Kartu As Tiongkok dalam Menghadapi Penurunan Ekonomi
Opini: Yuda Raditya
Peneliti di Indonesia China Partnership Studies (INCHIP)
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang mengesankan membuatnya digadang-gadang menjadi pengganti negara adidaya Amerika Serikat. Berdasarkan Biro Statistik Tiongkok (NBS), negeri Tirai Bambu ini pernah mengalami lonjakan ekonomi yang begitu fantastis sejak tahun 1989 hingga 2018 dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun 9,61% yang menjadikannya pusat manufaktur dunia
Namun, semenjak dilanda Covid-19, ekonomi Tiongkok mulai terseok-seok untuk tetap berada di tren positif. Bahkan pada 2020, ekonomi Tiongkok terperosok minus 2,24%, sebelum akhirnya sempat melejit di tahun 2021 menjadi 8,45%. Capaian di tahun 2022 dan 2023 juga belum memberikan tanda-tanda pemulihan dengan masing-masing 2,99% dan 5,2%. International Monetary Fund (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan terus menurun dari 4,6% pada 2024 hingga 3,38% pada 2028.
Mengenai penurunan ini, banyak ekonom barat yang memperkirakan “barangkali Tiongkok sudah mulai kehabisan bensin untuk mengejar Amerika Serikat”, lantaran populasi usia produktif Tiongkok telah berkurang. Merujuk pada proyeksi populasi dunia menurut United Nations (UN), sekitar setengah dari populasi Tiongkok berusia di bawah 20 tahun sebelum tahun 1980. Pada tahun 2015, porsi tersebut turun menjadi 24%. Dan pada tahun 2050, lebih dari setengah populasi Tiongkok akan berusia 60 tahun. Dengan demikian negara ini akan dibebani dengan uang pensiun, dan perawatan sosial, sedangkan jumlah tenaga kerja produktif menurun, maka praktis ekonomi akan terbebani.
Namun, Keyu Jin, profesor ekonomi di London School of Economics and Political Science, dalam The New China Playbook: Beyond Socialism and Capitalism (2023), memiliki pandangan berbeda terkait penurunan populasi. Jin melihat, bersamaan dengan penurunan populasi, paradigma generasi baru mengalami perbedaan dengan generasi sebelumnya yang jarang disadari orang. Paradigma generasi baru Tiongkok berpeluang besar menjadi landasan yang kuat untuk membawa Tiongkok ke era baru. Sebenarnya seperti apa paradigma generasi baru Tiongkok? Sebelum kesana, sangat menarik untuk menyimak argumen Jin yang menolak penurunan populasi sebagai penyebab kemunduran ekonomi Tiongkok.
Penurunan Populasi Bukan Pertanda Bencana
Jin mengemukakan, bukanlah penuaan populasi yang menyebabkan kelesuan ekonomi Tiongkok. Alih-alih jumlah tenaga kerja dalam angkatan kerja, yang lebih penting adalah jumlah angkatan kerja yang produktif. Jin memberikan contoh yang ekstrem, seandainya angkatan kerja Tiongkok berkurang setengahnya, angkatan kerja yang memiliki produktivitas empat kali lipat dibandingkan angkatan kerja biasa sudah mampu mengimbangi penurunan jumlah angkatan kerja. Selain itu, adanya otomatisasi membuat banyak pekerjaan menjadi kurang relevan. Mengingat perkembangan artificial intelligence (AI) juga memicu spekulasi tentang pekerjaan yang relevan di masa depan.
Selain itu, Jin juga sangat menyayangkan adanya ketidakcocokan penempatan tenaga kerja yang terampil. Para lulusan terbaik di negara itu semakin tidak memiliki pekerjaan yang sesuai dan dibiarkan dalam ketidakpastian, sementara banyak perusahaan membutuhkan tenaga kerja vokasional dan teknis. Pada tahun 2022, kaum muda yang berpendidikan tinggi memiliki tingkat pengangguran yang sangat tinggi, yaitu 20% (Du, 2022).
Perbedaan Paradigma
Kini Tiongkok mengalami kesenjangan generasi, yang bagi Jin merupakan suatu revolusi sosial dalam dirinya sendiri, sebuah pemutusan mendalam dari masa lalu. Generasi baru yang lahir pada tahun 1980-an, 1990-an, dan dekade pertama tahun 2000-an sangat percaya diri, memiliki hak istimewa, makmur, dan sangat terdidik. Generasi baru tidak pernah mengalami kemiskinan dan kesulitan psikologis seperti yang dialami oleh orang tua mereka. Sebaliknya, generasi baru tumbuh dalam kemakmuran dan keamanan yang lumayan baik dari orang tua mereka dan dapat menikmati perhatian yang tak kenal lelah dari guru-guru mereka. Mereka tidak harus menabung untuk hari depan. Mereka juga banyak yang tidak memiliki saudara kandung (akibat kebijakan satu anak dari 1978 sampai 2013), juga tidak harus berbagi beban dan tanggung jawab, termasuk beban berat harapan orang tua.
Kenikmatan yang didapat oleh generasi baru telah mewujudkan kekuatan belanja yang belum pernah terjadi sebelumnya, konsumerisme, dan kemakmuran sebagai cara hidup; barangkali apa yang disebut-sebut sebagai “American Dream” diam-diam menyusupi diri mereka dan berusaha mewujudkannya di Tiongkok. Generasi ini begitu mudah terjun ke konsumerisme. Selera untuk kesenangan, kesadaran fesyen yang kreatif, dan sangat ringan tangan pada pengeluaran sangat kontras dengan pendahulu mereka yang memilih untuk menabungkan uangnya dan hidup bersahaja.
Ketika generasi ini memasuki usia paruh baya dan menggantikan peran orang tua mereka yang hemat sebagai agen ekonomi utama dalam perekonomian Tiongkok, mereka kemungkinan besar akan mengubah Tiongkok menjadi negara pembelanja. Mereka akan menjadi jangkar yang kuat bagi permintaan global.
Arah Baru Masa Depan Tiongkok
Generasi baru Tiongkok tumbuh dalam ekonomi yang didukung oleh teknologi, yang membuat mereka memiliki optimisme dalam prospek ekonomi Tiongkok, mereka tidak takut untuk mengambil resiko seperti orang tua mereka. Rupanya ingatan tentang depresi ekonomi dan perampasan yang menghantui generasi sebelumnya tidak terdapat dalam kesadaran mereka. Pandangan mereka tentang ekonomi dan prospek mereka sendiri sangat optimis, yang membuat mereka berbeda dari generasi milenial di seluruh dunia.
Mereka juga merupakan kelompok yang sadar sosial–marah tentang ketidakadilan sosial, bersemangat tentang keberlanjutan lingkungan hidup, dan peka terhadap hal-hal yang jauh dan tersebar seperti perlindungan satwa liar Afrika. Mereka memiliki tujuan, dorongan, dan semangat untuk bekerja keras yang melampaui kekayaan materi dan keuntungan pribadi. Mereka adalah generasi pertama Tiongkok yang mencari kebahagiaan melebihi kekayaan.
Mereka bangga dengan kekuatan dan pengaruh bangsa mereka yang semakin meningkat, ini menjadi sebuah sentimen yang semakin ditekankan oleh alarm Barat atas kebangkitan Tiongkok. Semua ini menarik mereka lebih dekat ke hal-hal yang bersifat lokal (Tiongkok), ke peristiwa-peristiwa yang terjadi secara internal daripada eksternal. Generasi sebelumnya yang pernah mengagumi standar Barat, merek asing, dan cara hidup asing sedang memberi jalan kepada generasi baru yang yakin bahwa pendidikan, barang, dan layanan mereka sendiri sama bagusnya, dan bahkan bisa jadi lebih baik. Keyakinan generasi baru inilah bagi Jin yang akan menentukan masa depan Tiongkok.
Bagaimanapun, masa depan Tiongkok berada di tangan generasi baru mereka yang optimis, konsumtif, plus rasa nasionalisme mereka yang tinggi bisa diandalkan sebagai penggerak utama ekonomi. Kita juga tidak bisa melupakan Belt and Road Initiative (BRI), suatu proyek ambisius Tiongkok yang akan menghubungkan Asia ke Eropa dan seluruh dunia melalui infrastruktur mulai dari bandara, rel kereta api, dan pelabuhan. BRI siap meningkatkan perdagangan dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi negara-negara yang bergabung didalamnya. Ini menjadi kombinasi yang pas sebagai kartu as untuk ekonomi Tiongkok di masa depan–BRI telah dipersiapkan sebagai pendongkrak ekonomi Tiongkok ketika sudah tiba saatnya bagi generasi baru sebagai agen utama ekonomi Tiongkok.
Referensi
Du, Y. (2022). Changes of College Student Employment and Policy Suggestions. People’s Daily. http://finance.people.com.cn/n1/2022/0916/c444648-32527858.html.
Jin, K. (2023). The New China Playbook: Beyond Socialism and Capitalism. Penguin.