KontraS Soroti Impunitas dan Keadilan yang Tersandera Pada Peringatan 24 Tahun UU Pengadilan HAM
Berita Baru, Jakarta – Hari ini menandai 24 tahun disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam siaran persnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik tajam implementasi UU ini yang dinilai belum memberikan keadilan substantif bagi korban pelanggaran berat HAM.
“UU Pengadilan HAM dirancang untuk menjadi instrumen keadilan, tetapi faktanya malah menjadi alat yang memelihara impunitas,” ujar Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS.
KontraS menyoroti kelemahan substansial UU tersebut, termasuk pertanggungjawaban pidana yang tidak menyeluruh dan lemahnya mekanisme hukum acara. Dalam analisisnya, KontraS menyebutkan bahwa UU ini seolah dirancang untuk gagal. “Hanya empat kasus pelanggaran berat HAM yang disidangkan, dan semuanya berakhir dengan vonis bebas,” tambah Dimas.
Keempat kasus yang dimaksud adalah Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, Abepura 2000, dan Paniai 2014. KontraS juga mencatat adanya 13 kasus lainnya yang hingga kini masih terhambat dalam proses hukum, salah satunya karena perbedaan tafsir antara Komnas HAM dan Jaksa Agung.
Selain kelemahan substansi, KontraS juga menyoroti kultur aparat penegak hukum yang tidak memahami pelanggaran berat HAM sebagai kejahatan luar biasa, serta minimnya kemauan politik pemerintah untuk mengadili para pelaku. “Ketidakseriusan ini menormalisasi kekerasan dan represi terhadap warga sipil,” ungkap Dimas.
Dalam pernyataannya, KontraS mendesak Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk meningkatkan koordinasi dalam penyelidikan dan penyidikan kasus pelanggaran berat HAM. Selain itu, DPR juga didesak untuk segera merevisi UU Pengadilan HAM agar mampu menjadi mekanisme pencegahan keberulangan pelanggaran HAM di masa depan.
“Sudah 24 tahun berlalu, namun keadilan bagi para korban masih tersandera. Negara harus segera bertindak untuk memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia,” tutup Dimas dalam siaran persnya.
Perjalanan panjang UU Pengadilan HAM sejak disahkan pada tahun 2000 hingga hari ini menunjukkan bahwa meskipun secara infrastruktur Indonesia memiliki modal untuk menuntaskan pelanggaran HAM, penerapannya masih jauh dari harapan.