Amnesty International Indonesia Desak Penghentian Kriminalisasi terhadap Christina Rumahlatu
Berita Baru, Jakarta – Amnesty International Indonesia melalui siaran pers pada Kamis (21/11/2024) mengeluarkan surat terbuka yang ditujukan kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Pol. Wahyu Widada, M.Phil. Dalam surat tersebut, Amnesty meminta penghentian proses hukum terhadap Christina Rumahlatu, seorang aktivis lingkungan yang dituduh mencemarkan nama baik berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Christina dilaporkan setelah mengkritik seorang purnawirawan militer, Suaidi Marasabessy, dalam aksi protes damai pada 1 Agustus 2024 di depan kantor pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Jakarta Selatan. Aksi tersebut digelar untuk menuntut tanggung jawab perusahaan atas kerusakan ekologis di Halmahera, termasuk banjir bandang akibat deforestasi. Kritik Christina yang terekam dalam video memicu tuntutan pencemaran nama baik oleh Marasabessy pada 6 Agustus 2024. Hingga kini, status Christina sebagai terlapor belum dicabut.
“Kami sangat prihatin terhadap upaya kriminalisasi ini. Proses hukum terhadap Christina mencederai kebebasan berpendapat dan berisiko memperburuk pelanggaran hak asasi manusia,” ujar Wirya Adiwena, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia.
Amnesty International menegaskan bahwa Christina sebagai pembela hak lingkungan dilindungi oleh Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal tersebut menyatakan bahwa individu yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
“Kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Negara seharusnya melindungi Christina dari kriminalisasi,” tegas Wirya.
Selain itu, Amnesty mengkritik penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE yang dinilai kerap digunakan untuk menekan kritik. Sejak Januari 2019 hingga Oktober 2024, Amnesty mencatat 525 kasus kriminalisasi dengan UU ITE yang melibatkan 558 korban.
Dalam surat terbukanya, Amnesty menyampaikan tiga tuntutan utama kepada kepolisian:
- Menghentikan proses hukum terhadap Christina Rumahlatu.
- Mencegah penyalahgunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE untuk mengkriminalisasi pembela lingkungan.
- Menjamin hak warga negara untuk menyuarakan pendapat terkait isu lingkungan dan hak asasi manusia.
Amnesty berharap perhatian khusus dari pihak kepolisian terhadap kasus ini. “Proses hukum terhadap Christina hanya akan melemahkan perjuangan damai pembela hak lingkungan di Indonesia,” tutup Wirya.