Berbagi Lapak para Elit Politik
Berbagi Lapak para Elit Politik
Oleh : Aznil Tan
Opini, Ada yang bertanya sama saya, bagaimana cara rakyat menghadapi watak politikus Indonesia yang pragmatis, transaksional, dan tidak konsisten dengan janji politik yang disampaikan kepada rakyat pada saat Pemilu ???
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu kajian berbagai aspek agar kita sebagai rakyat tidak terjebak sikap emosional.
Memang faktanya, peradaban Indonesia terbentuk dari zaman dulu sampai sekarang sangat kuat ditentukan oleh elit politik.. Dulu, elit politik menguasai full perjalanan negara dari sejak awal pembentukan pemerintahan sampai penentuan kebijakan yang akan dilakukan kedepan. Posisi rakyat cuma sebagai penghuni yang baik. Jangan coba rakyat macam-macam ! Dijamin akan terkucilkan. Kecuali kompromis dengan selera sang elit politik.
Di era reformasi, demokrasi telah memberikan ruang kepada rakyat untuk bebas mencari sosok elit politik sebagai penguasanya. Namun demokrasi itu hanya diberikan sebatas kemerdekaan pada pemilihan sosok pemimpin yang diinginkan rakyat. Tetapi rakyat tidak punya kendali lagi untuk menentukan arah perjalanan selanjutnya setelah elit politik tersebut terpilih sebagai penguasa. Rakyat cuma bebas dalam memilih sang penguasa tetapi bukan bebas menentukan langkah-langkah kedepan untuk mewujudkan visi-misi, platform atau program yang dijanjikannya pada waktu kampanye.
Sistem demokrasi tersebut membuka celah para pelaku elit politik menjadikan panggung pesta demokrasi sebagai alat berkuasa bukan sebagai kehendak atau komitmen untuk memperjuangkan ideologi, gagasan, dan program.
Saling serang, saling bongkar aib (kampanye negatif), dan tebar hoaks (kampanye hitam) pada saat pemilu hanyalah sebuah tuntutan skenario agar penontonnya (baca : rakyat) tertarik adegan pertarungan itu. Seperti menonton acara smackdown baku hantam diatas ring..
Tentang pengungkapan ada elit politik sebagai tuan tanah memiliki lahan ratusan ribu hektar yang menindas rakyat; tentang pengungkapan ada elit politik sebagai otak pencuilkan aktivis 98 yang tidak jelas pertanggungjawabannya; tentang pengungkapan kasus korupsi merugikan negara miliyaran sampai triliunan rupiah; dan berbagai pengungkapan mega skandal besar lainnya hanyalah sebuah tuntutan adegan smakedown agar penonton percaya bahwa pertarungan idealis dan gagasan itu adalah benar
Ketika usai pemilu para elit politik tersebut saling berbaik-baik dan berbagi lapak. Politik transaksional pun berlangsung. Elit politik bertransaks berbagi kekuasaan. Berunding berbagi lapak, berbagi kue dan saling memback-up dosa yang ada diantara mereka.
Inilah realita politik kita dimana dulu saya pernah bangga atas pesatnya pertumbuhan demokrasi Indonesia sejak runtuhnya rezim Orde Baru tahun 1998. Sekarang saya baru sadar, bahwa demokrasi Indonesia hanya hebat pada saat tahapan pemilihan (pemilu) tetapi keropos pada tahapan penerapan flatform politik yang dijanjikan.
Rakyat hanyalah pendorong mobil mogok, setelah mobil jalan lalu ditinggalkan. Keterlibatan rakyat terjadi karena sebuah kebaikan diberikan sang penguasa. Keterlibatan publik ketika ada amuk massa. Jika adapun kontrak politik bukanlah sebuah produk hukum yang mana apabila tidak dilaksanakan akan terkena sanksi. .
Malah sekarang yang muncul drama baru berjudul REKONSILIASI. Konon alasannya untuk merajut kembali perbedaan dan mempersatukan masyarakat yang terbelah akibat pemilu.
Jika tidak segera dilakukan rekonsiliasi negara akan hancur lebur dan masyarakat akan berperang. Maka kebutuhan rekonsiliasi adalah untuk mencegah terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat.
Benarkah itu?
Sebenarnya dalam hukum demokrasi perbedaan adalah suatu yang wajar. Aneh saja suatu negara penganut sistem demokrasi, perbedaan dianggap sebuah ancaman yang memecah belah persatuan.
Jika tidak siap dengan segala konsekuensi demokrasi untuk apa diterapkan?
Maka ditengah masyarakat timbul kecurigaan bahwa rekonsiliasi sebagai akal-akalan elit politik yang kalah untuk dapat mendapatkan jatah kekuasaan. Sebagai ajang bagi pemenang untuk mendapat kenyamanan menikmati kue kekuasaan.
Biaya demokrasi yang mahal ditambah masing-masing elit politik punya kartu truf maka rekonsiliasi menjadi cara jitu untuk bertransaksi menyelamatkan lapak dan kasus mereka masing-masing. Semakin chaos masyarakat dibawah semakin tinggi nilai bargaining position-nya untuk bertransaksi. Kapan perlu menumbalkan pendukungnya agar isu rekonsiliasi menjadi suatu kebutuhan mendesak.
Bagi yang menang berbagi lapak dianggap cara paling aman agar tidak diganggu menikmati kemewahan kekuasaan meski mengingkari janji kampanyenya dan eksekutornya berkemampuan rendah.
Sementara rakyat gigit jari atas angin surga diberikan sang penguasa disaat mau dipilih.
Di zaman now ditengah peradaban yang sudah revolusi 4.0 tetapi budaya lama itu masih menjadi ciri perpolitikan Indonesia. Tidak ada produk undang-undang di Indonesia mengatur bahwa elit politik atau parpol kalah dalam kompetisi demokrasi wajib hukumnya menjadi oposisi. Begitu juga bagi penguasa terpilih jika tidak bisa memenuhi janji politiknya akan dikenakan sanksi berat.
Tidak ada juga produk undang-undang yang menindak secara tegas bahwa bagi perusuh demokrasi yang tidak tunduk pada tahapan pemilu dan tidak menyelesaikan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi maka akan dikenakan pasal makar.
Karena tidak adanya produk undang-undang tersebut maka semua kabur. Hitam bisa menjadi putih, putih bisa menjadi hitam. Semua bisa kompromis. Tergantung dealnya. Itu lah membuat orang luar tertawa pada demokrasi Indonesia yang penuh gegap gempita tetapi keropos dalam memanifestasikannya.
Akhirnya sudah menjadi doktrin politik di Indonesia bahwa “tidak ada musuh abadi yang ada kepentingan abadi.” Adagium ini sungguh menyesatkan.
Hal inilah penyebab tidak pernah tuntasnya peyelesaian kasus permasalahan Indonesia. Penegakan keadilan menjadi mati. Anak bangsa yang berkomitmen kuat pada ide gagasan yang diperjuangkanya akan terkucilkan. Aktivis yang teguh pada perlawanannya pada ketidakadilan akan gugur dengan sendirinya.
Yang munculnya adalah para bajingan politik. Yang berjaya adalah ellit-elit politik yang pragmatis dan transaksional. .
Di kubu yang menang, para elit pendukung pun berebut meminta jatah kue kekuasaan. Tidak peduli, apakah dia itu tidak kompeten dan tidak mempunyai rancangan desain untuk mengeksekusi gagasan atau program-program yang dijanjikan pada waktu pemilu. Karena mereka itu tahu bahwa tidak ada sanksi hukum bagi eksekutor yang gagal mewujudkan platform politik tersebut
Jawaban
Untuk menjawab pertanyaan bagaimana menghindari politik berbagi lapak kekuasaan. Saya menawarkan kita sebagai rakyat menuntut lahirnya undang-undang pemilu yang mengatur bahwa elit politik/partai yang kalah harus menjadi oposisi. Bagi penguasa tidak tercapai target visi-misinya akan dikenakan sanksi hukum.
Kedepan, bagi siapapun menjadi penguasa. Hukum sudah menjadi panglima tertinggi di negara republik Indonesia. Tidak ada lagi kebal hukum. Tidak ada lagi pengaruh ketokohan. Hukum tidak pernah ciut oleh kekuatan elit politik siapapun.
Hukum tidak pernah ciut oleh rekonsiliasi politik bagi-bagi lapak dan saling memback-up kasus.
Tentang tim pembantu presiden, meski hak prerogatif menentukan para pembantunya tidak ada salahnya presiden mengadakan sayembara bagi anak bangsa mengajukan desain dan proposal di bidang yang mereka ingini untuk berkiprah baik sebagai menteri/wakil atau posisi lainnya (sedangkan berapa posisi menteri bisa diambil dari partai). Bagi desain dan proposalnya realistis maka dibuka peluang terlibat dalam tim eksekutor visi-misi Jokowi-Ma’ruf Amin. Keterlibatan relawan dalam membantu program-program kerja pemerintahan perlu diikutsertakan sebagai mata dan telinganya Jokowi.
Semoga bermanfaat!