Komnas Perempuan Desak Penguatan Perlindungan Pekerja Migran
Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan urgensi tata kelola migrasi yang lebih komprehensif untuk melindungi hak-hak Pekerja Migran Indonesia (PMI), terutama perempuan. Hal ini dinilai mendesak agar hak atas pekerjaan dan kehidupan layak sesuai konstitusi dapat terwujud.
Dalam peringatan International Migrant Day 2024 bertema “Honouring the Contributions of Migrants and Respecting Their Rights”, Komnas Perempuan menekankan kontribusi positif pekerja migran sekaligus tantangan yang mereka hadapi.
“Implementasi UU PPMI masih belum optimal dan menghadapi banyak tantangan, khususnya bagi perempuan PMI yang memiliki kerentanan tinggi,” ujar Komisioner Tiasri Wiandani dalam keterangannya, Rabu (18/12).
Lebih lanjut, Tiasri menyebutkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Klaster Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja harus dimanfaatkan sebagai peluang untuk memperkuat regulasi perlindungan PMI. “Ketentuan baru ini harus menekan eksploitasi, kekerasan berbasis gender, dan perdagangan orang yang sering dialami perempuan PMI,” tambahnya.
Komisioner Satyawanti Mashudi juga menyoroti potensi risiko dari UU Cipta Kerja yang melonggarkan pengawasan terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). “Perusahaan penempatan sering kali berperan signifikan dalam sengkarut eksploitasi pekerja migran. Oleh karena itu, pengawasan harus diperketat,” tegas Satyawanti.
Data Kementerian Luar Negeri per Juni 2024 menunjukkan sebanyak 165 Warga Negara Indonesia (WNI), mayoritas PMI, terancam hukuman mati di luar negeri. Selain itu, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat 110.640 PMI non prosedural telah dideportasi sejak 2020, dengan 2.597 di antaranya meninggal dunia.
CATAHU 2023 Komnas Perempuan juga mencatat adanya 314 kasus kekerasan terhadap perempuan PMI yang meliputi kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Laporan ini mencatat perempuan PMI non prosedural di Timur Tengah sebagai kelompok paling rentan.
“Kerentanan ini terkait dengan kebijakan moratorium melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 260 Tahun 2015. Alih-alih melindungi, kebijakan ini justru mendorong lonjakan PMI non prosedural,” jelas Satyawanti.
Menurutnya, tata kelola migrasi yang ada belum memenuhi indikator Migration Governance Indicators (MGI) 2024. “Aspek perlindungan hukum, pengawasan, dan dukungan konsuler masih lemah. Apalagi, perlindungan bagi pekerja migran perempuan yang rentan kekerasan berbasis gender harus menjadi prioritas,” ujarnya.
Komnas Perempuan berharap pembentukan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) yang terpisah dari Kementerian Ketenagakerjaan dapat memperkuat implementasi UU No. 18 Tahun 2017. “Tata kelola migrasi yang berperspektif HAM, berkeadilan gender, dan bebas kekerasan adalah kunci peningkatan kesejahteraan PMI,” tutup Satyawanti Mashudi.