Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Hantu Starla

Hantu Starla di Stasiun Pasar Turi



Hantu Starla di Stasiun Pasar Turi
Oleh: Daruz Armedian

Cerpen, – Begitulah, kami menyebutnya sebagai Hantu Starla. Starla adalah mahasiswi di kampus Airlangga yang mati di Stasiun Pasar Turi ini. Tidak, ia tidak mati karena tertabrak kereta api. Ia mati bunuh diri karena patah hati. Ia mengiris lengannya sendiri ketika tepat di tengah rel kereta api.

(Maaf, ini bukan tentang Starla yang ada dalam lagunya Virgoun itu.)

Kalau malam tiba, ia akan muncul di sana. Kadang-kadang berupa udara dengan aroma yang wanginya 13% melebihi minyak missik. Atau, berupa perempuan yang minta tolong. Biasanya, ia akan meminta tolong kepada seseorang yang kebetulan berjalan sendirian dengan berbagai alasan. Kadang-kadang, ia minta tolong diantarkan pulang ke rumahnya. Biasanya, Starla akan menunjuk rumahnya tidak jauh dari stasiun itu. Kurang lebih satu kilo meter jaraknya. Padahal, rumah itu tidak lain tidak bukan adalah kuburan. Ya, mirip sekali dengan adegan film-film horror di Indonesia. Atau kadang-kadang ia menjelma sebagai anjing yang melolong-lolong. Dan, kadang-kadang (yang ini lebih menyeramkan), menjadi dirinya sendiri: perempuan dengan wajah yang dingin, diam seperti orang bisu, dan matanya memandang seseorang dengan tatapan yang tajam.

Itu adalah cerita dari temanku.
Nah, malam ini, aku ingin membuktikannya.

Dengan peralatan yang lengkap, aku berangkat sendirian ke Stasiun Pasar Turi. Peralatan yang lengkap itu semisal: kaki yang tidak mudah gemetar ketika ketakutan, napas yang tidak tersengal ketika berlari, sebuah gitar untuk mengiringi lagu. Meskipun katanya ia bukan Starla yang ada dalam lagu Virgoun, aku tetap ingin menyanyikannya. Ah, aku ingin mengajaknya bernyanyi. Siapa tahu, ia suka dan tidak lagi mengganggu orang-orang yang ada di stasiun itu.

Ternyata, aku sampai di stasiun itu ketika tidak ada siapa-siapa. Kok bisa? Padahal stasiun kan ramai. Minimal ada satpam lah. Pikiranku sudah mulai tidak beraturan mengenai Starla yang bisa menjelma apa saja. Jangan-jangan sekarang ia menjelma sebagai sepi itu sendiri. Dan sepi itu tiba-tiba menyekapku, menjadikanku orang paling sendu di dunia. Itu adalah hal yang lebih menakutkan menurutku ketimbang hal lain.

Sebenarnya, sampai di sini aku sudah merasa takut. Aku ingin kembali saja. Tidak, aku tidak ingin menyombongkan diri. Aku tidak ingin menganggap Hantu Starla bisa diajak guyon.

Hiii.

Aku berbalik arah. Gitar kutenteng. Aku berjalan cepat. Suara sandalku yang enginjak lantai terdengar lebih kencang ketimbang suara apa pun. Di kepalaku berputar-putar sebuah pertanyaan; ini stasiun atau kuburan, sih? Kok, sepi amat.

Tepat ketika aku meninggalkan stasiun, terdengar suara yang amat keras. Seperti ledakan bom. Aku menoleh ke belakang dan melihat api berkobar di stasiun. Ada apa ini?

Akhirnya, aku menjerit-jerit, “Kebakaran.. Kebakaran..Kebakaran..”

Tidak lama kemudian orang-orang berdatangan. Mereka, dengan segala daya dan upaya, berusaha memadamkan api yang semakin menjalar itu. Mobil-mobil pemadam kebakaran juga mulai berdatangan. Sedangkan aku tidak tahu apa yang akan aku kerjakan. Pikiranku ke mana-mana. Tidak fokus.

Di tengah-tengah kekacauan itu, ada tangan yang menepuk pundakku. Aku kaget. Aku menoleh dan…

Ia adalah perempuan. Dengan mata yang tajam, ia menatapku lama. Seketika aku berpikir kalau ia pastilah Hantu Starla.

“Kenapa cuma diam aja, Bang?”

Aku bengong.

“Heh. Kenapa, Bang?”

“Eh, maaf. Kirain kamu Starla.” Jawabku dengan gugup sambil menjaga jarak dari tempatnya berdiri.

“Starla siapa?”

“Temenku.”

“Oh. Namaku juga Starla, tapi mungkin bukan aku yang kamu maksud.”

Aku lihat orang-orang masih sibuk berusaha memadamkan api. Semakin lama semakin banyak yang berdatangan. Sedangkan api bukan mengecil, namun malah semakin besar. Seperti ingin melahap semua benda-benda yang ada di stasiun. Barangkali juga termasuk kenangan-kenangannya.

Perempuan di sampingku ini kadang-kadang aku pandangi. Aku masih heran dengan kedatangannya. Bajunya yang putih, rambutnya yang panjang, harumnya yang wangi, membuatku bimbang: antara memastikan bahwa ia Starla yang kumaksud atau tidak.

“Bang, daripada kamu diam begini, mending tolongin barang-barangku yang ada di sana.” Tiba-tiba ia berkata seperti itu sambil menunjuk ke arah api.

“Maksudmu?”

“Barang-barangku terbakar di sana!”

Ada diam sejenak di antara percakapan ini. Kurang lebih tujuh detik koma lima puluh sembilan.

“Ya, tidak mungkin bisa ditolong.”

“Bisa, Bang. Ayo, anterin aku ke sana!” tanpa bisa aku elak, tangannya menggandeng tanganku. “Kamu harus menjadi lelaki pemberani, Bang.”

“Heh, aku tidak mau mati sia-sia.” Aku berusaha melepas pegangannya.

“Kamu harus ikut aku!”

“Tidak. Tidak. Tidak!!!” aku masih tetap berusaha melepaskan pegangannya yang kini malah semakin mencengkeram. Sejak kapan perempuan bisa sekuat ini. Tidak, tidak, tidak. Aku tidak ingin terbakar! Starla! Aku tidak ingin terbakar!

“Mas, Mas, Mas. Bangun! Sudah siang.”

Seseorang mengatakan hal itu sambil menggoyang-goyangkan pundakku. Aku lihat ia memakai seragam. Ya, ia satpam di stasiun ini. Ternyata, barusan aku cuma mimpi. Semalam, aku ketiduran di sini. Seingatku, aku baru pulang dari Yogyakarta dan merasa terlalu capek yang tiba-tiba. Artinya capek yang seperti tidak ada sebabnya. Kau pasti pernah mengalami hal semacam ini.

Ketika pak satpam itu pergi, aku tidak langsung bangkit dan ikut pergi. Aku duduk lama. Memandangi orang lalu-lalang (orang-orang yang dengan sangat wajar berjalan di atas lantai, tidak ada kegugupan atau ketakutan di wajah mereka, seperti tidak ada apa-apa) sambil bertanya-tanya, benarkah di sini ada Hantu Starla. Kalau tidak benar, kenapa mimpiku terasa seperti nyata?

Aku menarik napas panjang. Seolah-olah setelah ini aku tidak bisa bernapas lagi.(*)