Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

YLBHI
Ilustrasi Amnesti di Lapas (Foto: YLBHI)

YLBHI Desak Evaluasi Regulasi di Balik Amnesti Massal 44.000 Warga Binaan



Berita Baru, Jakarta — Rencana pemerintah untuk memberikan amnesti kepada 44.000 warga binaan pemasyarakatan menuai sorotan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dalam siaran pers yang diterbitkan pada Selasa (17/12/2024), YLBHI menegaskan bahwa amnesti massal ini harus dilakukan secara hati-hati dan disertai dengan evaluasi regulasi yang menjadi akar masalah dari overcrowding lembaga pemasyarakatan (lapas).

Berdasarkan keterangan pemerintah, amnesti ini akan menyasar narapidana yang terlibat kasus narkotika, konflik Papua, dan kriminalisasi kebebasan berekspresi. Pemberian amnesti didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan dan alasan kesehatan. Namun, YLBHI memperingatkan bahwa kebijakan ini memiliki potensi risiko jika tidak dilaksanakan dengan teliti. “Amnesti massal ini berpotensi melibatkan pelaku korupsi yang hartanya tidak diungkap atau dirampas. Hal ini terjadi karena belum disahkannya regulasi tentang perampasan aset,” ujar perwakilan YLBHI dalam siaran pers tersebut.

YLBHI menyebutkan bahwa overcrowding di lapas hampir 100% disebabkan oleh kebijakan hukum yang masih sangat punitif, terutama pada kasus narkotika. Sebanyak 52% populasi penghuni lapas terdiri dari kasus narkotika. YLBHI menilai Undang-Undang Narkotika saat ini terlalu kaku dalam membedakan pengguna dan pengedar, sehingga banyak pengguna narkotika yang seharusnya mendapatkan perawatan kesehatan justru dipenjarakan. “Reformasi kebijakan hukum narkotika harus dilakukan, karena pendekatan pidana terhadap pengguna narkotika justru memperparah masalah,” ujar perwakilan YLBHI.

Selain kasus narkotika, YLBHI juga menyoroti kebebasan berekspresi yang kerap diancam melalui pasal-pasal dalam UU ITE. Menurut YLBHI, pasal-pasal karet dalam UU ITE dan KUHP kerap digunakan untuk membungkam kritik publik. Tindakan kepolisian dalam menangani kasus kebebasan berekspresi juga dinilai tidak sejalan dengan prinsip reformasi. “Polisi sering kali menggunakan kekuatan berlebihan (excessive use of force) terhadap pengunjuk rasa dan orang-orang yang menyuarakan pendapatnya secara damai,” kata perwakilan YLBHI.

YLBHI juga menyoroti pendekatan pemerintah terhadap kasus-kasus di Papua. Menurut YLBHI, penyelesaian konflik di Papua melalui amnesti saja tidak cukup jika tidak disertai dengan langkah-langkah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah tersebut. “Pemberian amnesti tanpa menyelesaikan akar masalah di Papua hanyalah solusi jangka pendek yang tidak memberikan solusi permanen,” tegas YLBHI.

Poin kritik lainnya dari YLBHI adalah rencana pelibatan warga binaan penerima amnesti dalam Komando Cadangan (Komcad). YLBHI menilai langkah ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan bertentangan dengan tujuan utama pemberian amnesti, yaitu pertimbangan kemanusiaan dan kesehatan. “Melibatkan mereka dalam Komcad justru menggerus hak atas kesehatan yang menjadi salah satu alasan utama pemberian amnesti,” jelas YLBHI.

Berdasarkan analisis tersebut, YLBHI mengajukan empat tuntutan kepada pemerintah:

  1. Pemberian Amnesti yang Teliti: Amnesti massal harus dilakukan secara hati-hati dengan pengecualian terhadap kasus korupsi dan memastikan bahwa penerima amnesti tidak dilibatkan dalam Komcad.
  2. Penghapusan Pasal-Pasal Karet: Pemerintah harus menghapus pasal-pasal karet dalam UU Narkotika, UU ITE, dan KUHP yang berpotensi mengkriminalisasi kebebasan berekspresi.
  3. Penghentian Kriminalisasi Pengguna Narkotika dan Demonstran: Pemerintah harus menghentikan pemidanaan terhadap pengguna narkotika, pengunjuk rasa, dan mereka yang menyuarakan kebebasan berekspresi.
  4. Evaluasi Kewenangan Kepolisian: YLBHI mendesak evaluasi kewenangan kepolisian yang dianggap terlalu determinan dalam sistem peradilan pidana, terutama dalam penanganan kasus narkotika dan kebebasan berekspresi.

YLBHI menegaskan bahwa pemberian amnesti massal oleh Presiden harus dilakukan dengan cermat dan tidak boleh mengesampingkan aspek keadilan dan hak asasi manusia. Langkah ini diharapkan tidak hanya menyelesaikan masalah kepadatan lapas, tetapi juga mendorong reformasi kebijakan hukum secara keseluruhan. “Kebijakan ini tidak boleh menjadi solusi instan tanpa memperhatikan akar masalahnya. Reformasi hukum mutlak diperlukan agar kebijakan ini tidak justru melanggengkan masalah yang sama di masa depan,” pungkas YLBHI.