begitu membekas dalam benak sang filsuf. Pada tahun 1888, ketika pikirannya masih sehat walafiat, sang filsuf menuliskan di dalam salah satu karyanya bahwa hari-hari yang ia habiskan di rumah sahabatnya di Tribschen di dekat danau Lucerne adalah masa-masa yang penuh kepuasan dalam hidupnya. Meski karya yang ia persembahkan untuk idolanya, The Birth of Tragedy, menuai banyak kritikan.
Simfoni II: Hentakan Beethoven
Si lelaki memutar Eroica milik Beethoven di ponselnya. Dari lantai tiga puluh apartemen sewaannya, ia berdiri memandangi jalanan Jakarta yang seakan tak pernah beristirahat. Tiga tahun telah berlalu. Namun, ingatan pahit dari malam yang memilukan itu masih tergambar begitu jelas dalam benaknya.
Memori lelaki itu kembali ke malam ketika ia memergoki mantan kekasihnya bermesraan di hotel bersama seorang investor yang akan mendanai perusahaan start up rintisannya.
“Aku kesepian, Jo. Aku tak ingat kapan terakhir kali kita melakukan suatu hal bersama-sama,” Dev mencoba menjawab pertanyaan yang tergambar di wajah lelaki di hadapannya.
“Apakah usahaku masih kurang, Dev?”
“Nyatanya kau masih lebih mementingkan pekerjaanmu. Padahal sudah kubilang uang bukanlah segalanya.”
“Aku akan lebih berusaha lagi. Jadi, bisakah kita kembali bersama?”
“Aku sudah pernah mencoba untuk menunggu, Jo. Kupikir segalanya akan membaik. Namun, ternyata dugaanku salah. Kuharap ini terakhir kalinya kita bertemu,” tukas Dev melangkah pergi.
Jo tersadar dari lamunannya begitu melodi yang terlantun mulai mendekati babak akhir. Satu hal yang patut ia syukuri adalah perusahaan start up rintisannya masih tetap bertahan hingga sekarang. Meski ia harus merubah kalimat dedikasinya di profil perusahaan.
Lelaki itu mengeraskan suara ponselnya. Ia begitu menyukai lantunan musik klasik yang kini ia dengarkan. Ia merasa salah satu babak dalam periode panjang hidupnya memiliki kesamaan kisah hidup dengan musik yang selalu ia putar saban dinihari menjelang tidur.
Begitu Sang Maestro mengetahui bahwa Napoleon Bonaparte mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang kaisar, simfoni yang selesai ia tulis pada tahun 1804 itu pada akhirnya ia dedikasikan untuk panutan utama Sang Maestro, Pangeran Joseph Franz von Lobkowitz.
Sang Maestro akhirnya memperdengarkan simfoni ketiganya itu di Theater an der Wien, Wina pada tahun 1805. Karya Sang Maestro ini pada puncaknya dikenal sebagai wajah musik era klasik dari akhir abad ke-18.
Simfoni III: Lantunan Merdu Pachelbel
Sebagaimana tercatat dalam buku Sejarah Percintaan Semesta, pasca kejadian itu Jo mengasingkan dirinya. Ia benar-benar terpukul. Drama percintaannya yang mati-matian ia coba pertahankan menguap begitu saja. Padahal waktu dan perhatiannya lebih banyak tersita untuk meladeni kemauan perempuan yang begitu ia cintai.
Padahal saat itu ia akan menjadi orang pertama dan terakhir dalam rutinitas harian sang wanita tercinta. Ia juga selalu menemani wanita itu mengerjakan tugas kampus, menonton film baru di bioskop, nongkrong di café hingga dinihari, dan tetek-bengek kehidupan kampus lainnya. Namun, nyatanya setiap usahanya masih belum cukup. Ia sampai kehabisan kata-kata tatkala mantan kekasihnya memutuskannya secara sepihak.
Saat itu ia merasa menjadi lelaki paling menyedihkan di dunia. Namun, ketika ia merenung di rumah sahabatnya jauh di pelosok hutan di Kalimantan, ia seperti mendapatkan suatu pencerahan, bahwa apa-apa yang memang tidak ditakdirkan untuknya tidak akan pernah menjadi miliknya. Pemikiran itu benar-benar mempengaruhinya dan mampu membuatnya bangkit dari keterpurukan.
Penerimaannya terhadap kisah cinta yang gagal benar-benar merubah kepribadian lelaki itu. Sepulangnya dari masa pengasingan diri, ia menjadi lebih terbuka. Ia juga lebih sering tersenyum dan nongkrong di café favorit bareng rekan-rekan sekantor. Tiga tahun telah berlalu. Kini ia hanya ingin mengumpulkan momen-momen indah dalam balutan kebersamaan dengan orang-orang yang bersedia bekerja bersamanya.
Perlahan keceriaan Jo berhasil menarik perhatian sang primadona kantor. Perempuan itu mulai berani menunjukkan kekagumannya pada bosnya. Awalnya Jo biasa saja menanggapi perilaku bawahannya yang selalu mengirimkan getaran cinta padanya. Namun, lambat laun ia tak kuasa menampik pesona ayu perempuan yang selalu menemaninya begadang di kantor.
“Apa yang membuatmu selalu bermalam di sini?” Jo menyesap kopinya.
“Tidak banyak yang bisa kulakukan di kontrakan. Tidak ada laptop. Tidak ada internet. Jadi, ya, sebenarnya aku sangat senang diizinkan begadang di kantor ini,” Rin mengalihkan pandangannya dari layar komputer.
Jo tersenyum sembari tangannya mengelus-elus bibir cangkir.
“Apakah aku bisa menjadi kekasihmu, Bos?” Rin memasang muka datar.
“Kau tahu, kau terlalu berterus terang, Rin,” Jo terkekeh.
“Aku tahu, tapi aku sudah tak kuat mengikuti alur permainanmu, Bos.”
“Baiklah, mari menjadi sepasang kekasih, tapi jangan terlalu banyak berharap. Mari kita menjalani sebuah hubungan tanpa janji-janji dan ekspektasi.”
Rin berlonjak dari kursinya dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Lelaki di hadapannya hanya tersenyum melihat tingkah laku konyolnya.
Dengan apiknya sang konduktor Jean-Francois Paillard memainkan Canon in D Major dalam pertunjukan orchestranya di hadapan umum. Nyatanya butuh waktu tiga ratus tahun sebelum akhirnya lantunan merdu musik klasik itu bangkit dari relung keterlupaan, sebuah periode yang cukup panjang untuk sebuah penantian.
Semenjak malam itu si lelaki selalu mengantarkan kekasihnya pulang ke kontrakan. Ia ingin kekasihnya menyadari bahwa ia akan selalu ada untuknya. Tak peduli kapanpun itu. [*]