Mantan Ketua MK: Pemerintah Tidak Perlu Merujuk UU Darurat Sipil
Berita Baru, Jakarta – Gugus Tugas Pengendalian COVID-19 tingkat nasional mengumumkan bahwa jumlah kasus di Indoensia pada Senin (30/3) adalah sebanyak 1.414 dengan korban yang meninggal dunia mencapai 122 orang.
Seperti diketahui sebelumnya, Presiden Jokowi telah menginstruksikan dilakukannnya pembatasan sosial berskala besar dengan tingkat disiplin yang lebih tinggi. Bahkan, pembatasan sosial itu menurutnya perlu didampingi kebijakan darurat sipil untuk mencegah penularan lebih luas Covid-19. Perintah tersebut disampaikan dalam rapat kabinet terbatas melalui telekonferensi video dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Senin (30/3),
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari ELSAM, Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, dan KontraS bersikap tegas terhadap pernyataan Presiden Jokowi tersebut. Secara umum mereka tidak setuju dengan penggunaan frasa kebijakan “darurat sipil”.
“Darurat Sipil tidak tepat. Presiden harus berpijak pada UU penanggulangan bencana dan UU kekarantinaan kesehatan”. Tulis koalisi tersebut tegas.
Koalisi juga menegaskan sikap untuk mendesak pemerintah tetap mengacu pada UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Di tempat terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi RI periode 2013-2015, Hamdan Zoelva mengatakan bahwa untuk melakukan lockdown sekalipun, pemerintah tidak perlu menggunakan UU Penanggulangan Bencana, apalagi UU Darurat Sipil.
“Dalam melakukan lockdown pemerintah tidak perlu merujuk pada UU Darurat Sipil atau UU penanggulangan Bencana, tapi cukup dengan UU Kekarantinaan. Kesehatan”. Jelas Hamdan dikutip dari akun twitter pribadinya @hamdanzoelva, pada Senin (30/3) malam.
Dengan UU Kekarantaniaan Kesehatan, lanjut Hamdan, Pemerintah Pusat dapat menetapkan kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM). Berdasarkan kondisi KKM itulah dilakukan berbagai jenis karantina.
“Untuk implementasi KKM, Pemerintah harus membentuk Peraturan Pemerintah dalam rangka implementasi, baik Karantina di Pintu Masuk, Karantina Wilayah atau Pembatasan sosial dalam skala besar”. Imbunya.
Presiden Syarikat Islam tersebut menilai semua pihak saat ini terlihat gamang menghadapi kondisi kritis. PP harus segera dikeluarkan sebagai pedoman bagi pemerintah untuk menghadapi krisis dengan segera”. Jelasnya gamblang.
Ia juga menjelaskan bahwa otoritas yang dapat mengatur pelaksanaan pembatasan sosial dalam skala besar melalui libur sekolah, kerja, pembatasan kegiatan keagaaman dan kegiatan publik lain seharusnya ditetapkan oleh Menteri, tetapi Pemda (pemerintah daerah_red.) melangkah lebih dahulu.
Menurutnya, Karantina Wilayah yang dilakukan daerah-daerah menjadi masalah, karena bukan wewenang Pemda. Tetapi setiap Pemda menghadapi masalah demi melindungi warganya masing.
“Jika sudah ada PP dapat jadi pedoman, dan Pusat dapat melimpahkan wewenang itu ke daerah”. Terangnya.
Hamdan melanjutkan, bahwa Indonesia harus segera menetapkan karantina di pintu masuk, khususnya dari negara-negara tertentu. tanpa kebijakan tersebut akan sangat sulit menghentikan keberlanjutan penyebaran virus ini di Indonesia.
Di tingkat daerah, ia juga menyarankan agar segera ditetapkan karantina wilayah untuk daerah tertentu, dengan tetap menjamin penghidupan rakyat agar tidak kelaparan, ketersediaan makanan, obat-obatan dan alat kesehatan.
“Semua langkah tersebut hanya dapat dilakukan dengan efektif, terarah dan terintegrasi dengan terlebih dahulu pemerintah menetapkan kondisi KKM dan secara bersamaan mengeluarkan PP untuk implementasinya”. Pungkasnya. [Hp]